Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perselisihan agraria buntut pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kota Batam tak kunjung padam sejak pecah pada September 2023. Kini, konflik kembali memanas setelah puluhan petugas PT Makmur Elok Graha (MEG) penggarap PSN Rempang Eco City, menyerang posko warga penolak PSN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyerangan itu terjadi di Posko Sungai Buluh, Posko Sembulang Hulu dan Posko Ansor pada Rabu dini hari, 18 Desember 2024. Sedikitnya ada lebih dari 30 orang petugas ikut terlibat. Mereka dilaporkan membawa benda tajam hingga panah. Buntutnya, delapan warga yang menjaga posko maupun yang tinggal dekat lokasi penyerangan menjadi korban luka-luka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya Edi Junaedi. Pria 50 tahun itu babak belur demi melindungi anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dari pengeroyokan. Edi tak berdaya saat sekelompok orang tersebut secara membabi buta menyerang ia dan anaknya. Bahkan seorang penyerang yang membawa parang mengancam akan membunuh anak Edi.
“Lihat punggung saya memar terkena parang mereka. Saya tidak peduli lagi, yang penting anak saya terlindungi,” kata Edi kepada Tempo.
Kondisi posko warga tolak PSN Rempang yang di amuk petugas PT MEG, 18 Desember 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Lantas apa sebenarnya penyebab konflik Rempang ini kembali memanas?
Menurut Angga, salah seorang petugas keamanan PT MEG, penyerbuan terjadi setelah warga menahan salah satu pekerja perusahaan milik Tomy Winata itu. Ia membenarkan ada lebih dari 30 orang yang terlibat. Namun ia menyangkal memfasilitasi petugas mereka dengan senjata tajam hingga panah yang menyebabkan korban berjatuhan.
“Saya tidak ingat betul jumlah rekan saya (pekerja PT MEG) di lapangan berapa, yang pasti mungkin di atas 30 (orang) ya,” kata dia.
Adapun Warga menahan pekerja tersebut bukan tanpa sebab. Koordinator Umum Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (Amar GB), Ishak, mengatakan penyerangan itu adalah aksi balasan setelah warga menangkap satu dari dua petugas PT MEG yang merusak spanduk penolakan PSN Rempang Eco-City pada Selasa malam, 17 Desember 2024.
Perusakan spanduk seperti itu memang kerap terjadi dan selama ini warga belum pernah menangkap pelakunya. Warga kemudian membawa pelaku ke Posko Sembulang Hulu. Dari pemeriksaan, ditemukan kartu identitas pelaku sebagai pekerja Artha Graha, induk perusahaan PT MEG, serta tiga pisau cutter yang diduga digunakan untuk merusak spanduk.
Ishak menyatakan telah menghubungi Polsek Galang untuk menjemput pelaku. Tapi sebagian warga tidak mau menyerahkannya sebelum PT MEG berjanji untuk tidak lagi mengintimidasi mereka..Kejadian penangkapan itu berlangsung sekitar pukul 21.00 WIB. Tapi, hingga pukul 24.00 WIB, kesepakatan itu tidak membuahkan hasil.
Kala negosiasi berlangsung, tiba-tiba sebuah truk, beberapa mobil, dan kendaraan roda dua datang. Mereka rupanya petugas PT MEG yang hendak mengambil paksa rekannya. Ray, seorang warga yang ikut berjaga di Posko Sembulang Hulu, menyatakan para petugas PT MEG itu langsung menyerang mereka.
“Saya mendengar teriakan “serang” saat mereka datang. Beberapa teman saya menjadi bulan-bulanan aksi penyerangan itu. Karena kawan-kawan lari ke hutan, saya juga lari,” ujarnya.
Terkini, ratusan mahasiswa menggelar unjuk rasa bela Rempang di depan kantor Badan Pengusahaan atau BP Batam, pada Senin 23 Desember 2024. Unjuk rasa ini buntut penyerangan yang dilakukan pekerja PT kepada warga Rempang, sehingga 8 orang warga mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit.
Mahasiswa yang mengenakan almamater tersebut juga membagikan selebaran bertajuk “Save Rempang”. Di dalamnya ditunjukkan foto-foto warga Rempang yang luka-luka akibat penyerangan oleh sekelompok orang tersebut. Mereka menuntut keadilan bagi warga dan mempertanyakan tindakan polisi setelah kejadian ini.
“Kami juga menuntut keadilan, itu perampok, pemukul masyarakat Rempang beberapa hari lalu adakah polisi menindak,” kata Riska, salah seorang mahasiswi yang berorasi, Senin 23 Desember 2024.
Ia juga menegaskan, masyarakat Rempang tidak menginginkan kampung digusur, mereka tidak mempermasalahkan pembangunan masuk Rempang tetapi dengan catatan investasi yang tidak merusak darat dan laut.
“Sekarang berapa kalian mendapatkan duit dari investor, sehingga tega membuat rakyat sepeti ini, kasihanilah kalian kepada rakyat,” katanya yang juga masyarakat Pulau Rempang.
Massa ditemui oleh Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam, Harlas Buana. Saat Harlas menjelaskan kompensasi yang diterima warga, mahasiswa langsung memotong penyampaian Harlas. Salah seorang orator mempertanyakan tanggung jawab pemerintah soal insiden Rabu dini hari.
“Kami tidak meminta angka-angka dari bapak, kami tidak mau penjelasan panjang lebar, yang kami mau bagaimana pertanggung jawaban BP Batam terhadap warga yang terluka saat kejadian kemarin, kemana BP Batam, kemana Gubernur,” kata salah seorang orator tersebut.
Adapun Komisi Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi delapan peristiwa kekerasan, intimidasi, dan upaya perampasan lahan warga Rempang dalam kurun waktu September 2023- Desember 2024. Dari peristiwa tersebut, sedikitnya 44 orang mengalami kriminalisasi, 51 orang mengalami tindak kekerasan, dan satu orang tertembak.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan konflik di Rempang tak akan pernah surut selama pemerintah terus memaksakan mengusir warga dari lahan yang telah mereka tempati selama beberapa generasi. Dia pun menyatakan masalah seperti ini bisa ditemukan di berbagai PSN lain.
“Dalam catatan KPA, sejak 2020 hingga Juli 2024, sedikitnya terjadi 134 konflik di berbagai lokasi PSN dengan korban lebih dari 110 ribu keluarga, katanya.
Menurut Dewi, PSN bukanlah program pembangunan untuk masyarakat, melainkan hanya proyek kongkalikong antara pemerintah dan swasta untuk merampas tanah masyarakat dengan berlindung di balik narasi kepentingan nasional.
Yogi Eka Sahputra, Intan Setiawanty dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini