Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Masih yang itu-itu

Menteri agama menyatakan vatikan setuju usul delegasi ri yang ke vatikan, agar murid yang beragama islam disekolah katolik diberi pelajaran agama islam. kunjungan tersebut tidak menghasilkan keputusan bersama.(ag)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Agama membeberkan oleh-oleh kunjungannya ke Vatikan. Dan muncullah kembali masalah yang sebenarnya memang simpanan lama. Bahkan sampai 28 Desember, Mengeri masih memberi jawaban sekitar hal yang menjadi kontroversial itu. Oleh-oleh Mukti Ali tersebut, seperti dinyatakan kepada pers sehabis bertemu dengan Presiden di Cendana, menyangkut usul Delegasi RI agar, pertama, murid yang beragama Islam di sekolah Katolik diberi kebebasan memperoleh pelajaran agama Islam. Kedua agar rumah ibadah Islam tidak dibangun di lingkungan Katolik, dan sebaliknya. Dan ketiga agar dijaga pemberian bantuan dari kalangan Katorik luar negeri ke Indonesia tidak menimbulkan kesan kristenisasi. Menteri menyatakan, Vatikan sudah menyetujui hal itu (usul-usul Delegasi RI yang dituangkan dalam kertas kerja Mukti Ali dan dibacakan dalam pertemuan) dan akan mengirim surat kepada pimpinan Gereja Katolik di Indonesia. Dan MAWI terkejut. MAWI, Majelis Agung Waligereja Indonesia yang mengkoordinir kebijaksanaan nasional keuskupan di seluruh tanah air, heran mengapa mereka tidak menerima surat dari Vatikan itu. Dan setelah akhirnya mereka terima, surat itu bahkan menyatakan pembicaraan di Vatikan sebenarnya tidak untuk menghasilkan keputusan bersama. "Hanya dimaksud sebagai sebuah dialog," kata Mgr. Leo Sukoto S.J., Sekretaris Jenderal MAWI dan Uskup Agung Jakarta. Lebih dari itu, menurut MAWI, Vatikan bahkan menyerahkan masalah sekolah itu kepada para uskup Indonesia. Dan sementara masalah ruinah ibadat hanya disinggung pihak Indonesia dan tidak dirundingkan, dalam masalah bantuan Vatikan menunjukkan betapa kompleks persoalannya. Kedua: "keuskupan-keuskupan di Indonesia memang sudah berdiri sendiri, dan bukan lagi merupakan propinsi Misi," kata Sekjen. Bahkan sesudah Konsili Vatikan ke-II 1965 (yang dinilai sebagal menunjukkan sikap lebih ramah kepada agama-agama non-Kristen) justru sangat ditonjolkan kedudukan Gereja setempat yakni keuskupan masing-masing wilayah, dalam soal-soal non-dogmatik. Sehirlgga kalaupun masalah Indonesia mau diputusi di Vatikan sudah tentu MAWI akan diajak serta. Dan ketiga, semua Sekretariat dari Tahta Suci, termasuk Sekretariat Untuk Agama-agama non-Kristen, tidak pernah memutuskan sesuatu. Keputusan hanya di tangan Paus. "Trauma Kerukunan" Mungkinkah telah terjadi "kesalahan penafsiran"? Mukti Ali sendiri menyatakan, ia datang ke sana atas undangan Sekretariat Non-Kristen itu - bersama Dirjen Katolik Ign. Djokomulyono Kuasa Usaha RI di Vatikan, Kepala Penerangan Kedutaan Besar RI di Roma, antara lain. Dalam pertemuan :bersama Dutabesar sehari setelah dialog, semua hasil pembicaraan dilaporkan kepada Menteri - dan isi laporan itulah yang kemudian disampaikan kepada Presiden. Hanya Mukti Ali memang tidak melihat tindasan surat Vatikan kepada MAWI itu. Orang mungkin bertanya: tidak terjadikah satu-dua "kekhilafan" dalam proses itu? Ataukah Menteri, atau rombongan, salah tangkap: Vatikan mengatakan: "Ya, itu bagus sekali, nanti kami mengirim surat kepada pimpinan Gereia di negeri Tuan" (dengan keyakinan bahwa Menteri tentunya sudah tahu bahwa keputusan toh nantinya di 'sana')? Ataukah Mukti Ali begitu dibebani "trauma kerukunan agama", sehingga menyatakan dengan pasti sesuatu yang sudahatau belum begitu pasti? Tidak ada keterangan tentu saja - juga tidak dari Dirjen Katolik, yang menyatakan kepada TEMPO "sudah cukup dari Pak Menteri dan Pak Leo Sukoto saja." Menteri hanya mengingatkan akan dilakukannya pertukaran memorandum antara RI dan Vatikan mengenai hasil hasil dialog, secepatnya. Tetapi, katanya, tidak mustahil adanya kemungkinan penafsiran yang berbeda atas hasil-hasil tersebut. Itu misalnya pernah terjadi dengan dialog Vatikan-Libya 1976. Soal-soal yang dibicarakan itu memang penting. "Mungkin Presidium MAWI akan membahasnya dalam rapatnya yang terdekat, awal Pebruari mendatang," kata Sekjen kepada George Y. Adicondrodari TEMPO. Tentang pendidikan misalnya. Dalam wawancara pers seusai sidang MAWI yang lalu, Leo Sukoto menyatakan keberatan Gereja untuk memberikan pelajaran agama bukan-Katolik di sekolah Katolik. Dapat difaham: ini sekolah swasta, seperti juga sekolah Islam atau Taman Siswa misalnya, yang masing-masing punya "ideologi". 'Public School' Mukti Ali mungkin melihat kenyataan bahwa yang masuk sekolah Katolik itu sebagian (besar) adalah anak-anak Islam juga--sementara di sekolah Islam tidak terjadi kebalikannya - sedang mereka itu diwajibkan mengikuti pelajaran agama Katolik (kewajiban mengikuti ibadat sudah dihapuskan). Meski begitu sekolah Katolik toh tidak menutup kemungkinan murid-murid Islam mencari guru agama sendiri dan menggunakan ruang kelas sekolah, asal itu bersifat ekstra-kurikuler -- seperti pendidikan pramuka - dan "bisa dibicarakan antara sekolah dan guru yang bersangkutan," kata Leo Sukoto. Maka bila 'kebebasan untuk mendapat pelajaran agama Islam' yang dimaksud Menteri Agama hanya terbatas pada arti itu, dan bukan permintaan kepada sekolah Katolik untuk memberi pelajaran agama Islam, tidakkah sebenarnya keduanya paralel saja? Toh sikap formil Gereja Katolik ini, bisa menemui sedikit perbedaan di kalangan perseorangan. Romo Danuwinata S.Y. misalnya, Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, bulan Oktober 1973 menyatakan kepada TEMPO: tidak berkeberatan terhadap pengajaran agama Islam di sekolah Katolik. Dan sebagai bandingan dari kalangan Protestan: Dr. Latuihamallo, salah-seorang Ketua BPH-DGI. Alasan yang terakhir ini: sekolah yang diasuh yayasan pendidikan Kristen sifatnya adalah public school, bukan sekolah agama seperti madrasah. Hanya sebaliknya Latui (puteranya sendiri, seorang murid di Cikini, disuruhnya mengikuti pelajaran agama Islam) juga ingin tahu apakah public school Islam dapat memberikan pelajaran agama Kristen bagi anak-anak Kristen, kalau ada. Bagaimana? Bisa ditikirkan tentunya, kalau memang dirasa perlu difikirkan. Siapa tanu dalam dialog para pemuka Islam Indonesia dengan Vatikan yang akan dilaksanakan di sana bulan Oktober mendatang atau barangkali juga tahun depan bila Sergio Kardinal Pignedoli Ketua Sekretariat Non-Kristen Vatikan - berkunjung ke sini. Dalam dialog itu juga akan diminta hadir para tokoh MAWI. Orang mengingat Musyawarah Antar Agama 1977. Dan orang melihat 10 tahun kemudian. Sambil mengingat berbagai dialog antar agama yang sudah diselenggarakan, masalah sekitar penyiaran agama toh masih yang itu-itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus