Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Sampai Memangkas Anggaran

Program penghematan energi berefek minim bagi anggaran belanja negara. Cukup besar buat subsidi BBM.

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPEDA ontel itu tampak uzur. Galeri Keuangan—tempat kereta angin yang pernah dipakai pegawai Departemen Keuangan itu dipajang—pun temaram, tak lagi sejuk. Genap sepekan, lampu-lampu di ruangan mirip museum mini yang terletak di lantai dasar gedung utama itu dipadamkan. Pendingin udara juga dikurangi.

Mirip di kantor-kantor pemerintahan lain, di sini pun energi sedang diirit. Di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, "Penggunaan lampu dan pendingin udara dikurangi hingga 50 persen," kata Cawa Awatara, staf bagian rumah tangga.

Semua berawal dari Instruksi Presiden Nomor 10/2005 tentang Penghematan Energi. "Ini langkah jangka menengah mengatasi masalah energi," kata Menteri Energi, Purnomo Yusgiantoro, mengenai aturan yang berlaku sejak Senin pekan lalu itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia sudah dicap bangsa pemboros soal pemakaian energi. "Kami minta mengurangi kenyamanan, bukan mengurangi kegiatan ekonomi," kata Presiden. Dengan program itu, konsumsi energi bisa dihemat sampai 10 persen.

Pemakaian bahan bakar minyak (BBM), kata Purnomo, masih mendominasi 63 persen penggunaan energi nasional. Listrik 31 persen, sisanya elpiji dan batu bara. Kuota nasional BBM bersubsidi tahun ini ditetapkan 59,6 juta kiloliter. Tapi, data Pertamina menyebutkan, penjualan BBM sampai Juni ini sudah 30,5 juta kiloliter.

Kalau konsumsi BBM melebihi kuota, kata Menteri Keuangan Jusuf Anwar, beban keuangan negara tambah berat. Apalagi Pertamina—selaku pemasok tunggal BBM—membeli minyak melebihi batas. Ujung-ujungnya, subsidi membengkak.

Subsidi BBM 2005 dianggarkan Rp 76,5 triliun, dengan asumsi harga minyak US$ 45 per barel. Sampai Juni lalu sudah dikeluarkan Rp 43 triliun. Kalau "si emas hitam" mencapai US$ 60 per barel, subsidi menjadi Rp 135 triliun.

Namun, menurut Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional, Anggito Abimanyu, langkah penghematan efeknya sangat minim bagi anggaran belanja negara. Pemerintah masih sulit menghitung berapa rupiah bisa dipangkas dari pengeluaran belanja yang tahun ini tercatat Rp 511,9 triliun.

Sebenarnya, kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia P. Nasution, pemangkasan hanya mengalihkan duit dari kantong kanan ke kantong kiri. Anggaran belanja yang bisa dihemat terkait dengan energi kemungkinan malah digunakan untuk membiayai kegiatan lain. "Tapi itu tidak salah, diperbolehkan undang-undang," katanya.

Jusuf Anwar justru mempersoalkan pola subsidi yang sekarang, yang sangat membebani keuangan negara. Karena itu, katanya, timbul ide untuk mengubah mekanisme pola subsidi yang tidak lagi kepada produk, tapi langsung kepada orang.

Bagi pengamat ekonomi Indef, Aviliani, sah-sah saja pemerintah mencanangkan gerakan penghematan. Tapi, jangan sampai mengganggu denyut perekonomian. Saran dia, pemerintah harus meningkatkan pajak kendaraan pribadi dan penggunaan listrik untuk mengurangi pemakaian energi. "Jadi, bukan melakukan langkah penghematan langsung."

Stepanus S. Kurniawan, Dara M. Uning, Suryani Ika Sari, F.X. Dimas Adityo, dan Yophiandi Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus