Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Empat warga desa Wadas menggugat perdata pemerintah ke Pengadilan Negeri Sleman.
Warga Wadas sudah beberapa kali mengajukan gugatan.
Sidang masih dalam tahap mediasi.
YOGYAKARTA – Perjuangan warga Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, untuk mempertahankan ruang hidupnya belum selesai. Empat warga desa yang terancam dampak penambangan batuan andesit untuk proyek Bendungan Bener itu mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat warga tersebut menggugat Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo, Presiden Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serta Gubernur Jawa Tengah. Mereka menilai kelima pihak tersebut sebagai tergugat melakukan perbuatan hukum akibat penambangan batuan di kawasan Wadas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perwakilan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa), Siswanto, mengatakan warga penolak tambang andesit kembali menggugat karena tanda-tanda kerusakan lingkungan semakin nyata. Tahun ini saja sudah terjadi tiga kali banjir lumpur karena aktivitas tambang tersebut. Teranyar, banjir terjadi pada Selasa, 14 November lalu. “Padahal sebelumnya tak pernah banjir. Tanda-tanda kerusakan lingkungan membuat kami semakin resah,” ujar Siswanto kepada Tempo, Kamis, 30 November 2023.
Siswanto mengatakan gugatan perdata tersebut diajukan empat warga Wadas. Keempatnya adalah Priyanggodo, Talabudin, Kadir, dan M. Nawaf Syarif. Mereka mewakili puluhan warga Desa Wadas yang masih bertahan menolak rencana tambang batuan andesit di desa mereka. Sidang perdana di Pengadilan Negeri Sleman digelar pada Kamis kemarin dengan agenda mediasi.
Siswanto menegaskan, warga desa Wadas kembali mengajukan gugatan dengan harapan pemerintah mempertimbangkan lagi pertambangan batuan andesit di Desa Wadas. Dia juga berharap dalam sidang dengan agenda mediasi itu, tuntutan masyarakat Wadas disetujui.
Aksi Gempadewa di lokasi proyek pembukaan akses jalan di Wadas, 26 Maret 2023. Dok. Wadas Melawan
Kadir, salah seorang warga penggugat, mengatakan penambangan batuan andesit ini juga membuat sikap warga terbelah antara yang pro dan kontra terhadap tambang serta proyek Bendungan Bener. Menurut dia, perpecahan di antara warga desa mengganggu harmonisasi sosial para warga. “Kondisi ini menyebabkan warga Wadas tidak bisa hidup sejahtera lahir dan batin di desanya,” ujarnya.
Empat warga Wadas didampingi oleh 12 pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Para pengacara itu dalam gugatannya dipimpin Trisno Raharjo, yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Trisno menjelaskan, warga Wadas menempuh jalur hukum karena pemerintah berkeras menetapkan lokasi tambang batuan andesit di Desa Wadas. Akibatnya, para penggugat termasuk sejumlah warga Wadas, kehilangan tanah dan terancam terjadi bencana akibat proses penambangan itu. Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah untuk tambang bukan termasuk kepentingan umum.
Tidak hanya itu, Trisno melanjutkan, masa penetapan lokasi tambang yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah sejak 2018 dan sempat diperpanjang hingga tiga kali dianggap melanggar hukum. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, perpanjangan hanya bisa dilakukan sekali. “Dengan dalil itu sebenarnya para tergugat bisa dinilai terbukti melawan hukum,” ujar Trisno, kemarin.
Warga Wadas juga menggugat proses pengukuran lahan lokasi tambang andesit yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Pengukuran tanah itu dinilai warga dilakukan secara serampangan. Sebab, pengukuran tanah dan luas lahan tidak sesuai dengan nama pemilik lahan. Petugas BPN di lapangan disebut-sebut justru menyerobot tanah milik warga lain ketika mengukur tanah. “Pengukuran ini juga bisa dinilai sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan negara,” ujar Trisno.
Dia berharap majelis hakim menyatakan perbuatan Kepala BBWSSO dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dalam proses pengadaan tanah untuk proyek tersebut sebagai perbuatan melawan hukum. Dia juga berharap pengadilan meminta para tergugat menghentikan proses pengadaan tanah dan memindahkan lokasi tambang andesit dari Wadas. “Serta memberikan ganti rugi kepada para penggugat, baik materiel dan imateriel dengan total Rp 53,8 miliar,” kata Trisno.
Sebelum dilakukan mediasi, majelis hakim yang dipimpin Asni Meriyenti mengecek kelengkapan administrasi kuasa hukum para penggugat dan tergugat. Hasilnya, syarat administratif kuasa hukum dari Presiden yang diwakili Sekretariat Negara belum lengkap. “Surat kuasa dari Sekretariat Negara masih ada yang menyusul, ya,” ujar Asni.
Penggugat ataupun tergugat sepakat menyerahkan kepada majelis hakim untuk menunjuk hakim di Pengadilan Negeri Sleman, yakni Novita sebagai hakim mediator. “Mudah-mudahan kedua pihak ada titik temu sehingga berdamai,” kata Asni.
Masih dari sidang tersebut, BBWSSO diwakili jaksa pengacara negara (JPN) Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Para jaksa memilih melihat perkembangan selanjutnya dalam sidang gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Sleman tersebut. “Dari penggugat mau mengajukan apa, perdamaiannya bagaimana, dari BBWSSO bagaimana, kan belum jelas,” ujar Ketua Tim Kuasa Hukum BBWSSO Nilla Aldriani, yang juga Kepala Seksi Perdata Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, seusai persidangan.
Sidang mediasi perdana langsung dihelat hakim Novita selaku mediator pada Kamis sore. Para penggugat menyebutkan tiga hal yang diminta. Pertama, menghentikan proses pengadaan tanah. Kedua, memindahkan lokasi tambang andesit dari Wadas. Ketiga, memberikan ganti rugi baik materiel maupun imateriel dengan total Rp 53,8 miliar. Namun belum ada kesepakatan dalam sidang mediasi. Walhasil, mediasi dilanjutkan pada 11 Desember 2023.
Trisno menjelaskan, majelis hakim memberi waktu mediasi selama satu bulan. Dalam mediasi, kuasa hukum penggugat tetap mengajukan permintaan agar penambangan batuan andesit tidak dilakukan di lahan-lahan mereka di Wadas. Menurut Trisno, hasil sidang mediasi bisa saja tak mencapai kata sepakat. Sebaliknya, jika sidang mediasi mencapai kesepakatan, hakim mediator akan membuat akta perdamaian yang ditandatangani para pihak.
Dia menjelaskan, jika dari sidang mediasi tak tercapai kesepakatan, proses sidang gugatan perdata tetap dilanjutkan masuk ke pokok perkara dengan agenda pembacaan berkas gugatan. “Putusannya nanti kami serahkan kepada hakim,” kata Trisno.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P. Wiratraman mengatakan tindakan warga menggugat pemerintah ke pengadilan sudah tepat. Sebab, dia menilai, pemerintah bisa dinilai melakukan perbuatan melawan hukum.
Menurut dia, dengan habisnya izin penetapan lokasi, pemerintah seharusnya tidak bisa melakukan aktivitas apa pun, termasuk proses pelepasan tanah. Bila melakukan itu, pemerintah dianggap melanggar hukum. “Seharusnya pemerintah membuat izin baru lagi. Baru setelah itu mulai dari tahap perencanaan,” ujar Herlambang.
Warga Wadas yang tergabung dalam Gempadewa melakukan aksi di Wadas, Jawa Tengah, 26 April 2023. Dok. Wadas Melawan
Gugatan Bukan yang Pertama Kali
Sengkarut tanah di Desa Wadas bermula saat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menetapkan lokasi pertambangan batuan andesit di Desa Wadas pada 2018. Pada tahun itu pula terbit izin penetapan lokasi (IPL) proyek strategis nasional pembangunan bendungan di Desa Wadas. IPL itu diperpanjang hingga tiga kali dan habis pada 7 Juni 2023. Namun sampai saat ini masih ada aktivitas perusahaan. Batuan andesit ini akan digunakan sebagai bahan pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo yang berstatus proyek strategis nasional.
Warga Wadas menolak. Ini bukan pertama kalinya warga Wadas menentang tambang batuan andesit. Dua tahun lalu, warga Wadas mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang. Mereka mempersoalkan terbitnya keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang izin penetapan lokasi atas pengadaan tanah bagi proyek Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Proyek bendungan tersebut menggunakan batuan andesit yang diambil dari Desa Wadas. Namun, pada September 2021, PTUN Semarang menolak gugatan tersebut.
Warga Wadas juga menggugat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ke PTUN Jakarta karena memberi izin tambang material batuan andesit di Wadas. Tapi hakim PTUN Jakarta juga menolak gugatan tersebut. Masalah lahan warga Wadas makin runyam dan terus bergema setelah polisi datang mengawal pengukuran tanah di Desa Wadas pada 8 Februari 2022. Kala itu puluhan warga diduga diintimidasi dan ditangkap.
Siswanto mengatakan warga Wadas menolak lokasi tambang di Wadas karena aktivitas itu mengancam kehidupan mereka sebagai petani. Lokasi tambang di perbukitan bagian atas Desa Wadas berpotensi menyebabkan bencana, seperti banjir, tanah longsor, dan hilangnya sumber air.
Pemerintah tetap melanjutkan proyek dan mendesak warga menyerahkan tanahnya untuk proyek bendungan dari area tambang andesit seluas 114 hektare. Pemerintah ditengarai melakukan tindakan seperti ancaman konsinyasi hingga menyebarkan informasi bohong bahwa warga menerima uang pelepasan tanah.
Pemerintah setempat diduga menyebarkan informasi keliru tentang sikap warga Wadas pada 31 Agustus lalu. Warga Wadas diberitakan menyetujui pembebasan tanah. Informasi keliru itu adalah berita yang diunggah Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Tengah pada situs web Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Berita itu berjudul “Musyawarah Terakhir, Warga Wadas Akhirnya Setujui Pembebasan Lahan”. Dalam berita itu disebutkan semua warga Wadas hadir dalam pertemuan di balai desa dan menyepakati bentuk ganti rugi tanah berupa uang.
Anggota Kawula Muda Desa Wadas (Kamudewa), Talabudin, menegaskan isi berita tersebut keliru dan menyesatkan. Sebab, dalam pertemuan itu, warga menolak tambang dan tak sepakat melepas lahan mereka. Menurut dia, dalam pertemuan tersebut, warga Wadas dipaksa menyetujui pembebasan lahan. Salah satu indikasinya, undangan musyawarah yang dibuat Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo mencantumkan catatan bernada ancaman, yaitu warga yang tidak hadir dianggap setuju. Ketika warga berdatangan ke balai desa, penyelenggara memaksa warga menandatangani daftar hadir. Daftar hadir inilah yang kemudian diklaim sebagai bukti persetujuan ganti rugi lahan yang akan menjadi lokasi tambang andesit.
Adapun Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Jawa Tengah Haerudin menegaskan masalah pembebasan lahan telah clear. Mayoritas warga Wadas disebut setuju soal pembebasan lahan. Tapi ia enggan menyebutkan dokumen bukti persetujuan. “Kami mendampingi di lapangan. Data nama-nama ada di BPN Kabupaten Purworejo,” ujarnya.
HENDRIK YAPUTRA | PITO AGUSTIN RUDIANA | SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo