RUPANYA, Caretaker yang dimotori Latief Pudjosakti "punya maksud" tertentu mengundur Musyawarah Nasional PDI menjadi tanggal 22 Desember 1993. Mereka ingin memberikan hadiah pada Hari Ibu tahun ini. Kado itu tak lain adalah Megawati Soekarnoputri. Sebab, Rabu pekan lalu, Megawati, 47 tahun, dikukuhkan menjadi Ketua Umum DPP PDI wanita pertama yang berhasil menduduki posisi puncak parta politik, setidaknya selama Orde Baru. Pengukuhannya dilakukan lewat arena munas partai banteng itu, di Hotel Garden Kemang, Jakarta Selatan, yang dihadiri 52 fungsionaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dari 27 provinsi. Mega dikukuhkan oleh suara bulat, diiringi tepukan riuh. Putri tertua Bung Karno itu terlihat tenang, hampir tidak berekspresi. Dan seperti biasa, ia menghindar-hindar dari pers. Hanya ketika kepergok wartawan, Mega mau berkomentar pendek. "Alhamdulillah. Ternyata tidak demikian mudahnya menjadi ketua umum yang dipilih dari bawah," ujarnya. Mega memang patut bersyukur. Sebab, kehadirannya di pucuk pimpinan partai sebelumnya terkesan tak dikehendaki Pemerintah. Di balik pemilihan itu, peran beberapa perwira intelijen ABRI memang tampak menonjol. Proses politik yang macet, terutama setelah kongres Surabaya 2-6 Desember lalu, tiba-tiba mencair setelah Direktur A Badan Intelijen Strategis ABRI, Brigjen TNI Agum Gumelar, yang merangkap sebagai Danjen Kopassus, turun tangan. "Mereka berhasil melakukan terobosan yang brilian," ujar Budi Hardjono, kandidat ketua umum yang diungguli Megawati, tentang Agum dan stafnya. Budi juga mengaku tak berkutik setelah ada kepastian bahwa Pemerintah tak keberatan terhadap Mega. "Itu soal biasa dalam pentas politik," katanya enteng. Dan ia tidak keberatan Agum turun sebagai wasit di tengah kemelut partainya. "Tapi itu yang terbaik bagi partai," katanya. Di tengah kemelut PDI itu sendiri, Budi adalah salah seorang aktornya. Ia ikut serta dalam aksi menggusur Soerjadi, ketua umum terpilih versi Kongres Medan Juli lalu. Budi tampil sebagai salah satu kandidat yang didukung elite Caretaker dan bekerja sama dengan Kelompok 17, belakangan disebut Kelompok Potensial, yakni barisan sakit hati yang lima tahun lalu dipecat Soerjadi. Dalam acara pemandangan umum, Megawati unggul mutlak dengan mengantongi 256 dari 305 suara cabang PDI. Dan seperti diduga, Caretaker memilih memacetkan kongres katimbang membiarkan Ny. Megawati Taufik Keimas itu terpilih sebagai ketua umum. Namun, secara de facto Mega menang di lapangan. Keadaan pun jadi tak menentu. Dukungan bagi Mega terus mengalir tanpa henti. Rumahnya yang rindang di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan, didatangi puluhan pendukung dari pelbagai pelosok. "Kami cuma bisa memberikan dukungan moril," ujar seorang kader PDI dari Pemalang, Jawa Tengah. Tokoh semacam Rudini dan Wahono, bahkan Bambang Trihatmodjo, pun terkesan memberi angin ke Mega, yang naik oleh dorongan arus bawah itu. "Ini kehendak arus bawah, jadi kurang baik kalau dicegah," kata Bambang pekan lalu kepada pers. Mega tak tinggal diam. Ia melakukan safari politik menemui Kassospol ABRI Letjen Haryoto, Kepala Bakin Letjen Sudibyo, Pangdam Jaya Mayjen A.M. Hendropriyono, dan Direktur A BAIS Brigjen Agum Gumelar. Sebagai pembina politik, Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet tentu saja pening kepala. Ia didesak oleh faksi-faksi yang berebut posisi di PDI. Yogie juga harus menghadapi kekhawatiran di kalangan pejabat pemerintahan yang khawatir kemenangan Mega akan dipakai oleh kelompok garis keras PDI. Toh, Yogie tidak mungkin menolak Mega. "Kemungkinan besar Mega akan menjadi Ketua Umum," ujarnya. Untuk mengakhiri situasi tak menentu itu, Yogie menawarkan musyawarah nasional. Caretaker diserahi tugas sebagai pelaksana, sebatas sampai membuka sidang. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Latief Pudjosakti dkk. Misalnya Munas diundur menjadi 22 Desember agar kelompok ini bisa merekayasa peserta. Pudjosakti juga usul agar pengurus PDI dilitsus. Ia memutuskan pula delegasi ke Munas dua orang untuk setiap provinsi, satu pengurus daerah resmi dan satu mewakili Kelompok Potensial. Fungsionaris DPD yang kebanyakan pro Mega menolak manuver Latief. Kemacetan Munas pun membayang. Konsultasi ke pejabat di Departemen Dalam Negeri tak memberi banyak hasil. Saat itulah ABRI mengambil peran. Sepanjang hari Senin dan Selasa pekan lalu, Agum Gumelar tampak sibuk di President Hotel, Jakarta Pusat, bertemu dengan semua faksi yang bergesekan. "ABRI hanya diminta membantu kelancaran Munas. Dan yang jelas, mereka tidak boleh lepas dari aspirasi yang ada," kata Agum Gumelar. Pendekatan Danjen Kopassus ini rupanya pas. Munas hanya diikuti oleh dua pengurus partai daerah yang resmi. Faksi-faksi yang bermain, Caretaker, dan kelompok potensial, bahkan barisan Megawati, digiring keluar. Caretaker cuma diberi hak membuka sidang. Dan Munas dilakukan di sebuah hotel di Jakarta agar pengamanannya lebih mudah. Rencana Caretaker untuk menyelenggarakannya di Wisma DPR RI Kopo, Bogor, kandas. Tiga kerawanan tersingkir sekaligus. Semua pihak setuju. "Kami yakin, Pak Agum tak akan mengorupsi aspirasi kami," ujar seorang pendukung Megawati, yakin. Munas siap digelar Rabu pekan silam. Peserta sudah datang sejak pagi. Tapi Sekjen Departemen Dalam Negeri, Suryatna Subrata, yang mewakili Menteri, baru datang pukul 14.15. Sidang pun dibuka. Subrata memberikan sambutan lalu keluar dari ruang sidang. Tak lama kemudian, sebagai ketua sidang, Latief menskors pertemuan. Alasannya ruangan harus dibersihkan. Ini akal-akalan khas gaya Latief. Nyatanya, ia mengulur waktu, berkumpul dengan kelompoknya untuk menyiapkan manuver baru. Sampai dua jam lebih, Latief menghilang. Untung, di situ ada posko aparat. Seorang perwira mencari Latief, mengingatkan kewajibannya. Ketua Caretaker itu segera meluncur ke ruang sidang. Di situ terjadi serah-terima pemimpin sidang. Caretaker selesai, bubar. Mereka tak punya kartu lagi. Kesempatan itu lantas dipakai untuk menetapkan ketua sidang, yakni Alex Asmasoebrata, Ketua PDI Jakarta. Kartu kini jatuh ke tangan Mega. Sidang pun diskors lagi. Suasana agak tegang. Beberapa tokoh PDI terlihat keluar-masuk posko yang dijaga Kol. Zacky Anwar, asisten intel Kodam Jaya. Lobi-lobi berlangsung. Dan sidang dibuka lagi sekitar pukul 20.00. Semua lancar. Hasil sidang komisi di kongres Surabaya bisa disahkan. Lalu pukul 20.40 nama Megawati disebut sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998, sekaligus selaku ketua formatur yang bakal menyusun Dewan Pimpinan Pusat, dan disahkan. Mega pun menang. Pembentukan sembilan anggota formatur pun tak bertele-tele. Kabarnya, berkat lobi-lobi yang diwasiti perwira-perwira ABRI. Dan tampaknya Megawati melakukan kompromi-kompromi dalam penyusunan pengurus DPP PDI. Dalam pengumumannya Kamis malam, Megawati menyebutkan sekjennya adalah Alexander Litaay dari Ambon, dan bendaharanya mantan bankir terkemuka, Laksamana Sukardi. Dari 17 ketua yang mendampingi Mega, terdapat nama seperti Ismunandar, Soetardjo Soerjogoeritno (keduanya tokoh Caretaker, yang menjadi seteru Mega), Gary Mbatemoi (Kelompok Potensial), dan Kwik Kian Gie atau Mangara Siahaan. Baik sekjen maupun bendahara masing- masing didampingi oleh enam wakil. Puncak keriuhan dua kongres PDI yang menelan biaya miliaran rupiah itu adalah memilih pengurus DPP. Dengan susunan personalia seperti itu, tampaknya Megawati telah melakukan kompromi besar. Ia mengakomodasi berbagai faksi dalam PDI. Hanya saja, ia agak beruntung karena tak harus memasukkan para tokoh utama yang menjegalnya seperti Budi Hardjono, Latief Pudjosakti, Marsoesi, atau Jusuf Merukh.Putut Trihusodo, Toriq Hadad, Bambang Soedjatmoko, dan Andi Reza Rohadian (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini