Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Tiga provinsi menjadi penyumbang tertinggi lonjakan angka kasus campak di Indonesia pada tahun lalu. Lonjakan jumlah kasus terjadi lantaran rendahnya cakupan imunisasi campak-rubela di wilayah tersebut. Ketiga wilayah itu adalah Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. "Karena penyakit ini semestinya bisa dicegah dengan imunisasi," kata juru bicara Kementerian Kesehatan, Syahrir, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan cakupan vaksinasi di tiga provinsi itu masih di bawah 50 persen. Padahal, untuk mencegah penularan campak-rubela, target cakupan vaksinasi secara global ataupun nasional harus mencapai 95 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2022, terdapat 3.341 kasus campak yang tersebar di 32 provinsi. Angka tersebut naik 32 kali lipat dibanding jumlah kasus pada tahun lalu, yang sebanyak 132 kasus. Provinsi Aceh memiliki angka kasus tertinggi, yakni 941 kasus, dengan cakupan vaksinasi hanya 19,4 persen. Begitu juga Sumatera Barat yang memiliki 862 kasus dengan cakupan vaksinasi 49,8 persen dan Riau yang mempunyai 483 kasus dengan cakupan vaksinasi 46,8 persen.
Syahril mengatakan wilayah yang cakupan vaksinasinya rendah cenderung memiliki jumlah kasus yang tinggi. "Penyebab rendahnya cakupan vaksinasi sangat kompleks," ucapnya. "Apalagi hal itu juga dipengaruhi oleh situasi pandemi Covid-19."
Selama tiga tahun terakhir, kata Syahril, cakupan vaksinasi secara nasional belum bisa mencapai target. Hingga akhir 2022, cakupan vaksinasi baru sebesar 72,7 persen atau 26,5 juta anak. Angka tersebut jauh di bawah target yang ditentukan. Bahkan setahun lalu cakupan vaksinasi masih berada di bawah 60 persen. "Rendahnya cakupan vaksinasi tersebut yang menyebabkan peningkatan jumlah kasus campak," ujarnya.
Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 55 kejadian luar biasa (KLB) kasus campak di 34 kabupaten/kota di 12 provinsi pada 2022. Suatu daerah dinyatakan mengalami KLB campak apabila terdapat minimal dua kasus konfirmasi laboratorium yang berhubungan dengan epidemiologi. Temuan tahun lalu, sebanyak 58 persen kasus konfirmasi campak di laboratorium diderita oleh anak yang tidak mendapat vaksinasi.
Adapun hanya terdapat 7 persen kasus konfirmasi pada anak yang sudah mendapat dua dosis atau lebih imunisasi campak-rubela dan 5 persen kasus pada anak yang mendapat satu dosis imunisasi campak-rubela. Selain itu, terdapat 30 persen kasus yang tidak diketahui status imunisasinya. "Kami menargetkan, sebelum Juni 2023, cakupan vaksinasi bisa mencapai target 95 persen untuk mencegah penyebaran," ucapnya.
Termakan Informasi Hoaks
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, dr Siti Nadia Tarmizi, mengatakan ledakan kasus campak mayoritas terjadi di wilayah dengan cakupan imunisasi yang rendah, seperti Aceh dan Sumatera Barat. Di wilayah itu mayoritas masyarakat masih terpengaruh oleh informasi yang salah tentang vaksin. Misalnya, vaksin dianggap haram dan berdampak buruk bagi kesehatan. "Informasi negatif soal vaksin ini sangat berpengaruh terhadap mereka," kata Nadia.
Nadia menegaskan, vaksin campak-rubela sudah dinyatakan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian, masyarakat tidak perlu lagi khawatir soal kehalalan vaksin tersebut. Bahkan, berdasarkan kajian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021, imunisasi bisa mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun akibat penyakit seperti difteri, tetanus, pertusis, influenza, dan campak.
Petugas menunjukan Vaksin Campak dan Rubella (MR) di Puskesmas Darussalam, Banda Aceh. ANTARA/Ampelsa
Hingga hari ini, kata Nadia, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) masih mengancam. Dengan begitu, diperlukan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata untuk mencegah individu dari penyebaran penyakit berbahaya serta penularan di masyarakat. "Jadi, jangan percaya hoaks soal vaksin,” katanya. “Vaksin itu aman dan halal."
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Aceh, Iman Murahman, mengatakan capaian imunisasi dasar lengkap di wilayahnya memang yang paling rendah di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh keyakinan mayoritas masyarakat bahwa vaksinasi bakal menimbulkan efek samping yang buruk. “Mereka terhasut bahwa antibodi campak itu haram,” katanya. "Jadi, masih banyak orang tua yang menolak anaknya diimunisasi.”
Pemerintah daerah, kata Iman, telah berupaya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya imunisasi. "Tapi mereka beralasan khawatir akan efek samping, seperti demam dan nyeri, sehingga takut divaksin," ucapnya.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan, pada awal masa pandemi Covid-19, WHO pernah mengingatkan pemerintah agar mewaspadai juga penyakit menular lainnya. Karena itu, pemerintah diminta tidak melupakan program vaksinasi rutin. "Kalau imunisasi diabaikan, bisa menimbulkan ledakan (kasus) di masa yang akan datang,” kata mantan Direktur Penyakit Menular WHO ini.
Menurut Tjandra, perkiraan itu terbukti dengan meningkatnya penularan campak di Tanah Air. Sebelumnya, polio juga ditemukan di sejumlah daerah, termasuk di Aceh yang cakupan vaksinasinya rendah. "Semua orang terlihat hanya memprioritaskan Covid-19, tapi lupa terhadap penyakit lain yang ancamannya juga besar," kata dia.
IMAM HAMDI | ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo