SEBENARNYA, pemerintah Indonesia sudah banyak mengeluarkan jurus ampuh untuk memenangkan perang merebut investasi. Yang terbaru adalah Paket Oktober 1993 yang mengizinkan 100 persen pemilikan asing untuk industri komponen dan bahan baku. Sungguhpun demikian, Indonesia masih dipandang kurang lincah dalam merayu para pemodal. Untuk mengetahui peliknya duduk masalah, wartawan TEMPO Dwi Setyo Irawanto mewawancarai Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo di kantornya, dua pekan lalu. Berikut petikannya: Mengapa ada kesan bahwa kita amat hati-hati menghadapi investor asing? Kita tak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi juga pemerataan. Orang asing boleh memanfaatkan peluang bisnis, tapi kita harus menjaga kepentingan nasional. Modal asing jangan sampai mematikan usaha rakyat, merebut pasar pengusaha kita, menjadikan pengusaha kita terdesak, atau menjadikan pengusaha kita tak punya kesempatan lagi. Jangan begitu. Paling kurang, harus sama-sama. Caranya? Kalau mereka punya posisi yang lebih kuat, mereka boleh PMA 100% dulu. Syaratnya, investasi di atas US$ 50 juta, atau di kawasan berikat, atau di 15 provinsi seperti Jambi dan Indonesia Timur yang 100% produknya diekspor. Ingat: persya- ratan itu atau bukan dan. Jadi, kendati di bawah US$ 50 juta, kalau dibangun di 15 provinsi dan 100% ekspor, boleh PMA 100%. Tapi, setelah 20 tahun, mereka harus menjalankan divestment program. Sebanyak 51% saham harus dialihkan untuk pengusaha lokal. Mengapa? Karena kita tak mau cuma jadi penonton saja. Kita pingin sama-sama kebagian kue. Kita tak mau hanya jadi buruh yang sudah memberi air, tanah, dan peluang untuk mereka manfaatkan. Apa syarat ini tak terlalu berat? Tidak, karena yang 51% itu bisa displit. Misalnya, 31% untuk mitra lokal dan 20% lagi dijual di bursa, hingga 49 persen sisanya tetap merupakan single majority. Jadi, jangan khawatir. They don't have to worry about it. Dan jangan lupa, yang namanya mitra lokal bukan hanya pengusaha lokal, tapi juga lembaga keuangan internasional yang di dalamnya pemerintah Indonesia juga mempunyai saham seperti IFC, IMF, dan ADB. Jadi, idenya, jangan sampai kesempatan peluang usaha dimanfaatkan 100% oleh orang asing, lalu kita cuma melongo saja di pinggir jalan. Tapi di tempat lain kok tak ada program divestment segala? Kita tak hanya bersaing dengan negara-negara berkembang tapi juga negara-negara maju. Karena itu, kita harus siap mental dan pintar melayani investor. Kalau 100 persen di tangan asing, kita hanya tanah, air, dan buruh saja, negara ini bakal cuma jadi bangsa buruh. Kita nggak bakal punya entrepreneur, tak punya jago manajemen. Yang lain, mana yang kurang lincah? Kita sudah sangat terbuka. Soal tanah, misalnya? Izin hak guna usaha memang cuma 35 tahun. Tapi boleh diperpanjang 25 tahun, menjadi 60 tahun. Tapi, sepanjang mereka tetap menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya, mereka berhak memperbarui 35 tahun lagi. Setelah itu, ketika hampir selesai, masih boleh tambah lagi ekspansi 25 tahun. Total 120 tahun. Sebetulnya sama saja dengan mereka yang memberi sekaligus jreng 100 tahun. Hanya saja, pemerintah Indonesia ingin yakin tanah yang dipakai itu tak dialihkan untuk kepentingan lain. Jadi, tak usah khawatir kalau memang punya itikad baik. Apakah Daftar Negatif Investasi masih perlu? Daftar Negatif Investasi kita sudah sangat berkurang. Yang masih termasuk daftar itu misalnya bisnis eceran atau kontrak jasa pengusahaan hutan. Ini kita perlukan untuk melindungi pengusaha dalam negeri. Jasa penebangan hutan, misalnya, itu sudah bisa kita tangani sendiri. Demikian pula dengan bisnis eceran. Kalau jatuh ke tangan mereka, pengusaha kita bisa mati. Pedagang kita bisa disapu bersih. Apalagi pedagang-pedagang kecil. Kita kan baru saja belajar bisnis, mereka sudah mantap, sudah ratusan tahun. Lagi pula, teknologinya modern, dana yang tak terbatas. Kalaupun ada bisnis eceran semacam Sogo, itu cuma franchise dan konsumennya 'kan sangat terbatas. Soal birokrasi apakah masih menjadi hambatan? Nyatanya, tak ada keluhan untuk izin di tingkat BKPM. Saya jamin itu. Kalau ada persoalan, itu pasti salah mereka sendiri karena persyaratannya tak lengkap. Saya sudah bikin evaluasi dari semua izin yang dikeluarkan, untuk PMDN, cuma makan waktu tiga minggu, sedangkan PMA butuh waktu lima sampai enam minggu. Kalau lebih dari itu, pasti ada masalah. Dan masalah itu biasanya ada pada mereka. Dan yang paling penting tak satu sen pun mereka harus bayar. Kadang-kadang investor itu entah tak tahu jalan atau tak mau repot, meminta bantuan pihak ketiga untuk mengurus. Pihak ketiga itu, entah apa namanya: konsultan, penasihat, atau calo, yang minta duit dengan alasan ini untuk bapak pejabat ini atau itu. Padahal duit itu ya untuk mereka sendiri. Soal infrastruktur? Di negara mana pun infrastruktur memang jadi soal. Dalam dua tiga tahun lalu, kita memang kekurangan listrik. Tapi sekarang sudah lancar. Telepon sementara ditanggulangi oleh telepon genggam. Tapi di beberapa daerah, antara lain 15 provinsi tadi, infrastruktur boleh dibilang kurang. Di RRC pun hanya beberapa daerah tertentu yang prasarananya cukup. Jadi, RRC bukan ancaman? Saya kira bukan ancaman karena stabilitas politik di RRC masih dipertanyakan dan aturannya pun masih berubah-ubah. Vietnam mungkin lebih mendekati kita dalam tiga tahun mendatang. Sekarang infrastruktur dan aturan mereka memang belum siap. Tapi kalau itu teratasi, tiga tahun mendatang mereka akan lebih menjulang. Tapi kita belum melihat ancaman yang besar. Lantas bagaimana posisi Indonesia dalam merebut investasi dunia? Kita kebagian US$ 10,3 miliar di tahun 1992. Tapi jangan lupa, itu angka keseluruhan investasi. Equity asingnya paling cuma seperempatnya. Sedang posisi kita tahun 1993 sampai 11 Desember baru 7,4 miliar dolar. Memang ada penurunan. Apa yang dirasa oleh investor sebagai hambatan terbesar? Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN, bahkan mungkin di Asia, yang tak lagi memberikan tax holiday, yang dicabut sejak 1 Januari 1984. Tapi kita memang memerlukan segala sumber pendapatan seperti pajak itu. Lalu mengenai divestment program, orang memang sering bertanya, "Kok di Indonesia ada di negara lain tidak." Itu sudah saya jelaskan tadi karena kita tak ingin jadi penonton saja. Paling cuma itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini