Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBICARA di hadapan anggota Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pada Senin siang, 5 Desember lalu, Penny Lukito menyampaikan unek-uneknya. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tersebut menyatakan hingga hari itu Kementerian Kesehatan tak memberi sampel obat yang digunakan oleh pasien gagal ginjal akut progresif atipikal.
“Ada ketidakpercayaan Kementerian Kesehatan kepada BPOM,” ujar Penny seperti tertulis dalam notula pertemuan yang didapat Tempo. Notula yang sama menyebutkan, dalam pertemuan di kantor BPKN di Menteng, Jakarta Pusat, itu, Penny menyatakan lembaganya hanya menerima daftar obat, bukan sampel, yang digunakan oleh pasien gagal ginjal akut.
Daftar itu pun tak dilengkapi nomor batch obat. Akibatnya, BPOM sulit menelusuri obat bermasalah. Petinggi BPOM yang hadir di pertemuan itu juga mempersoalkan keputusan Kementerian Kesehatan memeriksa kandungan obat di Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI alih-alih menyerahkannya kepada BPOM untuk diteliti.
Ketua BPKN Rizal Edy Halim membenarkan isi notula pemeriksaan tersebut. Menurut Rizal, Penny lantas menyatakan bahwa BPOM mengumpulkan sendiri data 67 obat yang dikonsumsi pasien gagal ginjal akut. Namun hanya sembilan yang datanya lengkap. Dua di antaranya telah diuji di laboratorium.
Rizal bercerita, keterangan Kepala BPOM Penny Lukito menunjukkan buruknya koordinasi penanganan kasus gagal ginjal akut. “Kesimpulan ini kami sampaikan kepada publik,” ucap Rizal kepada Tempo, Jumat, 16 Desember lalu. Hasil kerja TPF dirilis ke publik pada Rabu, 14 Desember lalu.
BPKN membentuk tim pencari fakta pada Jumat, 9 November lalu, untuk menyelidiki lonjakan jumlah kasus gagal ginjal akut yang disebabkan cemaran etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG). Hingga 27 November lalu, tercatat terdapat 327 kasus gagal ginjal akut di 27 provinsi. Dari jumlah itu, 202 anak meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konferensi Pers BPKNRI terhadap temuan kasus gagal ginjal akut progressif atipikal (GGAPA) pada anak, di Jakarta, 15 Desember 2022. Youtube BPKN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dipimpin oleh Wakil Ketua BPKN Muhammad Mufti Mubarok, TPF beranggotakan antara lain komisioner BPKN, Charles Sagala dan Said Utomo; Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Manager Nasution; Yogi Prawira dari Ikatan Dokter Anak Indonesia; Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi; dan jurnalis Tempo, Stefanus Pramono.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang juga anggota TPF, bercerita, buruknya koordinasi juga terlihat saat tim meminta keterangan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Senin, 28 November lalu. “Pak Menteri ingin masalah kebijakan kesehatan lebih terkoordinasi,” tutur Pandu kepada Tempo, Kamis, 15 Desember lalu.
Tim pencari fakta juga menemukan bahwa petinggi BPOM sempat ditegur dalam pertemuan di Kementerian Kesehatan pada 16 Oktober lalu. Sebab, sehari sebelumnya BPOM mengeluarkan rilis publik bahwa penyebab kasus gagal ginjal akut masih belum diketahui. Padahal Menteri Kesehatan berulang kali menyatakan bahwa kasus gagal ginjal akut disebabkan obat sirop.
“Sudah pasti karena obat sirop,” ujar Menteri Budi pada akhir Oktober lalu. Pada Sabtu, 17 Desember lalu, Menteri Budi menyatakan kepada Tempo bahwa pemerintah menyadari kelemahan komunikasi antara lembaganya dan BPOM. “Kami akan memperbaiki struktur koordinasi serta komunikasi di kementerian, lembaga, dan daerah,” ucap Budi Gunadi Sadikin.
Adapun Kepala BPOM Penny Lukito tak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo. Seorang pejabat BPOM mengatakan bahwa pertanyaan dari Tempo telah diteruskan ke unit-unit yang menangani persoalan gagal ginjal akut dan obat tercemar.
Dalam wawancara tertulis dengan Tempo pada akhir Oktober lalu, Penny mengklaim selalu berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dalam menangani kasus gagal ginjal akut. Ia mencontohkan, BPOM segera menindaklanjuti informasi dari Kementerian tentang 102 obat yang dipakai pasien gagal ginjal akut. “Kami meneliti kandungan bahan bakunya,” ujar Penny.
Baca: Wawancara Kepala BPOM Penny Lukito soal Pengawasan Obat Sirop Penyebab Gagal Ginjal Akut
•••
TAK hanya mempersoalkan koordinasi yang buruk antara Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempertanyakan kelambanan BPOM dalam mengawasi peredaran obat dan mengumumkan daftar obat bermasalah ke publik.
Notula permintaan keterangan terhadap Penny Lukito dan petinggi BPOM menyebutkan lembaga itu membantah ada kelambanan. Petinggi BPOM justru menyatakan bahwa kebijakan Kementerian Kesehatan melarang peresepan dan penjualan obat sirop mulai 18 Oktober lalu diambil setelah lembaga pengawas memberi informasi ada remedi yang mengandung EG dan DEG.
Dalam notula yang sama disebutkan petinggi BPOM menyatakan bahwa lembaganya menemukan obat tercemar EG dan DEG pada Flurin, obat produksi PT Yarindo Farmata. Temuan itu diketahui BPOM pada 10 Oktober lalu. Masalahnya, BPOM baru mengumumkan daftar lima obat bermasalah, termasuk Flurin, sepuluh hari kemudian atau pada 20 Oktober lalu.
Dalam rilis publik yang terbit pada 12, 15, dan 19 Oktober lalu, BPOM tak menyebutkan sama sekali temuan tersebut. BPOM hanya mengumumkan bahwa obat penyebab gagal ginjal akut asal India yang digunakan di Gambia, Afrika, tak terdaftar di Indonesia. Dalam rilis tersebut, BPOM menyatakan melakukan pengawasan pre-market dan post-market secara komprehensif.
Ketua BPKN Rizal Edy Halim menyatakan temuan itu membuat TPF menyimpulkan bahwa BPOM menutupi hasil pengujian. “Artinya BPOM lamban sekali. Padahal ini masalah nyawa yang membutuhkan penanganan cepat,” ujar Rizal.
Baca: Benarkah BPOM Melindungi Industri Farmasi dalam Kasus Gagal Ginjal Akut?
Indikasi BPOM menunda-nunda pengumuman obat bermasalah terlihat saat TPF berkunjung ke pabrik PT Yarindo di Serang, Banten, pada Jumat, 2 Desember lalu. Anggota TPF yang hadir dalam pertemuan itu bercerita, petinggi Yarindo mendapat informasi dari anggota staf BPOM bahwa Flurin bermasalah pada 15 Oktober lalu.
BPOM lantas meminta Yarindo menyerahkan 15 sampel Flurin pada 17 Oktober. Sehari sebelum pengumuman lima obat yang mengandung EG dan DEG dikeluarkan, atau pada 19 Oktober lalu, BPOM memanggil Yarindo dan memberi tahu hasil pengujian.
Manajer Hukum Yarindo, Vitalis Jebarus, membenarkan isi pertemuan dengan Tim Pencari Fakta BPKN. Menurut dia, perwakilan perusahaannya hanya mendapat surat yang menyatakan adanya kandungan EG dan DEG pada Flurin. Namun BPOM tak pernah menjelaskan kadar EG dan DEG yang melebihi ambang batas.
“Sampai sekarang kami tak pernah dapat hasil pengujian BPOM,” tutur Vitalis pada Jumat, 16 Desember lalu. Penyidik pegawai negeri sipil BPOM menetapkan PT Yarindo sebagai tersangka bersama PT Universal Pharmaceutical Industries pada pertengahan November lalu.
Kelambanan BPOM mengumumkan daftar obat bermasalah menjadi diskusi hangat di antara anggota TPF. BPOM dianggap lebih berpihak pada industri farmasi ketimbang publik. Indikasinya, dalam kondisi darurat, yaitu angka kasus gagal ginjal akut yang melonjak, BPOM mempertahankan mekanisme verifikasi ke perusahaan farmasi.
“Seharusnya BPOM langsung mengumumkan daftar obat bermasalah kepada publik begitu hasil pengujian diketahui,” ujar Ketua Tim Pencari Fakta BPKN Muhammad Mufti Mubarok kepada Tempo, Sabtu, 16 Desember lalu. TPF pun menilai BPOM tak memiliki protokol penanggulangan krisis.
Ketua BPOM Penny Lukito (kiri) menyaksikan pemusnahan obat yang terbukti mengandung cemaran EG/DEG di atas ambang batas aman, di Semarang, Jawa Tengah, 12 Desember 2022. Dok. BPOM
Tim Pencari Fakta juga menilai keberpihakan BPOM terhadap industri farmasi terlihat pada masa awal lonjakan jumlah kasus gagal ginjal akut. Indikasinya, BPOM menolak melarang peredaran obat sirop di pasar. Padahal, seperti tertuang dalam dokumen hasil kerja TPF, saat itu kondisi sedang gawat.
Baca: Galaunya Industri Farmasi karena Larangan Obat Sirop
Temuan TPF sama dengan penelusuran Tempo pada akhir Oktober lalu. Keengganan BPOM menggunakan otoritasnya untuk melarang peredaran obat sirop membuat Kementerian Kesehatan mencari jalan lain. Kementerian akhirnya mengeluarkan instruksi agar tenaga kesehatan tak meresepkan dan menggunakan obat sirop. Pengaturan tenaga kesehatan berada di Kementerian Kesehatan.
Selain itu, Tim Pencari Fakta juga menilai BPOM tebang pilih terhadap perusahaan farmasi. Indikasinya, ada satu perusahaan farmasi yang produknya terbukti mengandung EG dan DEG tapi tidak ditetapkan sebagai tersangka. Nasib berbeda dialami PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries yang telah menjadi tersangka.
Vitalis mengatakan perusahaannya tak memiliki niat menggunakan bahan pelarut yang tercemar etilena glikol dan dietilena glikol. Ia menuding kesalahan ada pada distributor kandungan propilena glikol yang menyerahkan bahan yang mengandung EG dan DEG. “Kami ditipu dan menjadi korban distributor nakal,” tutur Vitalis.
Baca Opini Tempo: Gagal Negara Melindungi Anak dalam Kasus Gagal Ginjal Akut
•••
EMPAT hari berturut-turut Tim Pencari Fakta menggelar pertemuan di kantor Badan Perlindungan Konsumen Nasional di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Berlangsung pada 6-9 Desember lalu, anggota TPF dan tim BPKN merumuskan temuan tim yang bekerja selama sekitar satu bulan.
Ketua Tim Pencari Fakta BPKN Muhammad Mufti Mubarok mengatakan pada hari terakhir TPF mencapai kesimpulan bahwa kasus gagal ginjal akut disebabkan oleh lemahnya pengawasan terhadap obat yang beredar di masyarakat. “Kami bersepakat bahwa meninggalnya lebih dari 200 anak karena kasus gagal ginjal akut merupakan tragedi kemanusiaan,” ujar Mufti.
Anggota TPF yang hadir menyepakati bahwa pemerintah dan industri farmasi yang produknya mengandung EG dan DEG harus memberi santunan atau ganti rugi terhadap korban obat tercemar yang meninggal atau keluarganya. Apalagi, seperti tercantum dalam temuan TPF, sejumlah pasien mengalami gejala sisa seperti keharusan menjalani cuci darah dan kelumpuhan.
“Keluarga pasien yang selamat dihantui penyakit susulan terhadap anak mereka,” kata Mufti Mubarok. Kesimpulan itu didapatkan tim berdasarkan hasil wawancara dengan puluhan anggota keluarga korban. Mendukung keinginan keluarga korban, TPF merekomendasikan pemerintah menunjukkan empati kepada mereka.
Baca: Kisah Keluarga Pasien Gagal Ginjal Akut yang Bersiap Menghadapi Risiko Terburuk
Laporan hasil kerja TPF soal kasus gagal ginjal akut disampaikan kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pada Senin, 12 Desember lalu. Menurut Ketua BPKN Rizal Edy Halim, Luhut berjanji meneruskan temuan TPF kepada Presiden Joko Widodo. “Beliau juga meminta kami mengungkap semua temuan agar bisa dilakukan perbaikan,” tutur Rizal.
EGY ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo