Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Meniadakan sekolah favorit

Rayonisasi model baru di DKI Jakarta. lulusan SD & SMP yang memilih SMPN dan SMAN sudah ditentukan lokasinya. tujuannya: untuk meningkatkan mutu pendidikan & menghilangkan kesan adanya sekolah favorit.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH hari-hari yang membuat Pak Agus pusing. Salah seorang anaknya Senin pekan ini mengikuti Ebtanas di SMP Fransiskus 11, Kampung Ambon, Jakarta Timur. Si anak, kalau lulus, berminat melanjutkan ke SMA Negeri. Celakanya, sistem baru rayonisasi yang diterapkan Kanwil P dan K DKI tak memberikan pilihan. Anak Pak Agus itu, kalau lulus dan NEM (Nilai Ebtanas Murni) memenuhi syarat, hanya boleh memilih SMA Negeri 21. Tampaknya Pak Agus kurang srek dengan SMA itu. Konon, mutunya kurang. "Saya bingung. Saya nggak puas dengan cara yang sekarang. Saya ingin anak saya masuk ke sekolah yang mutunya baik," katanya. Memang tak ada jalan lain, kecuali Pak Agus memilih SMA swasta. Banyak sekali orangtua yang gelisah seperti Pak Agus. Juga para orangtua yang anaknya menempuh Ebtanas SD, yang dimulai Senin pekan depan. Rayonisasi yang diberlakukan bagi siswa-siswa yang akan melanjutkan ke SMP dan SMA Negeri di wilayah DKI Jakarta diperketat. Mulai tahun ajaran 1989-1990, sistem penerimaan murid baru (PMB) tak memungkinkan adanya pilihan ganda di sekolah negeri. Jauh sebelum Ebtanas siswa kelas VI SD dan siswa kelas III SMP sudah ditunjuk di mana SMP dan SMA Negeri yang bisa dimasukinya. Suka atau tak suka. Rayonisasi model baru ini, menurut Kepala Kanwil P dan K DKI Jakarta, Soegiyo, sudah dipikirkan matang-matang. "Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pen didikan" katanya. Di samping itu, ada target lain yang hendak dicapai, yakni menghilangkan kesan adanya sekolah-sekolah favorit yang jadi incaran orangtua murid. Yang membuat sekolah itu favorit, kata Soegiyo, sebagian besar ditentukan oleh mutu pendidikan murid di sekolah asalnya. "Sekolah menjadi favorit karena di situ berkumpul bibit-bibit unggul," katanya. Lewat satu pilihan -- lebih tepat penunjukan - siswa yang menonjol tak bisa berhimpun dalam satu sekolah. Dengan demikian, mutu sekolah diharapkan bisa seragam. Sebutan sekolah favorit pun tak ada lagi. "Jadi, kami bukan membatasi kebebasan untuk bersekolah. Yang kami batasi hanya dalam soal memilih sekolahnya," tambah Soegiyo. Rayonisasi sebelumnya memang lebih longgar. Tahun lalu, misalnya, seorang siswa boleh mencantumkan tiga pilihan sekolah negeri dalam satu rayon. Cara semacam ini oleh Soegiyo, yang menjadi Kakanwil DKI sejak tahun 1987, punya beberapa kelemahan. Kendati ada tiga alternatif, toh akhirnya pilihan jatuh pada nomor satu, yang dianggap terbaik. "Ini yang menimbulkan kecemburuan, baik antarmurid maupun antarguru," kata Soegiyo. Sebab, sekolah top biasanya dikejar para orangtua siswa dengan cara apa pun, termasuk memberi "layanan khusus" kepada guru. Itu sebabnya, tingkat kesejahteraan guru di sekolah beken bisa saja lebih baik dibandingkan guru di sekolah kurang beken. Dampak yang lain, kata Soegiyo, siswa kedua sekolah yang berbeda kebekenannya ini sering saling ejek. Buntutnya perkelahian. Soegiyo memberi contoh SMA 7 dan SMA 4 Gambir, yang kerap bentrok karena letaknya berdekatan tapi status sosialnya berbeda. Kelemahan lain pada sistem rayonisasi model lama, mobilitas siswa dari tempattinggal ke sekolahnya cukup tinggi. Misalnya, siswa yang berdomisili di Kecamatan Kenari, Jakarta Pusat, bisa sekolah di Galur, yang masih tercakup dalam satu rayon. Perjalanan yang ditempuh lumayan jauh. Konsekuensinya, muncul kerawanan baru. Misalnya, sewaktu menunggu bis di halte, iseng-iseng mengganggu siswa sekolah lain, yang akhirnya menimbulkan gontok-gontokan. Dari sejumlah masalah ini lahirlah ide untuk memperkecil rayon menjadi subrayon. Cara tersebut sebenarnya sudah pernah dipraktekkan di Medan, sewaktu Soegiyo jadi Kakanwil P dan K Sumatera Utara pada 1986. Bedanya, pembagian bukan berdasarkan rayon, tapi wilayah teritorial. Mnurut Soegiyo, pendekatan teritorial kurang berhasil. "Karena terlalu luas, orangtua yang domisilinya jauh dari sekolah sulit mengikuti pendidikan anaknya," ucapnya. Untuk tahap-tahap awal, pendekatan rayonisasi model baru di Jakarta ini juga didasarkan sekolah asal, bukan tempat tinggal siswa. Alasannya, pemerintah belum mampu menginventarisasi daftar alamat siswa yang jumlahnya ratusan ribu orang. "Tapi tiga tahun lagi pendekatan dilaksanakan berdasarkan tempat tinggal," kata Soegiyo. Dengan demikian, orangtua bisa lebih aktif mengikuti perkembangan anaknya di sekolah, karena lokasinya dekat tempat tinggal. Sejarah pembagian rayon di SMP dan SMA Negeri di Jakarta cukup panjang. Rayonisasi pertama kali dilaksanakan pada tahun 1975. Mula-mula wilayah DKI dipecah menjadi 20 rayon. Tapi karena dipandang tidak efekti, diciutkan menjadi 10. Tahun 1980 diperkecil lagi jadi 9 rayon. Lalu sejak 1982 naik lagi menjadi 13 rayon: Jakarta Utara dan Selatan masing-masing dua rayon, sedang Jakarta Pusat, Timur, dan Barat masing-masing memiliki tiga rayon. Mulai tahun ini 13 rayon itu dipecah menjadi 91 subrayon untuk 97 SMAN dan 251 subrayon untuk 257 SMPN. Di Rayon 1 Jakarta Pusat, yang memiliki 10 subrayon, misalnya, tercatat ada 10 SMP Negeri. Salah satunya adalah SMPN 216 Salemba. Sebelumnya sekolah tersebut bisa jadi pilihan puluhan SD di rayon 1, sedangkan kini dibatasi hanya 9 SD yang letaknya berdekatan. Seleksi tetap berdasarkan peringkat NEM. Memang, tak semua lulusan SD bisa ditampung di SMP Negeri. Begitu pula tak semua lulusan SMP bisa ditampung di SMA Negeri. Dari 257 SMPN dengan 1.705 lokal kelas I, bisa ditampung 78 ribu murid baru. Sementara itu, ada 140 ribu calon siswa SMPN yang sudah mendaftar hingga pertengahan April lalu. Artinya, yang ditampung hanya 56 persen. Sisanya tentu mau tak mau memilih SMP swasta. Angka untuk SMA juga tak berbeda Dari 848 kelas baru di 97 SMAN, daya tampungnya cuma 40 ribu siswa. Sedang jumlah lulusan SMPN yang sudah mendaftar ke SMAN sekitar 74 ribu. Namun, dengan keterlibatan sekolah swasta, Soegiyo memberi jaminan semua lulusan SD dan SMP bakal tertampung. Untuk sekolah swasta, tak ada rayonisasi. Tapi diperkirakan sekolah swasta yang bermutu akan menjadi rebutan. Karena orangtua murid yang anaknya kebagian sekolah negeri dengan mutu yang diragukan akan menyerbu ke swasta. Soegiyo menyebut contoh yang terjadi di SMAN 46. Tahun lalu lulusan SMP Negeri dan swasta di Kebayoran Baru jarang yang melirik SMAN 46. Mereka memilih SMAN 6 atau SMAN 70, yang dianggap lebih keren. Kini, karena lulusan SMP Pangudi Luhur dan Bonaventura tak mungkin masuk ke SMAN 6 dan SMAN 70 (karena jatah dua sekolah itu di SMAN 46) mereka pagi-pagi menyerbu SMA swasta. Buntutnya, SMA 46 kekurangan calon dan akhirnya siapa pun yang mendaftar di sana pasti diterima, karena persaingan NEM hampir tak ada. Di sinilah mutu setiap sekolah, termasuk SMAN 46, akan diuji. "Kalau yang diterima tidak bibit unggul, tapi mutunya tetap terjaga, berarti kepala sekolah dan gurunya memang jagoan," kata Soegiyo. Sebaliknya, bila sekolah itu jadi berantakan, berarti gurunya biasa saja, hanya kebetulan tahun-tahun lalu calon siswanya bibit unggul. Bagi Yoelioes Yoesoef, Kepala SMAN 70 Bulungan, Jakarta Selatan, sistem sekarang ini penuh tantangan. "Guru-guru akan diuji," katanya. Ia mengakui, tahun-tahun sebelumnya calon siswa mutunya sudah bagus, sehingga proses belajar-mengajar menjadi lancar. "Guru sering lenggang kangkung karena siswa bisa jalan sendiri. Anak yang pintar, diajar sedikit Iangsung mengerti," tambah Yoelioes. SMAN 70 itu akan menerima sekitar 1.500 murid, sementara calon yang mendaftar ada dua kali lipat. Mereka adalah siswa SMPN 11, 19, 29, dan beberapa SMP swasta di sekitar Bulungan. Mutu SMP-SMP itu diakui Yoelioes heterogen. Akibatnya, kata Yoelioes, ia dan guru-guru SMAN 70 dituntut merumuskan metode dan pendekatan baru. Bagaimana kalau pindah sekolah? Misalnya anak itu tidak kerasan di sekolah yang sudah ditentukannya? "Boleh saja," kata Soegiyo lagi. Cuma saja, murid itu tidak diperbolehkan pindah sekolah selama sekolah itu berada dalam satu rayon. Pindah sekolah hanya diizinkan dari satu rayon ke rayon lain. Syaratnya adalah, selain surat keterangan dari kepala sekolah, ada surat keterangan lagi dari lurah. Untuk apa lurah dibawa-bawa? Ia menerangkan bahwa orangtua murid telah pindah domisili.Yusroni Henridewanto dan Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum