Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, meminta pemerintah untuk mengkaji ulang penerapan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen di sektor jasa pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, sektor pendidikan, baik nasional maupun internasional tak semestinya dikenai tarif PPN. Apalagi pemerintah berencana menerapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ke sektor jasa pendidikan pada awal tahun mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya berharap untuk di bidang pendidikan dibatalkan saja," kata Bonnie kepada Tempo, Senin, 23 Desember 2024.
Bonnie menjelaskan, meski sekolah berstandar internasional acapkali diasumsikan sebagai sekolah bagi kalangan masyarakat ekonomi atas. Akan tetapi, faktanya tidak seluruh orang tua murid sekolah internasional memiliki ekonomi yang lebih dari cukup.
Alasan inilah, kata dia, yang mendorong DPR, khususnya legislator PDIP di Komisi bidang Pendidikan untuk meminta pemerintah membatalkan rencananya.
"Sekali lagi, kalau bisa dibatalkan saja PPN 12 persen ini untuk sektor pendidikan apa pun," ujar Bonnie.
Pada 16 Desember, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan penetapan PPN 12 persen merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP, dan telah sesuai dengan jadwal yang ditentukan, yaitu mulai berlaku pada 1, Januari 2025 mendatang.
Nantinya, kenaikan tarif PPN ini akan menyasar tarif pajak terhadap penggunaan barang mewah alias premium. Kelompok barang mewah tersebut seperti barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan hingga jasa pendidikan.
Dalam kesempatan serupa, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, beralasan pemerintah mesti terus berupaya menjaga daya beli Masyarakat dan menstimulasi perekonomian melalui pelbagai paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, salah satunya melalui sisi perpajakan.
Menurut dia, pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan, sehingga keputusan untuk menaikan tarif PPN menjadi 12 persen dilakukan dengan mengutamakan prinsip keadilan dan gotong royong, agar kelompok masyarakat mampu membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban, serta mereka yang tidak mampu akan dilindungi dan diberikan bantuan.
“Di sinilah prinsip negara hadir,” kata Sri di Kantor Kemenko Perekonomian, 16 Desember lalu.
Sri mengklaim, kenaikan tarif PPN 12 persen juga dilandaskan atas prinsip mengedepankan keberpihakan terhadap Masyarakat. Sebab, tidak semua kelompok akan diterapkan tarif PPN 12 persen.
Kelompok barang atau jasa yang dikenakan PPN 12 persen, adalah kelompok yang dikategorikan sebagai premium, seperti makanan berharga premium, layanan rumas sakit kelas VIP dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
"Barang seperti tepung terigu, gula untuk industri dan minyak goreng curah beban kenaikan PPN 1 persen akan dibayar pemerintah," ujar dia.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, mengatakan Kementerian Keuangan masih akan membahas kriteria atau batasan ihwal penerapan PPN 12 persen di lingkungan pendidikan secara hati-hati dengan pihak terkait.
Tujuannya, agar penerapan tarif PPN 12 persen ini dapat dilakukan secara tepat sasaran, atau hanya dikenakan kepada kelompok Masyarakat pada kategori sangat mampu.
"Kebutuhan barang atau jasa pada kelompok kesehatan atau pendidikan masih bebas PPN pada 1 Januari 2025 sampai diterbitkannya peraturan terkait," ujar Dwi.
Pilihan Editor: Muzani Sebut Gerindra Tak Menyerang PDIP soal PPN 12 Persen