Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Yayasan Sativa Nusantara telah menyusun proposal penelitian untuk penggunaan ganja (cannabis) sebagai obat. Riset itu nanti difokuskan pada pengobatan penyakit diabetes dan cerebral palsy atau lumpuh otak. “Ada lima universitas luar negeri yang sedang kami jajaki. Kalau di dalam negeri, cukup banyak,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara, Dhira Narayana, kemarin.
Yayasan Sativa Nusantara bergerak di bidang riset dan advokasi yang berfokus pada tanaman ganja medis. Yayasan ini telah menginisiasi penelitian ganja untuk keperluan medis sejak 2014. Rencananya, setelah kerja sama penelitian dengan universitas disepakati, yayasan akan mengajukan izin kepada Kementerian Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Juli lalu menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Produksi dan/atau Penggunaan Narkotika untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa narkotik golongan I, termasuk ganja, dapat digunakan untuk penelitian kesehatan sampai tahap uji praklinis dan dalam bentuk ekstrak atau isolat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Menteri Kesehatan itu, kata Dhira, menjadi babak baru dalam penelitian ganja untuk pengobatan. Sebab, selama ini peluang tersebut nyaris tertutup rapat. Yayasan Sativa pernah mengajukan proposal untuk permohonan izin riset ganja ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). Izin penelitian telah diterbitkan pada 30 Januari 2015. Hanya, izin tersebut dibarengi oleh sejumlah persyaratan.
Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi adalah penelitian ganja itu harus menggandeng Balitbangkes. Namun, hingga saat ini, belum ditunjuk tim yang bisa dilibatkan dalam penelitian. “Riset ini mandek karena terhambat urusan birokrasi,” kata Dhira. “Setelah permenkes itu terbit, target kami tahun ini sudah bisa jalan penelitian dan kelihatan hasilnya.”
Proposal riset ganja medis juga telah disiapkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti, mengatakan riset difokuskan pada bahan aktif dalam cannabis yang bisa digunakan untuk kepentingan medis. “Proposal sudah siap, namun belum ada funding-nya,” kata Indi.
Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir, menyatakan holding badan usaha milik negara (BUMN) di bidang farmasi ini belum memiliki rencana untuk melakukan riset pengembangan produk narkotik farmasi dalam waktu dekat. Kendati begitu, Bio Farma terbuka untuk menyambut munculnya inovasi produk dan layanan kesehatan.
Honesti menyatakan Indofarma Tbk, sebagai anak usaha dengan portofolio herbal, berpeluang masuk ke bisnis narkotik medis. “Sepanjang memenuhi aspek legal dan etis serta jelas potensi komersialnya,” kata dia.
Aparat keamanan memusnahkan tanaman ganja di kawasan pegunungan Seulawah, Kecamatan Seulimeum, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, 2021. ANTARA/Ampelsa
Memperjuangkan Ganja Medis
Desakan pemanfaatan ganja untuk keperluan medis mencuat pada Juni lalu setelah Santi Warastuti menggelar unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Santi memiliki anak bernama Pika Sasikirana yang menderita cerebral palsy sejak berusia 7 tahun. Ia mengetahui, di sejumlah negara, penderita penyakit ini kondisinya membaik setelah menjalani terapi minyak ganja. Karena itu, Santi meminta ganja dilegalkan untuk pengobatan.
Meski saat ini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2022, Santi ragu pemerintah langsung membuat gebrakan dengan melegalkan ganja medis. “Saya berharap pemerintah bisa bergerak lebih cepat,” katanya. “Saya dikejar waktu, Pika masih bertarung dengan kejangnya.”
Sembari menunggu, Santi mengatakan akan tetap memperjuangkan legalisasi ganja medis. Ia berupaya menyebarkan kepedulian tentang ganja untuk pengobatan melalui media sosial. Dampaknya, kata dia, diskusi dan seminar yang membicarakan soal legalisasi ganja medis marak dilakukan di berbagai daerah. “Sambil menunggu apa yang bisa dilakukan oleh pemangku kebijakan.”
Santi berharap terbitnya permenkes ini benar-benar bisa dimanfaatkan untuk penelitian ganja medis. Bagi dia, ganja medis tak hanya berarti bagi Pika, tapi juga penderita cerebral palsy lainnya.
IMA DINI SHAFIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo