Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Operasi penumpasan para simpatisan dan anggota PKI berlangusng massif setelah upaya G30S pada Jumat dini hari 1 Oktober 1965 gagal. Serangan balik terjadi pasca G30S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah ahli dan kalangan, menilai telah terjadi genosida di Indonesia setelah Gerakan 30 September tahun 1965 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti ditulis dalam Majalah Tempo edisi Pengakuan Algojo 1965 Oktober 2012, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Asvi Warman Adam mengungkapkan Soeharto yang kala itu masih menjabat Pangkostrad, membentuk Kopkamtib untuk menumpas para pengikut PKI.
Kopkamtib atau Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dibentuk dan dipimpinlangsung oleh Soeharto. Kopkamtib dibentuk selang sehari setelah 30 September 1965. "Lembaga itu dibentuk 2 Oktober 1965 untuk menumpas PKI," kata Asvi.
Menurut Asvi, Kopkamtib semakin mendapat pijakan hukum setelah Soekarno meneken surat keputusan selaku Presiden, Panglima Tertinggi dan Komando Operasi Tertinggi ABRI pada 1 November 1965 tentang pemulihan keamanan dan ketertiban pasca 30 September.
Setelahnya, Soeharto mengeluarkan instruksi langsung untuk melacak dan menangkap para anggota dan simpatisan PKI. Di setiap daerah dibentuk tim pemeriksa daerah yang dipimpin panglima daerah.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Salim Said menuliskan pengalamannya mengikuti operasi penumpasan para anggota PKI di sejumlah daerah di Jawa Tengah. Salim Said yang pada 1965 adalah seorang wartawan melihat bagaimana operasi itu dijalankan oleh Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo.
Sebelum menyasar anggota PKI, operasi ini mencari para tentara yang ditengarai menjadi simpatisan PKI. Salim melihat bagaiman polisi militer memeriksa para tentara yang ditahan karena diduga simpatisan PKI. Banyak diantara tentara itu yang bertugas di intelijen, teritorial dan personalia.
Salim mengikuti operasi penumpasan simpatisan PKI yang dilakukan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo di sejumlah daerah yang menjadi basis PKI seperti Solo, Boyolali dan Purworejo.
Sebuah buku lain juga menjelaskan bagaimana operasi penumpasan simpatisan dan anggota PKI berlangsung. Buku berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder atau 'Tentara dan Genosida di Indonesia: Tata Cara Pembunuhan Massal' ditulis Jess Melvin, sejarawan dari Sydney Southeast Asia Centre. Dalam buku ini ada keterangan kronologi kejadian mulai dari tanggal 1 sampai 6 Oktober 1965 yang masih berkaitan dengan G30S.
Dokumen ini menunjukan gambar lingkaran Peta Kematian. Sebuah lampiran intelijen: pendukung PKI yang tewas, tercatat lebih 2 ribu orang terbunuh dalam operasi di daerah-daerah.
Tercatat mulai dari waktu 1965 sampai 1980- an, Orba atau Orde Baru telah melakukan berbagai tindakan penahanan ribuan anggota, simpatisan PKI, bahkan beberapa masyarakat biasa dieksekusi di daerah pengasingan yakni dibawa ke Pulau Buru, Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah.
Tak berhenti, sikap diskriminasi langgeng dilakukan Pemerintahan Orde Baru salah satunya dengan membelikan label dan stigm pada para turunan eks anggota, simpatisan yang diduga terlibat PKI yang dicap sebagai dalang G30S, dengan memberikan kelompok golongan A, B dan C yang masih dibagi lagi C1,C2, C2.
TIKA AYU