BENAR kata pedagang: jangan pernah menjajakan barang yang sempat menuai cela. Walaupun sudah didempul sana, dirombak sini, masyarakat tetap saja curiga saat komoditas itu dilempar ke pasar. Metafora tersebut tidak berlebihan jika dikaitkan dengan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).
Setelah tahun lalu menuai kritik keras seputar pasal 19 yang sering disebut "pasal kudeta"?karena memberikan ruang kekuasaan cukup besar kepada Panglima TNI?munculnya kembali RUU ini dalam pembahasan di DPR kembali menuai polemik. Selain ada kesan muncul diam-diam, sementara kalangan menganggap RUU tersebut masih mengandung cukup banyak pikiran yang kurang relevan dengan semangat reformasi.
Direktur eksekutif lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang pertahanan-keamanan ProPatria, Hari Prihatono, menilai munculnya lagi RUU tersebut terkesan diam-diam. Rancangan itu?yang sempat tak terdengar kabar beritanya sejak mengundang polemik keras Februari tahun lalu?memang mendadak dikabarkan akan dibahas dalam Rapat Paripurna Dewan pada 2 Agustus ini. Padahal masa kerja DPR saat ini sudah mepet. Dengan waktu yang praktis hanya tersisa 10 hari, Hari memandang prosedur pembahasan RUU tersebut tidak akan memadai. "Wajar jika langkah ini dipandang oleh publik memiliki nuansa politis yang kental," katanya.
Menurut Wakil Ketua Komisi Pertahanan-Keamanan DPR yang akan membahas rancangan tersebut, Effendy Choirie, pembahasan itu akan dilakukan DPR menyusul terbitnya Amanat Presiden RI Nomor R.13/PU/VI/2004, 30 Juni lalu. Surat itulah yang seolah menghidupkan rancangan yang telah tertunda pembahasannya selama lebih dari setahun itu. "Kalaupun tertunda, masalahnya jelas bukan pada DPR, yang selama ini justru selalu menagih, tapi pada pemerintah, yang tak pernah memasukkan RUU tersebut," katanya.
Tapi persoalannya bukan hanya prosedur. Koordinator Kontras, Usman Hamid, menilai ada pasal-pasal dalam RUU yang masih bernuansa antireformasi. Usman menunjuk setidaknya ada dua pasal, yaitu pasal 8 dan 45. Dalam pasal 8 ayat 2 memang tertulis, TNI melaksanakan tugas pokok, yakni operasi militer untuk perang, operasi militer selain perang, dan melaksanakan pembinaan teritorial sesuai dengan peran dan wewenang TNI.
Usman menilai, persoalan komando teritorial inilah yang dikhawatirkan akan mengembalikan TNI pada peran dwifungsi, sebagaimana pengalaman buruk di masa lalu. Ditambah dengan pasal 45, Usman menengarai ada upaya sistematis untuk mengembalikan peran tersebut. Pasal 45 ayat 1 dan 2 memungkinkan seorang prajurit TNI masuk dan duduk dalam struktur departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. "Bukankah itu nyata-nyata bertentangan dengan niat awal reformasi?" katanya.
Menambah daftar Usman, Direktur Eksekutif Imparsial, Munir, menunjuk pasal 64. Menurut dia, pasal itu memberikan peluang adanya hubungan kerja sama TNI dengan badan, lembaga, dan instansi di dalam negeri yang didasarkan pada kepentingan pelaksanaan tugas TNI. Hal itu memberikan tafsir cukup luas kepada TNI untuk melakukan tindakan politis. "TNI dapat melakukan negosiasi politik dengan departemen, lembaga pemerintah, bahkan swasta," katanya. Dikaitkan dengan pasal 63 yang mengatur pembiayaan TNI, Munir mengkhawatirkan terjadinya praktek penyimpangan anggaran daerah yang masuk kas TNI tanpa kontrol yang cukup.
Semua kekhawatiran tentang upaya mengembalikan TNI ke alam dwifungsi itu ditepis pihak TNI. "Enggak, enggak ada hubungan komando teritorial dengan kekuasaan yang dipunyai TNI," kata Ketua Fraksi TNI/Polri Djasri Marin. Ia bahkan mencurigai, kritik terhadap RUU itu tak lebih dari upaya agar TNI tak memiliki payung hukum. "Kalau demokrasi memungkinkan rakyat menjabat apa pun, apa tentara bukan rakyat?" katanya.
Tentang waktu pembahasannya pun, Departemen Pertahanan tampaknya berkehendak kuat agar dilaksanakan sesegera mungkin. "Mau diperdebatkan apanya lagi? Apa kita mau mendebat konstitusi?" kata Dirjen Kekuatan Pertahanan Departemen Pertahanan, Marsekal Muda Pieter Wattimena. DPR sendiri cenderung menyetujui pembahasan rancangan itu sesegera mungkin. Tapi, menurut Ketua DPR Akbar Tandjung, "Kami tak menjamin apakah bisa tuntas atau tidak, karena perlu banyak masukan dari masyarakat."
Darmawan Sepriyossa, Ecep S. Yasa, dan Yandhrie Arvian (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini