Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Pusat Muhammadiyah mempertanyakan keterwakilan seluruh kalangan ulama dalam Ijtima Ulama dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa atau GNPF yang merekomendasikan calon presiden dan wakil calon presiden. "Saya meragukan Ijtima Ulama itu sudah mewakili seluruh kalangan ulama," ujar Ziyad dari Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, dalam ngaji politik di Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi) pada Ahad, 5 Agusuts 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ziyad mencontohkan tidak adanya undangan khusus kepada PP Muhammadiyah agar hadir dalam ijtima ulama itu. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kata dia, juga tidak terlibat dalam ijtima itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ziyad berpendapat dalam khazanah fiqih ijtima ulama merupakan salah metode dalam mengeluarkan fatwa untuk menjawab persoalan masyarakat. Maka seharusnya ijtima ulama digelar oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai instansi yang jelas.
Selain itu, kata Ziyad ijtima ulama dalam keputusannya seharusnya tidak pernah menyebutkan nama sebagaimana Ijtima Ulama GNPF. GNPF melalui Ijtima Ulama memutuskan tiga nama yang direkomendasikan dalam pemilihan presiden atau Pilpres 2019.
Rekomendasi Ijtima Ulama GNPF adalah untuk calon presiden atau capres dan calon wakil presiden (cawapres). Pertama capres Partai Gerindra Prabowo Subianto berpasangan dengan Ketua Umum Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Salim Segaf dan Prabowo dengan dai Abdul Somad sebagai cawapresnya.
Ijtima ulama, kata Ziyad, lumrahnya memutuskan kriteria-kriteria. Contohnya, untuk menentukan sebuah pemimpin ulama merumuskan kriteria, bukan nama seperti yang dikeluarkan oleh Ijtima Ulama GNPF. "Ini perlu agar ulama bisa menjaga permasalahan umat," ujarnya.
Simak: Ijtima GNPF Ulama Berharap 5 Partai ...