Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Secara global, satu dari lima anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun.
UNICEF menyatakan 110 juta anak perempuan berisiko terjebak pernikahan dini sebagai dampak pandemi.
Pernikahan anak menjadi masalah global, dari Afrika sampai Amerika Serikat.
Menikah sebelum usia 18 tahun merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Meski ada hukum untuk mencegahnya, praktik yang membahayakan ini terus berlangsung di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
360 Info, situs ilmiah yang dikurasi Monash University, Melbourne, Australia, menulis laporan panjang soal perkawinan anak. Menurut Ria Ernunsari, editor senior 360 Info, praktik ini berisiko menimbulkan penderitaan jangka panjang pada anak. Pengantin anak perempuan memiliki akses pendidikan yang rendah dan risiko tinggi terhadap kekerasan domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Remaja perempuan juga berada dalam ancaman besar kematian akibat komplikasi saat kehamilan dan persalinan, ketimbang perempuan di usia 20-an. Sedangkan anaknya berisiko besar mengalami keguguran atau meninggal di bulan-bulan awal kelahiran.
UNICEF, Badan Kesejahteraan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyatakan pada akhir dekade mendatang ada 110 juta anak terancam menikah dini akibat pandemi Covid-19.
Berakar dari Budaya
Perkawinan anak menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan akibat perpaduan nilai budaya, kemiskinan, rendahnya pendidikan, serta ketimpangan gender.
Di sebagian masyarakat, perkawinan anak dipandang sebagai jalan untuk menjamin masa depan anak perempuan serta melindunginya dari kemiskinan ataupun pergaulan bebas. Pada kasus lain, penikahan dini adalah bagian dari tradisi. Kebiasaan tersebut sulit diubah karena telah tertanam di masyarakat.
Kemiskinan ikut berperan. Banyak keluarga menganggap perkawinan anak sebagai cara meringankan beban keluarga atau meraup keuntungan ekonomi. Biasanya dari mas kawin atau sokongan finansial dari keluarga pria.
Ilustrasi pernikahan anak. SHUTTERSTOCK
Dampak Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 meningkatkan probabilitas anak terjebak pernikahan dini dari tiga faktor. Pertama, dampak ekonomi. Pandemi memporak-porandakan perekonomian, meningkatkan kemiskinan dan pengangguran. Akibatnya, banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Mengawinkan anak perempuan dipandang sebagai cara mengurangi beban keuangan keluarga.
Kedua, penutupan sekolah. Impitan ekonomi membuat banyak keluarga tak lagi mampu membiayai pendidikan anak perempuan. Menikahkan mereka dianggap sebagai jalan terbaik ketimbang menganggur dan jadi beban keluarga.
Ketiga, kematian orang tua. Pandemi Covid-19 membuat banyak anak menjadi yatim piatu. Kehilangan sumber pemasukan membuat keluarga limbung. Satu cara mengurangi beban keluarga adalah menikahkan anak perempuan.
Ria Ernunsari dan tim penulis 360 Info menilai pemuka agama bisa berperan besar dalam mengatasi perkawinan anak. Mereka dapat mengadvokasi masyarakat untuk menghindari pernikahan dini, juga mempromosikan ritual batas usia anak perempuan tanpa pernikahan.
Mengatasi perkawinan anak membutuhkan pendekatan berlapis, termasuk mengubah norma terhadap perempuan dan anak perempuan. Hal yang tak kalah penting adalah memberikan jaminan akses pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi bagi perempuan.
---
Artikel ini ditulis oleh Ria Ernunsari, terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di 360 Info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo