Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakir, menyatakan intoleransi politik di Indonesia masih tinggi. Hal ini tercermin dari hasil survei terhadap 1.800 responden dari sembilan daerah di Indonesia.
Baca juga:
Sebanyak 57 Persen Guru Punya Opini Intoleran
Amin mengatakan, sebanyak 57,58 persen responden menyatakan hanya akan memilih pemimpin yang seagama. "Ini dari level RT sampai Presiden," kata dia saat diskusi di PARA Syndicate, Jakarta, Jumat 7 Desember 2018.
Implikasi dari kondisi ini, menurut dia, sangat luas. Para responden tersebut tak hanya menolak orang yang berbeda pandangan politik. Mereka juga berusaha mencegah pemilih lain berbeda pendapat.
Amin mengatakan tingkat intoleransi politik ini terjadi lantaran tingginya perasaan terancam. LIPI mencatat, 18,4 persen responden merasa agama lain mendominasi kehidupan publik.
Baca juga:
Pengajar Universitas Arab: Impor Budaya Arab Memicu Intoleransi
Faktor lain yang memicu intoleransi politik adalah tingginya fanatisme keagamaan. Dari hasil survei tercatat 95,6 persen responden setuju dengan Pancasila namun ada 49 persen yang juga setuju dengan peraturan syariah. Di bagian lain, sebanyak 40 persen responden juga menolak pendirian rumah ibadah di lingkungan perumahan mereka.
Penggunaan media sosial juga mempengaruhi intoleransi politik. Dalam survei LIPI, terdapat 54,1 persen menyatakan pernah mendengar berita tentang kebangkitan PKI lewat media sosial, dan sebanyak 42,8 persen di antaranya setuju dengan isu tersebut.
"Jadi sebanyak 2-3 orang Indonesia percaya bahwa PKI bangkit lagi dan mereka dapat informasi itu semua dari media sosial," ujar Amin.
Baca juga:
Survei LSI: Intoleransi Naik Setelah Demo Anti Ahok Digelar
Temuan tersebut, menurut Amin, memberi konfirmasi adanya politik identitas saat ini. Politik hari ini, dia menambahkan, tak bisa dipisahkan dari agama.
Budayawan Mohamad Sobary menuturkan, fenomena politik identitas sudah terjadi sejak awal pemerintahan Indonesia. "Kita ingat dari dulu agama jadi seksi untuk jadi jualan politik," katanya.
Pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam, mengatakan intoleransi politik, berbarengan dengan politik identitas, kembali sebagai respons dari kegagalan sistem pemerintahan yang ada sebagai dampak globalisasi. "Sehingga masyarakat melihat ke ideologi alternatif yang ada," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini