Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LOG, rock, dan rokok. Label penuh sindiran itu tidak pernah bisa hilang dan telanjur melekat seiring dengan perkembangan musik cadas yang mengentak sejak 1980-an hingga kini. Ya, musik rock, sponsor rokok, dan seorang promotor ajaib semacam Log Zhelebour adalah ramuan tepat bagi ingar-bingar musik yang penuh bahana distorsi. Julukan yang sempat tenar pada akhir 1980-an itu rupanya bakal berulang.
Buktinya, 15 Juli lalu, kawasan Kenjeran Park, Surabaya, kembali memanas. Dentuman drum bertempo cepat disahuti melodi gitar melengking-lengking membakar adrenalin ribuan penonton sedari pagi hingga malam berganti dini. Setelah lima tahun mati suri, kini bendera si musik cadas diprediksi berkibar kembali. "Tidak disangka, ada 13 ribu orang yang datang," kata sang promotor, Ong Oen Log—nama asli Log Zhelebour—saat ditemui Tempo dua pekan lalu.
Mengambil momen peluncuran album band rock asal Bandung, Jamrud, dengan konser bertajuk Rock Reborn, yang diawali pada April lalu, promotor kelahiran Surabaya berusia 53 tahun itu memang berencana membawa semangat musik cadas kembali di tengah kerasnya persaingan industri sekarang ini. "Mengembalikan gengsi genre musik ini setelah sempat mati suri," kata Log.
Memang benar, popularitas rock sempat meredup. Menurut Log, era digital dan maraknya praktek pembajakan pada 2005 memberangus mimpi industri musik keras ini. Kala itu, boleh dikata ia tidak bisa menggelar konser rock, yang sebelumnya jadi andalan bisnisnya. Kalaupun bisa, biasanya merugi. "Tapi sekarang mimpi itu datang lagi," kata promotor yang ketenarÂannya melangit bersama beberapa grup musik legendaris semacam God Bless, SAS, dan The Rollies itu.
Untuk mewujudkan mimpi yang kini datang kembali, Log lantas bergegas menyusun rencana. Hasilnya, rangkaian tur pertunjukan rock dengan deretan pemusik papan atas, seperti Jamrud, Edane, Power Metal, dan Andromedha, siap digelarnya tahun ini. "Satu-satunya jalan bagi rock agar kembali berjaya cuma lewat konser yang menyentuh kantong-kantong penggemarnya," kata pemilik kerajaan bisnis Log Zhelebour Production, yang bergerak di bidang usaha dari promosi, rekaman, hingga pengadaan panggung rock, ini.
Tapi apa yang lantas membuat Log kembali berani bermimpi? Sponsor, itu jawaban singkatnya. Ya, bisnis rock, kata lelaki yang mengorbitkan banyak rock star ini, adalah usaha yang sangat bergantung pada kehadiran sponsor, dan industri rokok adalah kawan yang paling setia selama ini. "Maka dari dulu ada sindiran, Log, rock, dan rokok. Tapi, tidak apa, karena sejak 1980 cuma industri itu yang mau keluar uang untuk konser rock," katanya.
Bagi Log, berdagang pertunjukan rock adalah sebuah bisnis besar. Miliaran rupiah bisa berputar cepat di dalamnya. Kadang untung, tak jarang juga buntung. Tapi ia memandang rock tidak semata masalah rupiah. Ada idealisme yang berbaur mengiringinya. "Saya ingin musik rock tetap hidup dan kembali berkembang. Itu saja," katanya.
Kembalinya gelombang kejayaan rock sekarang ini juga dirasakan Purwadji Susanto alias Ipung, gitaris band rock legendaris 1990-an asal Surabaya, Power Metal. Pada Juli lalu, di Kenjeran, saat berada di panggung Suroboyo Rockstar—masih dalam konser yang digelar Log Zhelebour—ia mendapati semangatnya kembali. Ketika itu ribuan arek Suroboyo dan sekitarnya mengelu-elukan grup musiknya.
Ipung merasa beruntung karena masih bisa merasakan gegap-gempitanya panggung. Kini ia dan grupnya termotivasi melakukan inovasi untuk mengembalikan cita rasa bermusiknya. "Jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter sangat membantu kebangkitan gairah bermusik kami. Kini para penggemar bisa memberikan masukan langsung lewat dunia maya," kata personel band yang mengaku memiliki 180 ribu penggemar di situs Facebook itu.
Sedangkan kebangkitan rock dimaknai lain oleh sesepuh ÂSurabaya, Tri Didik Adiono, yang biasa disapa Didik Bledeg. Menurut dia, kebangkitan genre cadas ini punya dampak besar bagi penggemar rock, khususnya di Jawa Timur—tempat rock juga pernah lahir dan menemukan era keemasannya. Kini, kata dia, selain mulai bermunculan kembali band rock baru, ada kemajuan dengan hadirnya komunitas yang lebih solid.
"Kami di Power Speed Community sering membuat acara manggung bareng kecil-kecilan dan sama-sama mengkritik musik kita, dari diskusi lagu ciptaan hingga membahas cara bermain musik dengan rapi," kata pentolan band Big Panzer ini.
Memang, kalau bicara tentang komunitas rock, Surabaya, Malang, dan Jawa Timur pada umumnya merupakan markas sejumlah band cadas Tanah Air. Faried Martin Badjeber, penggebuk drum Boomerang, salah satu yang mensyukuri hal itu. Menurut ayah dua putra ini, rock banyak menyelamatkan hidup anak muda di sana. "Banyak roda kehidupan berputar gara-gara rock. Bayangkan saja, dari level promotor, produser, manajer band, hingga kalangan yang paling bawah, seperti orang-orang di produksi konser, bisa mengambil manfaat dari rock," katanya.
Bagi Faried, yang sudah 18 tahun mengecap pahit-manisnya panggung rock, band dan komunitas rock adalah sebuah keluarga tempat berekspresi sebebas-bebasnya dengan kreativitas yang ia punya. Dalam momen gelombang kebangkitan rock yang kedua kalinya ini, Faried lantas berharap semua pemain dan penggemar rock bisa lebih bersatu saling membantu. "Agar bisa terus bersenang-senang," kata pentolan band yang bulan depan berencana merilis album terbaru sepeninggal dua personelnya, Roy Jeconiah dan John Paul Ivan, itu.
Sandy Indra Pratama, Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo