Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan wartawan di Markas Kepolisian Resor Banjarnegara, Kamis pekan lalu, terpaksa gigit jari. Sampai matahari condong ke barat, "buruan" mereka tak juga menampakkan batang hidungnya. Puji Rahardjo, tokoh penting itu, tak datang memenuhi panggilan polisi. Sesuai dengan jadwal, tadinya calon legislator terpilih Kabupaten Banjarnegara periode 2004-2009 ini akan dimintai keterangan sebagai tersangka kasus bocornya dokumen penting milik polisi setempat.
Hari itu Puji lebih memilih ke Yogyakarta. Bukan untuk pelesiran, melainkan mencari perlindungan. Bujangan 28 tahun ini merasa tak lagi aman di Banjarnegara. Ditemani seorang kawan, ia datang mengadu sekaligus meminta Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Yogyakarta menjadi kuasa hukum dalam kasus yang menimpa dirinya. "Aparat sering menteror dengan mendatangi rumahnya," kata Satriawan Guntur, Direktur PBHI Yogyakarta.
Cerita tentang kekhawatiran Puji berawal pada Jumat dua pekan lalu. Ketika itu, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) mengaku menerima kiriman sebuah cakram video (VCD) dari orang yang tak dikenal. Isinya: rekaman acara internal polisi Banjarnegara yang memuat "briefing bersayap" Kepala Kepolisian Wilayah Banyumas Komisaris Besar Achmad Afflus Mapparessa dan Kepala Kepolisian Resor Banjarnegara Ajun Komisaris Besar Widianto Poesoko. Intinya, di depan sekitar 100 orang yang hadir, pemimpin polisi di sana mengimbau agar polisi dan keluarganya memilih pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilu 5 Juli lalu.
VCD yang direkam 29 Mei lalu itu segera bikin gempar. Kubu Mega-Hasyim dituding memobilisasi polisi untuk memilih mereka.
Tidak perlu kecerdasan hebat untuk menangkap inti pembicaraan petinggi polisi Banyumas dalam pertemuan itu. Meski tak eksplisit, kata-kata seperti "memilih pemimpin yang mewakili kaum hawa" dan "memilih sesuai hati nuraini" berseliweran dalam video sepanjang hampir satu jam itu.
Tapi, alih-alih mengusut, polisi malah memburu si pengganda dan penyebar film. Adapun Mapparessa Kamis pekan lalu dimutasikan ke Jakarta.
Itulah sebabnya Puji mengkeret. Ketua Angkatan Muda Partai Golkar yang sudah ditetapkan sebagai tersangka ini membantah tudingan bahwa ia telah mencuri dokumen dalam VCD itu dari tangan Sumadio, penjual jasa transfer film.
Menurut Sumadio, yang disewa polisi untuk menggandakan video itu, Puji memang meminjam video tersebut untuk melihat isinya. "Saya berikan (salah satu) VCD kepadanya. Tapi sampai sekarang belum dikembalikan," katanya.
Urusan mengejar penyebar film itulah kini yang menjadi sumber kesibukan Polres Banjarnegara. "Pelakunya bisa terkena pasal pencurian data (Pasal 363 KUHP). Video itu milik kami. Ibarat menggelar acara ulang tahun, lalu tiba-tiba rekaman acara itu (dicuri) dan beredar luas," kata Kapolres Widianto Poesoko.
Iluni juga membantah anggapan bahwa langkah yang mereka ambil merupakan cara untuk menyerang kubu Megawati atas pesanan calon presiden lain. "Itulah alasannya mengapa kami tidak melaporkannya ke Panitia Pengawas Pemilu. Perhatian kami bukan pada siapa yang akan menjadi pemenang pemilu, tapi pada proses yang benar. Terutama netralitas polisi," kata Wakil Sekretaris Jenderal Iluni Chudri Sitompul.
Persoalannya: betulkah briefing itu dipesan dari Jakarta? Di akhir pidatonya, Kapolwil Mapparessa sempat mengatakan bahwa "...dengan demikian tugas dari Kapolri telah saya laksanakan." Tapi Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar membantah soal ketidaknetralan korps baju cokelat itu. Berulang-ulang para petinggi Polri mengatakan bahwa demi menjaga netralitas itu Kapolri tahun ini telah mengeluarkan tiga telegram rahasia yang memerintahkan agar aparatnya tidak memihak. "Polri tidak berpihak pada calon mana pun. Tidak ada perintah dari Kapolri," kata Da'i Bachtiar.
Sebetulnya kasus VCD Banjarnegara ini bukan barang baru. Beberapa bulan sebelum pemilu berlangsung, indikasi tentang ketidaknetralan polisi sudah terdengar.
Seorang istri bintara polisi di Tulungagung, Jawa Timur, misalnya, bercerita bahwa menjelang pemilu legislatif lalu, para istri polisi diimbau agar memilih PDI Perjuangan dalam pemilu legislatif dan memilih Mega dalam pemilihan presiden. Ajakan ini disampaikan istri kepala kepolisian sektor tempat suaminya bertugas dalam acara arisan Bhayangkari. Di Ciputat, Jakarta, imbauan itu malah digelar dalam acara pengajian dan arisan RT/RW.
Alasan yang dikemukakan biasanya soal perhatian pemerintah Mega kepada polisi seperti kenaikan gaji dan tunjangan polisi, juga perbaikan kantor kepolisian. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Irjen Edi Darnadi bahkan menyediakan rumah di Jalan Hasyim Asyari 2, Karawang, sebagai markas tim sukses Mega-Hasyim?sesuatu yang dibantah Edi. "Itu rumah orang tua saya," ujarnya. Tim sukses Mega juga menyangkal telah berkongkalikong dengan polisi (lihat Saatnya Mendukung Ibu?, TEMPO Edisi 28 Juni-4 Juli 2004).
Itulah sebabnya banyak yang berharap kasus ini segera disingkap, tak hanya soal siapa penyebar video polisi itu. "Adanya telegram Kapolri juga bukan jaminan. Bisa saja dalam waktu bersamaan operasi intelijen lain berjalan dengan tujuan berbeda. Kita tahulah yang begitu," kata praktisi hukum Bambang Widjojanto.
Da'i agaknya maklum bahwa sorotan publik begitu kuat mengarah ke lembaganya. Karena itu, selain memburu si pembocor VCD, kata Da'i, pemeriksaan akan lebih difokuskan di internal kepolisian. Sehingga, untuk sementara, pihaknya bahkan merasa tidak perlu memanggil Iluni untuk dimintai ke-terangan.
Y. Tomi Aryanto, Martha Warta S., Ari Aji H.S. (Banjarnegara),
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo