Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saling-Silang Melanjutkan Kurikulum Merdeka Warisan Nadiem Makarim

Kurikulum Merdeka warisan Menteri Nadiem Makarim masih menjadi polemik. Menteri yang baru ingin mengkaji ulang.

30 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mendikbudristek periode 2019-2024 Nadiem Makarim (kanan) bersama tiga menteri penggantinya dari Kabinet Merah Putih yaitu Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kiri), Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro (kedua kiri), dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti (kedua kanan), usai serah terima jabatan di Jakarta, 21 Oktober 2024. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hambatan Kurikulum Merdeka adalah masih banyak sekolah yang tidak bisa beradaptasi karena keterbatasan infrastruktur.

  • Kurikulum Merdeka dinilai bermasalah dalam implementasi, salah satunya beban administrasi guru lebih besar daripada Kurikulum 2013.

  • Guru juga dibuat lebih sibuk membuat portofolio dibanding mengajar.

SEJAK sistem pendidikan berubah menjadi Kurikulum Merdeka yang dimulai pada 8 Juli 2024 untuk tahun ajaran 2024-2025, Yunita merasa makin banyak biaya untuk keperluan anaknya di sekolah. Dia menuturkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) membuatnya merogoh kocek Rp 100-150 ribu untuk tiap kegiatan praktik di sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Di bagian P5 terlalu banyak mengeluarkan biaya dan menguras energi," ujar orang tua siswa salah satu sekolah menengah atas swasta di Jakarta itu saat dihubungi Tempo pada Selasa, 29 Oktober 2024. P5 merupakan program pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum Merdeka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegiatan praktik hanya dilaksanakan tiga kali selama satu tahun pelajaran. Namun Yunita—bukan nama asli seperti permintaannya untuk publikasi tulisan ini—mengeluh kegiatan itu justru merenggut 80 persen masa belajar di sekolah. Walhasil, banyak jam mata pelajaran yang terpotong.

Selain waktu, menurut dia, Kurikulum Merdeka menghapus banyak materi pelajaran dan membuat murid bingung mengembangkan ilmunya. "Anak saya awalnya bingung, tapi lama-kelamaan mulai terbiasa dengan Kurikulum Merdeka. Meski begitu, penguasaan materi pelajaran jadi jauh berkurang," ucapnya.

Spanduk gelar karya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang merupakan salah satu karakter pendidikan dalam Kurikulum Merdeka di SD Negeri 010 Cidadap, Bandung, Jawa Barat, Juli 2023. TEMPO/Prima Mulia

Anak Yunita duduk di kelas XI SMA. Sang anak mengalami pergantian kurikulum dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka saat duduk di kelas X SMA. Ia merasa lega ketika mendengar Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti berencana mengkaji ulang Kurikulum Merdeka. "Semoga bisa disesuaikan dengan kondisi di Indonesia dan lebih dinamis," katanya.

Inda, orang tua siswa Sekolah Dasar Negeri 02 Kota Serang, Banten, menuturkan hal berbeda. Dia menyatakan lebih setuju terhadap penerapan Kurikulum Merdeka. Menurut dia, Kurikulum Merdeka memang lebih banyak menerapkan praktik dibanding Kurikulum 2013.

Kendati siswa bingung saat awal peralihan kurikulum karena banyak praktik, Inda mengatakan, pembelajaran kurikulum tematik lebih mudah. Sebab, untuk tiap mata pelajaran tersedia bukunya. Hal ini berbeda dengan Kurikulum 13 yang memiliki buku tematik berisi semua pelajaran. 

Anak Inda saat ini duduk di kelas V SD dan pernah merasakan peralihan Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka dari kelas III ke kelas IV. "Saya tidak ada keluhan terhadap Kurikulum Merdeka karena mengajarkan di rumah juga fokus. Satu mata pelajaran satu buku," ucapnya saat dihubungi Tempo, Selasa, 29 Oktober 2024.

Inda juga mengatakan anaknya bisa lebih cepat mengingat dan menghafal karena lebih banyak praktik. Beberapa bentuk praktik itu antara lain membuat baling-baling, menentukan resep, dan membuat bendera.

Kendati ditanggapi berbeda oleh orang tua murid, selama dua tahun pelaksanaan Kurikulum Merdeka, sebagian guru mengatakan masih sulit menerapkannya. Satria, guru sejarah di SMP dan SMA Paskalis di Jakarta Pusat, misalnya, mengatakan kesulitannya bertambah karena naskah akademik Kurikulum Merdeka justru baru ada belakangan ini. "Dari segi pengajaran, banyak materi yang kurang jelas," ujarnya saat dihubungi Tempo, Selasa, 29 Oktober 2024.

Satria mencontohkan, rekannya kebingungan saat mengajarkan materi kejuruan administrasi perkantoran. Ia menuturkan, dalam pembelajaran administrasi perkantoran diperlukan pendalaman teori spesifik sebelum praktik. Namun Kurikulum Merdeka memberi acuan materi ajar yang terlalu luas. "Kalau belum tahu teorinya, praktik akan menjadi lebih sulit," katanya. "Itu menjadi problem."

Masalah lain yang dialami guru adalah beban administratif yang makin banyak. Salah satunya kewajiban menggunakan Platform Merdeka Mengajar (PMM). PMM merupakan aplikasi digital yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mendukung guru mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.

Satria menjelaskan, PMM menjadi wadah pelatihan, berbagi, dan mencari modul pembelajaran bagi para guru. Namun guru diwajibkan mengikuti pelatihan yang menyita waktu kerja. Satria mengatakan hal ini makin menambah beban guru yang sudah terbebani 40 jam mengajar dalam sepekan. PMM juga tidak selalu memiliki modul pembelajaran terbaru.

Meski mengeluhkan pelaksanaan Kurikulum Merdeka, Satria menilai saat ini tidak perlu ada pergantian kurikulum. Menurut dia, penerapan Kurikulum Merdeka hanya perlu penyesuaian. Ia mengatakan hambatan Kurikulum Merdeka adalah masih banyak sekolah yang tidak bisa beradaptasi karena keterbatasan infrastruktur untuk melaksanakan metode praktik.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru Iman Zanatul Haeri mengatakan biasanya pergantian kurikulum berlangsung lancar. Namun hal itu tidak terjadi pada Kurikulum Merdeka. 

Menurut Iman, Kurikulum Merdeka tidak hanya mengubah materi kurikulum, tapi juga paradigma mengajar. Ia menyebutkan panduan dan isi Kurikulum Merdeka beberapa kali direvisi sejak diluncurkan pada 2022 hingga saat ini. Polemik lainnya adalah naskah akademik Kurikulum Merdeka justru baru keluar di pengujung masa jabatan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

"Sejak awal, kami sudah mempertanyakan. Masak, bikin kurikulum tidak pakai naskah akademik?" ujar Iman saat dihubungi pada Senin, 28 Oktober 2024. Kurikulum Merdeka seakan-akan diterapkan dengan trial and error karena dicoba lebih dulu, kemudian naskah akademiknya menyusul. "Itu juga problematik," ucapnya.

Keputusan dan peraturan menteri yang dikeluarkan, Iman melanjutkan, juga tidak menyebut nama Kurikulum Merdeka. Ia menyatakan keputusan dan peraturan menteri hanya menyebutnya sebagai pemulihan pembelajaran sehingga Kurikulum Merdeka hanya dipakai untuk jargon. 

Iman menuturkan Kurikulum Merdeka juga bermasalah dalam implementasi. Salah satunya karena beban administrasi guru lebih besar daripada Kurikulum 2013. Guru dibebankan dengan makin banyaknya aplikasi yang harus dipakai. Guru juga dibuat lebih sibuk membuat portofolio dibanding mengajar. Sebab, waktu yang dihabiskan untuk memahami Kurikulum Merdeka lebih banyak daripada buat mengajar. "Sudah menjadi rahasia umum kurikulum ini mengurangi waktu guru untuk mengajar," tuturnya.

Pekan lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti melontarkan isu tentang pengkajian ulang Kurikulum Merdeka. Rencana kaji ulang tersebut muncul setelah penerapan Kurikulum Merdeka menuai banyak polemik, meski sudah ditetapkan sebagai kurikulum nasional.

Namun Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah tidak akan terburu-buru memutuskan penggantian Kurikulum Merdeka karena harus menyerap aspirasi di lingkup internal Kementerian dan masyarakat. "Jadi lihat nanti. Kami tidak akan buru-buru mengambil kebijakan," ujar Abdul Mu'ti kepada wartawan saat ditemui seusai acara serah-terima jabatan di kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Senin, 21 Oktober 2024.

Kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Dasar Negeri Kenari 07/08 Pagi, Jakarta, Februari 2024. ANTARA/Bayu Pratama S. 

Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo membenarkan bahwa Menteri Pendidikan akan mengevaluasi Kurikulum Merdeka. Ia mengatakan sudah ada beberapa pengkajian yang dilakukan Kemendikbudristek perihal dampak dan implementasi Kurikulum Merdeka. "Sebenarnya evaluasi kami lakukan setiap tahun," ucapnya saat dihubungi pada Senin, 28 Oktober 2024.

Salah satu pengkajian dan evaluasi dilakukan Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kemendikbudristek bersama IDinsight. Hasil evaluasi implementasi Kurikulum Merdeka dirilis pada Agustus 2024. Berdasarkan temuan tersebut, otonomi guru berjalan dengan baik. Namun tidak semua guru dapat berkembang dengan otonomi yang diberikan.

Walhasil, kajian tersebut merekomendasikan pemetaan pada tiap sekolah untuk menentukan sekolah mana saja yang siap dan tidak dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Pemetaan tersebut akan menjadi acuan pemerintah menentukan jenis dukungan yang dibutuhkan setiap sekolah.

Ganti Menteri, Ganti Kurikulum?

Adanya polemik dalam penerapan Kurikulum Merdeka tidak serta-merta membuatnya diganti dengan kurikulum baru. Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Hetifah Sjaifudian membuka peluang keberlanjutan Kurikulum Merdeka yang digagas mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Menurut dia, Kurikulum Merdeka harus dilanjutkan apabila berdampak positif. "Jangan sampai ada adagium, ‘Oh, karena menterinya baru, kita harus ganti lagi kurikulumnya’," katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Oktober 2024.

Menurut Hetifah, hal positif yang bisa dipertahankan dari Kurikulum Merdeka di antaranya pendidikan yang berorientasi pada siswa dan pembelajaran yang menyenangkan. Ihwal respons pro dan kontra, kata dia, DPR perlu menampung umpan balik dari masyarakat.

Namun Hetifah juga mengatakan tidak tertutup kemungkinan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengajukan perubahan kurikulum. "Tentu ada diskresi dari menteri untuk membuat program unggulan baru. Apalagi kalau itu menjadi arahan presiden. Kami akan mendengar juga sebenarnya niatnya seperti apa," tuturnya. 

Pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai Kurikulum Merdeka ribet dan tidak realistis. Misalnya, ia merujuk pada regulasi sekolah dapat mengatur jam pelajaran sendiri dalam satu tahun serta penghapusan jurusan di SMA. Menurut dia, keduanya mengandung banyak masalah. "Mengatur jam pelajaran sendiri tidaklah mudah," ujarnya kepada Tempo, Selasa, 29 Oktober 2024. 

Pengaturan jam pelajaran berdampak pada tunjangan guru, terutama guru berstatus pegawai negeri. Sebab, Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Guru dan Dosen menentukan beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu pekan. "Jika dalam satu semester seorang guru tidak mengajar karena beban tugasnya menyajikan materi dianggap sudah selesai, apakah ia berhak menerima tunjangan profesi? Ini mustahil," ucapnya. 

Darmaningtyas juga menilai penghapusan jurusan di SMA berdampak pada murid. Ia mengatakan murid yang tidak menyukai mata pelajaran tertentu akan bosan. Kendati begitu, ia tidak sepakat penjurusan di SMA dimulai di awal tahun ajaran seperti dalam Kurikulum 2013. Ia mengusulkan penjurusan dilakukan pada semester genap. "Murid-murid SMA belajar materi yang sama seperti di SMP cukup satu semester saja. Lima semester berikutnya penjurusan," ujarnya. 

Adanya penjurusan di SMA, menurut Darmaningtyas, memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan minat. Tanpa penjurusan di SMA, tidak ada integrasi dengan materi perkuliahan di perguruan tinggi. "Ini akan menimbulkan masalah, terutama penguasaan pengetahuan dasar."

Darmaningtyas menilai Indonesia idealnya memiliki tiga kurikulum karena kondisi yang beragam. Tiga kurikulum ini antara lain kurikulum untuk sekolah favorit, sekolah swasta atau negeri, dan sekolah terisolasi. Dia menyayangkan kurikulum di Indonesia selalu tunggal dan diterapkan untuk semua sekolah. Padahal tiap sekolah memiliki kualitas dan karakter berbeda. "Jadi tidak bisa satu kurikulum untuk semua," tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Anastasya Lavenia berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus