Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menelusuri potensi terjadinya maladministrasi dalam penanganan kasus Baiq Nuril Maknun. Penelusuran dilakukan dari penanganan kasus Baiq Nuril di tingkat kepolisian hingga Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apakah proses pemidanaan itu sudah sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Kami akan melakukan kajian hukum, dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai putusan Mahkamah Agung," ujar anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baiq Nuril merupakan mantan pegawai honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram. Pada 2015, Kepala SMAN 7 Mataram, Muslim, melaporkan Baiq Nuril karena diduga menyebarkan konten elektronik yang berisi percakapan dia dengan Baiq Nuril.
Baiq Nuril merekam percakapan itu untuk membuktikan adanya pelecehan seksual yang dilakukan Muslim terhadapnya. Namun polisi tetap memproses dan menjerat Baiq Nuril dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus itu berlanjut hingga persidangan. Pada 2017, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq Nuril tidak bersalah. Namun sidang kasasi di Mahkamah Agung memutuskan sebaliknya, Baiq Nuril dianggap bersalah sehingga dihukum 6 bulan kurungan serta denda Rp 500 juta pada September 2018. Pada 4 Juli lalu, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang diajukan Baiq Nuril.
Baiq Nuril lantas mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Presiden telah mengirimkan surat rekomendasi permintaan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin lalu. Satu hari kemudian, DPR membacakan surat permintaan pertimbangan amnesti itu dalam rapat paripurna. Selanjutnya, surat tersebut akan dibahas dalam rapat Badan Musyawarah DPR sebelum dibahas di Komisi III.
Ninik mengatakan, meski Presiden telah mengupayakan untuk menyelesaikan kasus Nuril dengan merekomendasikan pengampunan atau amnesti, hal tersebut tidak serta-merta menghapus seluruh dampak keputusan hukum Mahkamah Agung. "Amnesti itu oleh pemerintah, sedangkan kesalahan yang telanjur disematkan Mahkamah Agung kepada Baiq Nuril tidak otomatis terhapus," ucapnya. Dengan demikian, meski nanti Nuril tidak harus menjalani hukuman karena mendapat pengampunan, bagi Mahkamah Agung ia tetap dianggap sebagai orang yang bersalah.
Salah satu yang bakal ditelusuri Ombudsman adalah prosedur penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian. Apakah kepolisian sudah menggunakan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak dalam menangani kasus Baiq Nuril.
Begitu juga di tingkat peradilan, apakah jaksa juga mempertimbangkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-007/A/JA/11/2011 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dalam kasus Baiq Nuril. "Lalu proses di Mahkamah Agung. Apakah Mahkamah Agung telah menggunakan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan ketika mengadili kasus Baiq Nuril," kata Ninik.
Pengacara Baiq Nuril, Joko Jumadi, mengatakan ada banyak kejanggalan dan potensi pelanggaran dalam kasus Baiq Nuril. Salah satunya adalah hilangnya alat bukti rekaman yang harusnya ada di dalam telepon seluler, laptop, dan kartu memori yang sudah disita oleh polisi. Alat bukti yang dibawa ke persidangan bukan rekaman asli, melainkan kepingan CD dari Muslim. Menurut beberapa saksi, isi rekaman itu berbeda dengan yang asli.
"Saya pikir ini pintu masuk bagi Ombudsman kalau mau melihat potensi maladministrasi," katanya.
Alat bukti yang hilang itu sudah dipersoalkan oleh kuasa hukum Nuril saat persidangan di Pengadilan Negeri Mataram hingga akhirnya majelis hakim memutus bebas Nuril. "Tapi putusan itu dianulir oleh Mahkamah Agung dalam kasasi maupun dalam peninjuan kembali," ujar Joko.
Hingga berita ini ditulis, juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Ngaro, belum dapat dikonfirmasi. Namun, sebelumnya Andi telah mengatakan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan tidak dapat digunakan karena Baiq Nuril adalah terdakwa. "Yang dimaksud dengan perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, sebagai korban, sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak," kata Andi di kantor Mahkamah Agung, 8 Juli lalu.
REZKI ALVIONITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo