UNTUK mengikuti ujian negara, Dewi Andrini, mahasiswi Fakultas Arsitektur Landskap, Universitas Trisakti, akarta, harus membayar Rp 7.500,00 untuk mata kuliah Pancasila. Untuk mata kuliah lainnya, Botani misalnya, biayanya lebih mahal, Rp 12.500,00. Tapi, untuk mata kuliah Studio, ia diharuskan membayar Rp 125.000,00. "Mahal sekali, ya," katanya. Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi, tentang petunjuk teknis ujian negara yang dikeluarkan 31 Januari 1987, antara lain, menetapkan biaya ujian ditentukan oleh Panitia Ujian Negara yang dibentuk di tiap Kopertis. Kopertis III Wilayah Jakarta, setelah bermusyawarah dengan BM PTS (Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta), menetapkan Rp 7.500,00 per mata kuliah. Kopertis IV Jawa Barat hanya Rp 5.000,00, dan angka ini memang dikehendaki Dirjen Soekadji sebagai angka rata-rata. Surat keputusan ini akan ditinjau setelah pelaksanaannya dua tahun. Kini baru berjalan setahun, dan rata-rata baru sekali diadakan ujian negara yang berpedoman surat keputusan itu. Bahkan ada beberapa mata kuliah yang belum diujikan, karena terbentur jadwal. Tapi kesimpangsiuran sudah terjadi. Bukan cuma masalah biayanya, tetapi ada PTS yang masih tetap menyelenggarakan ujian lokal. Untuk mencari masukan itulah, di tiap Kopertis diselenggarakan seminar yang diikuti oleh para pimpinan PTS. Di Kopertis III, seminar berlangsung pertengahan bulan lalu, dan Universitas Katolik Atmajaya sebagai tuan rumah. Di Kopertis IV, seminar itu berlangsung Selasa pekan lalu di kampus Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Seminar serupa sudah juga berlangsung di Kopertis II Palembang. Dua hal tadi, biaya ujian negara dan tidak perlunya ujian lokal, menjadi topik yang menarik dalam seminar. Dirjen Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Soekadji Ranuwihardjo secara tegas mengatakan, "Sebetulnya PTS itu tidak usah mengadakan ujian lokal." Menurut Soekadji, tugas PTS hanya memberikan kuliah, ujian akhirnya adalah ujian negara. Bahkan ujian negara itu pun sejak tahun lalu bisa dicicil setelah mahasiswa itu mengikuti semester II. Ini dimaksudkan untuk mengurangi akumulasi mahasiswa pada tingkat akhir. Kalau semua mahasiswa PTS melakukan ujian negara pada tingkat akhir, bisa dibayangkan sibuknya dosen penguji dan jadwal berbenturan. Suara yang direkam dari seminar memang beragam. M.O. Palapah, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), mengatakan bahwa di Unisba ujian lokal itu wajib, justru sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti ujian negara. Jadi, kalau disebut bahwa ujian lokal tak diperlukan lagi, ini membingungkannya. "Bagaimana kita tahu indeks prestasi seseorang kalau mahasiswa itu tidak lulus ujian lokal?" kata Palapah. Di Universitas Islam Nusantara (Uninus), juga di Bandung, ujian lokal itu memang sudah ditiadakan. "Tak ada lagi ujian lokal di kampus Uninus," kata Abin Syamsuddin, Pembantu Rektor II Uninus. Ia setuju dengan kebijaksanaan Departemen P dan K, ujian lokal itu mubazir, selain menambah beban buat mahasiswa. Di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, lain lagi. Ujian lokal masih ada untuk beberapa Jurusan karena tldak ada ujian negaranya. Misalnya di Fakultas Teknik Tekstil. Menurut Drs. Effendi Arie, Purek I UII, ujian lokal ini memang sifatnya tidak resmi. "Hanya untuk memberi penghargaan pada mahasiswa yang telah menyelesaikan teori," kata Effendi Arie. Kalau mereka lulus, diberi ijazah sarjana lokal, karena memang ada perusahaan swasta yang mau menerima lulusan sarjana lokal UII. Walau di beberapa PTS masih ada yang menyelenggarakan ujian lokal, tidak semua memungut biaya untuk ujian itu. UII Yogya sama sekali tak memungut biaya. Tapi Unisba Bandung memungutnya. Ini hanya sekadar contoh bagaimana pelaksanaan di PTS begitu beragamnya. Beban tambahan inilah yang dimaksudkan Soekadji memberatkan mahasiswa. Karena mahasiswa PTS itu sendiri sudah kena beban untuk biaya ujian negara. Akan halnya besar biaya ujian negara ini angka yang dimaui Soekadji dirasakan sangat kecil, dan tak bisa menutupi ongkos pelaksanaannya. Dalam seminar di Jakarta dan Tasikmalaya, terungkap betapa kecilnya biaya itu, terlebih-lebih untuk ujian negara yang diikuti sedikit mahasiswa. Mana untuk biaya konsumsi, honor dosen penguji, sewa gedung, dan sebagainya. Dalam praktek yang terjadi, ada penambahan yang bervariasi tergantung mata kuliah dan besar kecilnya peminat. Itu yang menyebabkan untuk mata kuliah yang "kering", seperti yang dialami Andrini ketika ujian negara Studio harus membayar Rp 125.000,00. Dosen pengujinya ada yang didatangkan dari Bandung dan tentu perlu disediakan uang transpor yang lebih sekiranya dosen penguji itu cuma dari Jakarta. Akan halnya dosen penguji dari PTN, ada masalah lain lagi. Terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa PTS yang diuji dan dosen penguji dari PTN. Di Jawa Barat, misalnya, sebuah PT menjadi pembina untuk 25 PTS. Akibatnya, seorang dosen penguji dari PTN harus memeriksa ribuan lembar kertas ujian mahasiswa - dalam bentuk esai lagi. Tentu terjadi keterlambatan memeriksa, apalagi dosen itu tak dibebaskan dari tugas rutinnya di PTN-nya sendiri. Atau dosen itu bisa tidak awas. Jika itu terjadi, seperti yang disinyalir Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Oetomo Djajanegara, "Tidak heran kalau terjadi penurunan mutu." Rangkaian seminar di beberapa kota ini memang baru menginventarisasi masalah. Di setiap wilayah Kopertis, permasalahan pun tak sama. Ada yang mempersoalkan biaya, dosen penguji PTN, jadwal ujian negara, batas waktu permohonan ujian, bahkan masih ada nada yang tidak menyetujui ujian negara cicilan - suatu hal yang justru menguntungkan mahasiswa. Semua hasil seminar ini akan dibawa dalam musyawarah nasional BM-PTS se-Indonesia yang direncanakan Juni nanti. Hasil munas itulah yang akan dipakai Dirjen untuk merevisi - atau malah mengganti - SK yang dikeluarkan tahun lalu. Ini masih dalam rangkaian upaya peningkatan mutu perguruan tinggi, yang terus-menerus dilakukan Departemen P & K. Agus Basri dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini