Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencegah Intoleransi Tumbuh di Sekolah

Jumlah pelajar intoleran aktif pada SMA sederajat menunjukkan peningkatan. Perlu diwaspadai agar tidak terus menyebar.

6 Juni 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi pelajar di Sekolah Menengah Atas. TEMPO/Prima Mulia
Perbesar
Ilustrasi pelajar di Sekolah Menengah Atas. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Intoleransi di masyarakat telah menjalar ke sekolah-sekolah.

  • Berdasarkan survei, jumlah pelajar intoleran meningkat.

  • Guru dituntut untuk menumbuhkan sikap kritis para siswa.

JAKARTA – Setara Institute menyatakan penyerangan dan pembakaran properti milik Muhammadiyah di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh, merupakan tindak intoleransi yang telah menjurus ke ranah pidana. Karena itu, organisasi yang berfokus pada penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia ini meminta kepolisian menangkap orang-orang yang terlibat. “Penegakan hukum akan memberikan efek jera sehingga kekerasan serupa tidak berulang,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Indonesia adalah negara hukum. Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kebebasan dalam beragama ini mencakup hak untuk menjalankan ibadah. Namun konflik dalam pendirian rumah ibadah kerap muncul, seperti yang terjadi di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Muhammadiyah berencana mendirikan masjid di Desa Sangso. Rencana itu mendapat penolakan dari sekelompok masyarakat. Diduga, kelompok penolak inilah yang menyerang dan merusak fasilitas milik Muhammadiyah di desa itu. Ismail curiga tindakan para pelaku dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. “Kepentingan politik tidak selalu berhubungan dengan politik elektoral,” katanya. “Politik yang dimaksudkan mencoba menguasai ruang-ruang publik untuk berbagai kepentingan.”

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan gangguan atas peribadatan dan penolakan terhadap pendirian tempat ibadah terjadi di banyak tempat. Paling tidak, berdasarkan catatan Setara, sepanjang 2007-2022 terdapat 573 peristiwa. Tiga puluh persen dari jumlah itu terjadi di Provinsi Jawa Barat.

Ilustrasi siswa sekolah menengah atas mengikuti apel upacara bendera. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Halili mengatakan, memasuki 2023, terdapat kenaikan jumlah kasus intoleransi. Ia menduga kenaikan ini ada hubungannya dengan tahun politik menjelang Pemilu 2024. “Analisis kami, ada upaya konsolidasi kelompok-kelompok intoleran untuk menghimpun sentimen pemilih mayoritas dengan menekan kelompok-kelompok minoritas,” katanya.

Sikap intoleran di masyarakat itu, kata Halili, belakangan sudah menular ke lembaga pendidikan. “Di lima kota di Indonesia, terjadi peningkatan jumlah pelajar intoleran aktif pada sekolah tingkat menengah atas (SMA) dan sederajat,” katanya. Kesimpulan itu diperoleh setelah Setara membandingkan hasil survei pada 2016 dengan 2023. “Pelajar yang intoleran aktif pada survei 2016 itu 2,4 persen, sekarang berada di angka 5,6 persen.”

Adapun survei pada tahun ini, yang digelar pada Januari-Maret lalu, melibatkan 947 pelajar sebagai responden. Sama seperti pada 2016, survei dilakukan dengan wawancara tatap muka di Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang. Halili menilai ada lima faktor yang mempengaruhi tingkat toleransi pelajar di Indonesia, yakni orang tua, guru agama, teman bergaul, organisasi ekstrakurikuler yang diikuti, dan literatur keagamaan.

Eks komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan akar intoleransi di lembaga pendidikan adalah pembelajaran dalam kelas tidak terbuka terhadap perbedaan pendapat. Dia menduga para guru dan siswa terjebak dalam intoleransi pasif. Mereka menerima perbedaan warna kulit dan suku. Namun, saat berbicara soal agama, sikap mereka berubah. “Mereka menjadi tidak toleran terhadap agama lain,” ujar Retno.

Selain itu, Retno menilai, pengaruh intoleransi datang dari pelatih ekstrakurikuler di sekolah, terutama dalam bidang agama. Pelatih ekstrakurikuler yang berasal dari luar sekolah itu menanamkan bibit kebencian terhadap keyakinan lain. “Sekolah harus lebih ketat terhadap kajian agama yang diisi oleh orang luar agar tidak ada penyampaian mengenai pandangan ekstrem,” katanya.

Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin, mengatakan hasil survei yang diperoleh Setara Institute sangat mengkhawatirkan. Kenaikan sikap intoleran itu harus diwaspadai karena bisa menyebar. “Apalagi para murid SMA ini merupakan penerus bangsa,” kata Mukhlisin.

Untuk menumbuhkan toleransi di sekolah, kata Mukhlisin, guru perlu menambah materi pelajaran yang berbasis demokrasi. “Sehingga pemikiran kritis siswa bisa muncul. Ini juga hal penting untuk mencegah intoleransi,” ujarnya. Selain itu, sekolah perlu membuat program literasi lintas agama. Dengan program ini, siswa dimungkinkan memahami teman-teman yang memiliki perbedaan agama. “Supaya mereka tahu bagaimana sebetulnya tiap agama sama, yakni mengajarkan kebaikan.”

Ilustrasi pelaksanaan pembelajaran di sekolah menengah atas. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Pengamat pendidikan dari Universitas Pattimura, Afdhal, mengatakan tindakan intoleransi di lingkungan sekolah bisa terjadi dalam beberapa bentuk. Bentuk yang paling sering terjadi adalah kebijakan penggunaan jilbab. “Ada siswa nonmuslim yang dipaksa memakai jilbab di Padang,” katanya. “Di Bali, siswa muslim justru dilarang memakai jilbab.”

Intoleransi terjadi karena rendahnya pemahaman siswa atas manusia lain. Begitu juga dengan kesenjangan sosial yang berujung pada kecemburuan sosial. “Selain itu, hal yang membuat intoleransi menguat adalah politik identitas,” ujar Afdhal.

Peneliti senior dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Didin Syafruddin, mengatakan lembaga pendidikan harus menjadi teladan dalam mempraktikkan pendidikan kemanusiaan dan budi pekerti. Tiap unsur yang terlibat di lingkungan sekolah, seperti kepala sekolah, guru, petugas keamanan, petugas kebersihan, dan petugas kantin, baik laki-laki maupun perempuan, harus saling memuliakan. “Semua unsur harus memperlakukan secara setara dan adil apa pun agama, suku, status ekonomi, warna kulit, dan lainnya. Siswa harus ditanamkan pemikiran yang kritis serta mempraktikkan demokrasi,” ujarnya.

Dia menilai pendidikan budi pekerti masih kurang di lembaga pendidikan. Sebab, pembelajaran masih menerapkan ceramah. Padahal pendidikan budi pekerti memerlukan diskusi dan dialog terbuka kritis. “Sehingga akan terjadi pembiasaan dan keteladanan. Ini yang diperlukan untuk mencegah intoleransi,” kata Didin. 

HENDRIK YAPUTRA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hendrik Yaputra

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus