Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mega dan Koalisi Lima

PDI Perjuangan merancang koalisi lima partai. Tapi suara elite belum tentu senada dengan suara rakyat di akar rumput.

2 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEGAWATI Soekarnoputri bukan figur yang gampang menyerah. Dalam putaran pertama pemilu presiden, Mega dan pasangannya, Hasyim Muzadi, memang berada di peringkat kedua, namun kelihatan benar dia all out untuk bisa berjaya di putaran kedua.

Jumat pekan lalu, misalnya, pagi-pagi benar Mega sudah ada di Serang, Banten, meresmikan Pasar Induk Rau. Saat matahari mulai terbenam, Mega bergerak kembali ke Jakarta. Sudah ada tiga acara penting yang menunggunya. Yang terpenting terjadi menjelang tengah malam. Mega "bertamu" ke rumah Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung di Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan, ditemani sang suami, Taufiq Kiemas. Akbar, Ketua Umum Partai Golkar yang menang dalam pemilu legislatif, adalah orang yang paling penting direkrut para kandidat presiden sekarang ini.

Ini bukan perjalanan malam pertama bagi Mega. Tiga hari sebelumnya, setelah tak ada jadwal protokoler, Megawati bertamu ke rumah Wakil Presiden Hamzah Haz di Jalan Tegalan 27, Matraman, Jakarta Timur. Mega juga membawa serta tokoh PDIP Soetardjo Soerjogoeritno dan Wakil Sekjen Pramono Anung. Taufiq Kiemas, suaminya, menyusul belakangan. Dalam bahasa Pramono, yang terdengar klise, itu hanya silaturahmi biasa.

Dari Matraman, pukul 21.10, Mega dan rombongan bablas ke kompleks Pondok Pesantren Al-Munawaroh, Jalan Warung Sila, Ciganjur, Jakarta Selatan. Yang dituju tentu adalah kediaman Mas Dur, panggilan akrab Mega untuk bekas presiden Abdurrahman Wahid. "Ini harga yang harus dibayar. Mega harus all out jika ingin tetap menang," kata politisi senior PDIP, Sukowaluyo Mintohardjo, tentang perjalanan Mega.

All out adalah kata yang tepat. Suara Mega-Hasyim pada putaran pertama hanya 27,7 juta, sedangkan pemenang putaran pertama, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, merebut 35,5 juta suara. Di 13 provinsi yang jumlah pemilihnya besar, Mega-Hasyim hanya nomor dua. Kemenangan Mega di tujuh provinsi hanya memberikan suara kecil, mengingat jumlah penduduk provinsi itu yang lebih sedikit.

Makanya, Sabtu dua pekan lalu, Mega mengumpulkan 32 pengurus provinsi maupun pusat partainya di Jakarta. Dalam Rapat Kerja Nasional XI itu, Mega mengeluarkan perintah. "Turun ke bawah," ujarnya keras. Perintah Mega tak cuma itu. Para kader juga diminta menggunakan rumus trisula: merawat jaringan akar rumput, menghidupkan mesin organisasi, membuat citra PDIP dan Mega sebagai sosok yang mudah "dijangkau" publik.

Menyertai tiga perintah itu, kerja pemenangan pemilu digarap lebih sistematis. Mega Center, misalnya, kebagian menggarap massa riil pro-Mega, juga mencitrakan Mega sebagai sosok natural, lugas, tanpa polesan. Kerinduan Mega sebagai ketua partai, santai tapi tegas itu harus dibangkitkan. Tugas lainnya, mengendurkan aturan protokoler. "Ini agar Mega bisa luwes ke sana-kemari, membangun komunikasi politik, termasuk lobi dan koalisi," kata Heri Akhmadi, sekretaris tim sukses Mega-Hasyim.

Maka, dalam dua pekan terakhir, Mega sendirilah yang membuka pintu pertemuan dengan sejumlah tokoh: mulai dari Siswono Yudho Husodo, Hamzah Haz, dan Ketua Partai Bintang Reformasi Zainuddin M.Z. Bukan pimpinan top partai saja yang ditemui Mega, para "eselon dua" partai pun ikut dirangkulnya.

Lantas apa tugas Hasyim? Merawat dan mencari dukungan pengikut Nahdlatul Ulama. Ini bukan kerja gampang. Apalagi, menurut Heri Akhmadi, survei terakhir yang dilakukan PDIP terhadap kantong-kantong suara Mega dan NU menunjukkan, "Yang lari ke SBY dan Wiranto hampir 60 persen."

Tak ada jalan lain. Tim sukses akan terjun langsung ke basis-basis NU. Para kiai tetap perlu didatangi, tapi perannya, "Diminimalkan sebagai perantara," kata Achmad Bagja, anggota tim sukses Hasyim. Langkah ini jelas buntut dari hubungan Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid dan Ketua PBNU Hasyim Muzadi yang terlihat tak akur. Mereka yang pro-Abdurrahman jelas tidak memilih Hasyim. Lebih lagi, sebagian nahdliyin juga melihat Mega dan Abdurrahman Wahid tak akur. Jika Gus Dur, bisa diraih, ada harapan suara NU dan Partai Kebangkitan Bangsa bisa mengalir untuk Mega-Hasyim. "Demikian juga yang golput karena mengikuti Gus Dur. Mereka bisa bergabung kembali," begitu analisis Sukowaluyo. Repotnya, Gus Dur masih sulit ditebak. Dia belum juga mencabut ajakan golput untuk pengikutnya. PKB pun terbelah tiga: mendukung Mega-Hasyim, independen, atau memilih SBY-Kalla.

Maka, Mega akhirnya memilih meraih PPP sebagai jembatan meraih tambahan suara NU. Partai yang dikomandani Hamzah Haz itu juga membuka tangan lebar-lebar. Rapat Pengurus Pusat PPP, Sabtu pekan lalu, memutuskan untuk mendukung Mega-Hasyim. "Kami sudah punya pengalaman bekerja dengan Mega," kata Ali Marwan Hanan, Wakil Sekjen PPP.

Dukungan PPP seorang diri jelas tidak cukup. PDIP berharap mendirikan bangunan koalisi permanen dengan merangkul lima partai besar?Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PKS.

Tanggapan Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, cukup menggembirakan PDIP. Apalagi Akbar sempat berkunjung ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, salah satu pilar pendukung Hasyim Muzadi di kalangan NU. Tapi, kabarnya, suara Partai Golkar belum bulat benar. Sebagian orang Golkar menginginkan partainya mendukung SBY-Kalla. Sikap resmi Golkar agaknya akan dicetuskan dalam musyawarah nasional pada 5 Agustus mendatang. Sikap itu juga akan dipengaruhi oleh hasil gugatan penghitungan suara pasangan Wiranto-Wahid ke Mahkamah Konstitusi.

Tapi suara Partai Golkar daerah juga harus ditimbang Pengurus Pusat Partai Beringin. Menurut Soejatno Pedro, Wakil Ketua Partai Golkar Jawa Tengah, meski elite partainya di Jakarta mendukung Mega-Hasyim, pertemuan pengurus provinsi dan kabupaten se-Jawa Tengah, pekan lalu, cenderung mendukung SBY-Kalla. "Pada pemilihan putaran pertama kami bersaing keras melawan Megawati, kenapa sekarang harus kerja sama?" kata Pedro.

Kalaupun suara pengurus di Jakarta diikuti, belum tentu rakyat yang memilih PDIP mengikuti. Saiful Mujani, pengamat politik yang juga periset Lembaga Survei Indonesia (LSI), mengatakan bahwa pemilih tak bisa dipengaruhi manuver elite. Buktinya, apa pun yang dilakukan elite di Jakarta, pengaruhnya tak signifikan terhadap perolehan suara.

Jadi, perlu kiat lain untuk menang. Apa itu? "Tetaplah membumi sebagai tokoh dari partai wong cilik," ujar Sukowaluyo.

Widiarsi Agustina, Sohirin (Semarang), Sunudyantoro (Surabaya)


Koalisi, Kongsi, Kursi

9 Juli
Taufiq Kiemas bersalat Jumat dan berbincang bersama Ketua DPR Akbar Tandjung di masjid DPR, Senayan, Jakarta.

10 Juli
Sekjen Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta mengaku didekati tim sukses Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Kalla. Tapi PKS belum bisa bersikap karena menunggu hasil perhitungan suara Komisi Pemilihan Umum dan musyawarah Majelis Syuro.

13 Juli

  • Hamzah Haz bertamu ke rumah Mega, Jalan Teuku Umar 27-29, Jakarta Pusat. Menurut Wakil Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung, ada komitmen dari Hamzah untuk meneruskan kerja sama dengan PDIP di putaran kedua pemilihan presiden.
  • Sekjen PDIP Sutjipto mengungkapkan, Megawati telah bertemu dengan Ketua Umum Muhammadiyah Syafi?i Ma?arif.

17 Juli

  • Mega meminta kadernya menghidupkan lagi mesin partai dan bekerja all-out memenangkan Mega. Para kader ?Partai Banteng? itu juga diminta sering turun ke ?bawah?.
  • Rapat Kerja Nasional PDIP meminta struktur tim kampanye dirombak. Hasyim Muzadi kebagian tugas menyatukan suara Nahdlatul Ulama. Sedangkan Mega memupuk koalisi dan membangun citra.

19 Juli

  • Di Istana Negara, Taufiq Kiemas menyatakan kesamaan platform PDIP dengan Partai Golkar adalah modal dasar kerja sama di antara kedua partai.
  • Atas telepon Taufiq Kiemas, Abdurrahman Wahid bertamu ke rumah Megawati di kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan. Menurut Pramono Anung, Gus Dur dan Mega tak bicara deal politik. Gus Dur juga mengaku meminta Mega menyikapi kecurangan-kecurangan yang dilakukan KPU.

20 Juli

  • Mega bertemu dengan Ketua Umum Partai Bintang Reformasi, Zainuddin M.Z., di Kebagusan, Jakarta Selatan.
  • Mega bertemu dengan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera, Ruyandi Hutasoit, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Pendeta Nathan Setiabudi, Ikatan Petani Penanggulangan Hama Terpadu, dan juga mantan Kepala Staf TNI-AD Jenderal Tyasno Sudarto.

23 Juli

  • Mega bertemu dengan empat Kiai NU, di antaranya Kiai Idris Marzuki dari Lirboyo.
  • Siswono Yudho Husodo bertemu dengan Mega dan Hasyim Muzadi di Jalan Teuku Umar, Jakarta.

27 Juli

  • Mega bertemu dengan Hamzah Haz di rumah pribadi Hamzah di Jalan Tegalan, Jakarta Timur. Hari itu Hamzah baru saja membuka Rapat Pimpinan Partai Persatuan Pembangunan yang membahas sikap PPP dalam koalisi menjelang putaran kedua.
  • Mega bersama Soetardjo Soerjogoeritno dan suaminya, Taufiq Kiemas, bertemu dengan Gus Dur di rumahnya, Ciganjur, Jakarta Selatan. Gus Dur mengajak Mega nyekar ke makam Kiai Hasyim Asyari.

29 Juli
Pertemuan Taufiq Kiemas dengan Sekjen Muhammadiyah Din Syamsuddin di Gedung Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, batal dan akan dijadwal ulang.

30 Juli

  • Mega membuka Rakernas Generasi Muda FKPPI di Hotel Santika, Jakarta.
  • Mega bertamu ke rumah dinas Akbar Tandjung, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Menurut Akbar, pertemuan itu membahas kerja sama antara PDIP dan Golkar pada pemerintahan mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus