Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bubar gaya palembang

Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Sjakhya Kirti Palembang dibubarkan. Mahasiswanya disalurkan ke universitas negeri, tapi ada yang ditolak. Itu kelanjutan penertiban terhadap pts yang tak memenuhi syarat.

5 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENERTIBAN terhadap perguruan tinggi swasta yang tidak memenuhi syarat, walau sudah punya izin operasional, bukan cuma gertak. Universitas Sjakhyakirti (US) Palembang menjadi korban pertama. Pekan lalu, Rektor US, Dr. Nasrudin Ilyas, menandatangani surat keputusan pemberhentian untuk dosen-dosen di lingkungan Fakultas Kedokteran Gigi US, sebagai pertanda fakultas itu sudah resmi dibubarkan. Universitas Sjakhyakirti - nama ini diambil dari seorang tokoh di masa Kerajaan Sriwijaya - didirikan tahun 1959. Perguruan swasta ini ternyata cikal-bakal Universitas Sriwijaya (Unsri). Begitu Unsri berdiri, semua mahasiswa dan dosen US bergabung ke Unsri. Boleh dikatakan, US dinegerikan menjadi Unsri. Namun, pada tahun 1980, Yayasan Perguruan Tinggi Sjakhyakirti aktif kembali dan mengelola Akademi Farming, Akademi Akuntansi, dan Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi. Pada tahun 1982 ketiga bidang pendidikan itu diubah menjadi Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Gigi, dan Akademi Akuntansi, menjadi bagian dari Universitas Sjakhyakirti. Satu lagi didirikan, Fakultas Ilmu Administrasi. Sjakhyakirti versi baru ini tergolong merana. Ruang kuliahnya menempati satu gedung di kompleks pabrik karet Firma Famili Din, di Jalan Bukit Duri Lama, Palembang. Dari tiga fakultas dan satu akademi itu, yang lebih merana adalah FKG. Dosen tetapnya hanya 3 orang, selebihnya diambil dari dokter gigi yang ada di ibu kota Sumatera Selatan itu. Laboratorium dan perpustakaan belum ada. "Fakultas itu hanya punya 10 unit kursi gigi untuk seratus mahasiswa," kata Dr. K.U. Sofyan, Dekan FKG yang pekan lalu ikut di-PHK-kan. Tahun 1983, FKG US itu meminta status terdaftar. Waktu itu persis terjadi perubahan wilayah Kopertis. PTS di Palembang yang semula masuk Kopertis III menjadi Kopertis II. Ketika Koordinator Kopertis II menilai ulang, FKG ini dinyatakan tidak memenuhi syarat dan status terdaftar akhirnya ditolak oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Swasta. Akibatnya, mulai tahun ajaran 1984/85 tak ada mahasiswa baru yang mendaftar. Tapi perkuliahan mahasiswa angkatan 1980 sampai 1983, sekitar 100 orang, tetap jalan. Kurang persiapan? Rektor US, Nasrudin Ilyas, membantah. "Pada waktu mendirikan FKG itu, kami sudah meminta izin kepada Kopertis. Menurut mereka, tak ada masalah. Maka, kami mendirikan FKG," kata Nasrudin Ilyas. Tempat kuliah, katanya, cukup luas, walau memang terselip di antara gudang-gudang di daerah perkampungan Palembang Lama. Tapi menurut Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Soekadji Ranuwihardjo, gedung saja tidak cukup. Perguruan tinggi yang bergerak di bidang kesehatan setidaknya harus menjalin kerja sama dengan Departemen Kesehatan. Ini yang tak dilakukan FKG US, apalagi Unsri sebagai PTN terdekat tidak punya FKG. "Memang fasilitasnya juga kurang," kata Soekadji. Penutupan ini sebetulnya tidak mendadak. Bahkan Ditjen Pendidikan Tinggi mencarikan jalan keluar, terutama untuk mahasiswa semester VI (angkatan pertama FKG US), yang berjumlah 39 orang. Dalam rapat Dekan FKG seIndonesia bulan Oktober tahun lalu, Universitas Sumatera Utara (USU) M dan, Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogya, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Universitas Trisakti, dan Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) - dua universitas swasta di Jakarta - bersedia menampung mereka. Syaratnya, ke-39 mahasiswa itu harus disaring lewat ujian negara. Bahan ujian diramu oleh Konsorsium Ilmu Kesehatan. Ujian ini sudah berlangsung di Palembang. "Sayangnya, hasil ujian itu tidak seperti yang diharapkan," kata drg. Made Rai Tjandri S. Rahman, Dekan FKG Unair, Surabaya. Menurut Tjandri, dari 17 mata ujian (15 teori, 2 praktek), cuma 2 dari 39 mahasiswa yang lulus semua mata ujian. Karena hasil ujian tak memuaskan, kembali Dirjen Pendidikan Tinggi campur tangan. Tanpa mempedulikan hasil ujian, ke-39 mahasiswa itu dibagi penampungannya. Unair, UGM, UI, Unpad masing-masing kebagian 7 mahasiswa, USU 9 mahasiswa, dan 2 mahasiswa di Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Celakanya, mahasiswa semester VI versi US Palembang itu harus menempuh kuliah dari awal (semester I) di tempatnya yang baru. "Dua orang mengundurkan diri dari Unair," kata Tjandri. Menurut Rektor Unair, Prof. dr. Soedarso Djojonegoro, mereka yang mundur itu mungkin karena persoalan pindah ke Jawa dan kehilangan waktu belajar yang cukup lama. UI ternyata punya sikap lain. Dekan FKG UI, Drg. Ny. Herwati Djoharnas, memang prihatin dengan ditutupnya FKG US, tetapi ia menyatakan, merebut kursi di PTN memerlukan keuletan ekstra lewat Sipenmaru. Dikatakan pula, minat menjadi dokter gigi termasuk favorit. "Ini merupakan dilema, kami juga memikirkan perasaan mahasiswa kami. Apakah mereka bisa menerima teman-teman dari Palembang itu," katanya. Ny. Herwati belum mau menegaskan, apakah menerima mahasiswa itu atau menolaknya. Menurut Dr. Sofyan, Dekan FKG US yang bubar itu, "rasa kemanusiaan Dirjen Pendidikan Tinggi tak sepenuhnya menjadi kenyataan." Unpad hanya mau menerima seorang dari 7 mahasiswa. "Yang diterima yang betul-betul lulus. UI malah belum menerima seorang pun," kata Sofyan, Senin lalu. Kabar dari USU Medan dan Universitas Prof. Dr. Moestopo belum diterimanya, tapi kabar baik dari UGM Yogyakarta semua Jatah bisa diterima. Salah seorang yang diterima di UGM adalah Romayana, mahasiswa angkatan 1980 di FKG US. Dari 15 mata ujian, ia lulus 12 mata kuliah. Meski begitu, ia toh harus mengikuti kuliah dari semester I, padahal harapannya bisa masuk minimal di semester II. Tapi ia tak menyesal. "'Kan UGM fasilitas belajarnya memadai. Kami pun diterima tidak melalui tes Sipenmaru," katanya. Yang kasihan sebenarnya mahasiswa FKG US yang belum naik semester VI, mcreka itu terpaksa "dipusokan". Sedang dosen FKG US yang di-PHK-kan itu, "mercka dokter gigi yang sudah praktek swasta, tak ada kesulitan," kata Sofyan. Dan harap maklum, pembubaran cara begini baru pertama kalinya, mungkin Soekadji sedang mencari-cari model. Sri Indrayati, Syaiful Ateh (Palembang), Wahyu Muryadi (Surabaya), Heddy Lugito (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus