Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah menyusun draf revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menyebut, draf revisi masih dirampungkan di internal kementeriannya.
"Rencananya draf tersebut akan diserahkan kepada DPR pada Desember 2021," ujar Anindito saat dihubungi, Kamis, 21 Oktober 2021.
Sementara draf terus dirampungkan, urgensi revisi UU Sisdiknas masih menjadi pembahasan. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir misalnya, menilai revisi tersebut belum dibutuhkan untuk saat ini.
Menurut Haedar, Kemendikbudristek semestinya fokus saja mendukung visi dan misi presiden untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebhinekaan global.
“Persoalan yang ingin saya kaitkan adalah visi, misi, tujuan, sasaran, tata nilai dari Kemendikbudristek yang menjadi prioritas pada periode ini, apa itu sudah dilaksanakan oleh Kemendikbudristek sekarang ini? Kenapa harus jauh-jauh merevisi UU Sisdiknas tahun 2003? Jangan-jangan nanti khawatirnya semua visi, misi, tujuan dan lain sebagainya ini tidak terlaksana," tutur Haedar, medio September lalu.
Draf Peta Jalan Pendidikan nantinya juga akan diselaraskan dengan revisi UU Sisdiknas. Padahal, Haedar menilai PJP Indonesia 2020-2035 telah sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 maupun UU Nomor 20 tahun 2003 dengan dimasukannya materi substantif seperti frasa agama, iman, dan takwa. "Jadi, kenapa harus ada revisi UU Sisdiknas? Untuk apa mengubah ini?" tuturnya.
Anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah menyebut, revisi diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia secara fundamental. Revisi UU Sisdiknas, lanjut dia, bertujuan menyingkronkan seluruh undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan agar tidak ada tumpang tindih antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.
Ferdiansyah mengatakan, setidaknya ada 23 undang-undang yang berkaitan dalam bidang pendidikan yang perlu disinkronisasi. Di antaranya; UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU 43/2007 tentang Perpustakaan, UU 12/2010 tentang Gerakan Pramuka, UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran. Kemudian UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, UU 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, UU 18/2019 tentang Pesantren, UU 11/2010 tentang Cagar Budaya, UU 13/2018 Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Menurut Anggota Dewan Dapil Jawa Barat XI ini, perbaikan UU Sisdiknas akan mengutamakan pada perbaikan di tataran pengelolaan SDM guru, keberpihakan pada anggaran pendidikan, dan perbaikan pada regulasi melalui omnibus law. Dia menilai bahwa omnibus law merupakan sebuah konsep yang menawarkan pembenahan atas permasalahan atau konflik dan tumpang tindih satu norma peraturan perundang-undangan.
"Bila hendak dibenahi satu per satu maka akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi proses perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan di pihak legislatif seringkali menimbulkan deadlock atau tidak sesuai kepentingan," tutur Ferdi, Kamis, 21 Oktober 2021.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia, Cecep Darmawan menyebut, memang ada permasalahan dalam berbagai peraturan perundangan pada perspektif hukum pendidikan. Permasalahan tersebut, ujar dia, terlihat dari masih terdapat inkonsistensi antara UU Sisdiknas dan UU Pemerintah Daerah tentang Kewenangan Pendidikan, inkonsistensi kebijakan terkait anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD, dan banyak aturan lainnya.
Selain itu, ia menilai masih terdapat sejumlah problem Profesi Guru dalam UUGD (Undang-Undang Guru dan Dosen) Nomor 14 Tahun 2005, yaitu profesi guru, kesejahteraan guru, perlindungan hukum guru, karir guru, lembaga penghasil guru, kualitas guru, serta disparitas guru.
Namun, Cecep mengingatkan agar rencana pembentukan UU Sisdiknas Model Omnibus Law harus memperhatikan kejelasan model omnibus law seperti apa dalam pembentukan UU Sisdiknas yang baru.
"Apakah akan dibuat seperti UU Cipta Kerja yang mencabut, mengubah, dan menambahkan ketentuan-ketentuan tertentu dalam sejumlah UU existing? Atau kah membuat UU Sisdiknas yang baru dengan menggabungkan seluruh regulasi pendidikan yang selama ini diatur oleh UU lainnya selain UU Sisdiknas menjadi satu UU sistem pendidikan nasional yang utuh dan komprehensif sebagaimana amanat konstitusi?" ujar dia, dikutip dari laman berita upi.edu.
Menurut Cecep, idealnya memang diperlukan pembentukan satu UU Sisdiknas yang mengatur tentang pendidikan dan tidak ada lagi UU lainnya di luar UU Sisdiknas yang mengatur tentang pendidikan. Namun, ia menegaskan perlunya dilakukan secara hati-hati dan cermat, agar tidak terjadi sebagaimana kecerobohan ketika penyusunan UU Cipta Kerja.
"Harus melibatkan seluruh elemen pendidikan secara meluas terutama perguruan tinggi. UU Sisdiknas baru harus lebih bagus, komprehensif, dan menjamin profesi pendidik, menjamin kualitas pendidikan jangka panjang, dan jaminan terhadap pemenuhan delapan standar nasional pendidikan," tuturnya.
Pengamat Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah menyebut, poin penting yang mesti diperhatikan dalam Revisi UU Sisdiknas di antaranya; harus ada sinkronisasi UU Sisdiknas dengan UU Daerah, sentralisasi guru, dan perbaikan kebijakan anggaran pendidikan.
"Norma terkait anggaran pendidikan harus memuat kontribusi pusat atas daerah yang APBD-nya lemah. Dana Pendidikan tidak termasuk gaji pendidik dan tenaga pendidikan serta biaya pendidikan kedinasan (pasal 49)," ujar Jejen, Kamis, 22 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini