Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PAN mesti membujuk dua kader perempuannya agar mau menjadi caleg.
Persoalan PAN juga dihadapi partai lain dalam proses pendaftaran bakal caleg ke KPU.
Regulasi baru KPU tentang pembulatan ke bawah ihwal penghitungan afirmasi 30 persen membuat data caleg tidak terpenuhi.
JAKARTA – Partai Amanat Nasional mesti membujuk dua kader perempuan mereka agar mau menjadi bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat II. Tujuannya agar partai itu bisa lolos syarat administrasi untuk mengikuti pemilihan anggota DPR di dapil yang meliputi Kabupaten Pasaman Barat, Kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kota Pariaman, dan Kabupaten Padang Pariaman itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus PAN, Guspardi Gaus, menuturkan bahwa meminta perempuan menjadi calon legislator (caleg) tidaklah mudah. "Di Dapil Sumatera Barat II, PAN sampai harus merayu dua caleg perempuan masuk dan pendaftaran dibiayai partai," kata Guspardi saat dihubungi pada Jumat, 4 Agustus 2023. Setiap partai mesti memasukkan dua bakal caleg perempuan di Dapil Sumatera Barat II karena adanya regulasi pemilu soal afirmasi kuota 30 persen untuk perempuan menjadi bakal caleg. Sebab, Dapil Sumatera Barat II mendapat jatah enam kursi di Senayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, persoalan yang dihadapi PAN juga dirasakan partai lainnya dalam proses pendaftaran bakal caleg ke Komisi Pemilihan Umum. Karena itu, saban menjelang pemilihan umum, sebagian partai sibuk mencari kader perempuan yang mau maju menjadi bakal caleg. "Persoalan kuota perempuan ini tidak sederhana. Bahkan partai sudah sampai memaksa agar perempuan menjadi caleg," ujar Guspardi, yang kembali maju menjadi bakal caleg dari Dapil Sumatera Barat II.
Persoalan perekrutan perempuan menjadi bakal caleg itu ditengarai Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan sebagai pemicu perubahan regulasi di Peraturan KPU soal pencalonan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Regulasi itu terutama soal penghitungan minimal 30 persen kuota perempuan untuk menjadi caleg di setiap dapil.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan aksi menolak PKPU 10 pasal 8 ayat 2 di kantor Bawaslu, Jakarta, 8 Mei 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota legislatif yang baru, KPU menambah regulasi penghitungan pembulatan ke bawah setiap pecahan desimal di belakang koma yang kurang dari 50. Padahal, dalam regulasi sebelumnya, berapa pun angka desimal di belakang koma, pembulatannya tetap dihitung ke atas.
Jika regulasi itu diterapkan, bagi daerah pemilihan yang tersedia empat kursi, partai berpotensi tidak bisa memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Sebab, 30 persen dari alokasi empat kursi di daerah pemilihan adalah 1,2. Dengan regulasi penghitungan yang baru, jika angka tersebut dibulatkan, hanya bisa menghasilkan satu kursi atau 25 persen. Padahal, dengan aturan sebelumnya, perempuan bisa memperoleh dua kursi karena dilakukan pembulatan ke atas, berapa pun angka desimal di belakang koma.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan, Hadar Nafis Gumay, mengatakan telah mengkaji data bakal caleg DPR seluruh partai yang sudah didaftarkan ke KPU. Hasilnya, menurut dia, hampir semua partai tidak ada yang memenuhi 30 persen kuota perempuan di 84 dapil untuk pemilihan anggota DPR. Untuk PAN, misalnya, ada 22 dapil yang bakal caleg perempuannya kurang dari 30 persen. "Kalau menggunakan regulasi yang lama, PAN tidak akan bisa ikut pemilu di 22 dapil itu," ucapnya.
Sebagai contoh, di Dapil Sumatera Barat I, dari delapan kursi yang tersedia, PAN mendaftarkan dua bakal caleg perempuan atau hanya 25 persen. Padahal, kata Hadar, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tegas dinyatakan bahwa daftar bakal calon di setiap dapil memuat keterwakilan paling sedikit 30 persen perempuan. Jika menggunakan regulasi pembulatan ke atas pada regulasi yang lama, PAN mesti menyediakan tiga bakal caleg perempuan di dapil tersebut.
Regulasi baru tentang pembulatan ke bawah yang tertuang dalam Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU tentang pencalonan itu membuat penghitungan afirmasi 30 persen buyar. Sebab, partai masih tetap bisa mendaftar meski kuota afirmasi untuk perempuannya tidak mencapai 30 persen. Padahal, dalam dua pemilu sebelumnya, kuota minimal 30 persen untuk perempuan itu telah diterapkan.
Hadar mengatakan, berdasarkan kajian Koalisi, dapil dengan jatah 4, 7, 8, dan 11 kursi kebanyakan tidak memenuhi syarat 30 persen jika pembulatan ke atas dalam penghitungan lama tidak diterapkan. "Kan rusak tatanan yang sudah berjalan untuk upaya afirmasi yang mendorong partisipasi perempuan dalam lembaga politik," ujarnya. "Regulasi baru ini ngawur. Partai yang bakal caleg perempuannya tidak sampai 30 persen di setiap dapil seharusnya ditolak pendaftarannya."
Simpatisan bakal calon legislator dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berjalan kaki saat pendaftaran bacaleg ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Mei 2023. ANTARA/Syaiful Arif
Regulasi Baru KPU Menunjukkan Ketidakberpihakan
Dosen hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, yang juga anggota Koalisi, mengatakan regulasi baru KPU soal penghitungan afirmasi untuk kuota perempuan bisa dibaca sebagai sikap ketidakberpihakan pada upaya mewujudkan pemilu inklusif dan berkeadilan. Padahal regulasi kuota minimal 30 persen perempuan itu dibuat untuk mengatasi ketertinggalan di bidang politik dan pemerintahan melalui kehadiran lebih banyak perempuan dalam proses pemilu. "Regulasi yang baru ini membuat ketidakadilan dan penyempitan ruang bagi perempuan untuk berada di panggung politik," ucapnya.
Titi curiga perubahan regulasi ini adalah pesanan partai. Sebab, dia menilai KPU sebenarnya telah berencana mengembalikan penghitungan afirmasi kuota perempuan ke regulasi awal. Pernyataan mereka akan mengembalikan aturan afirmasi ke regulasi semula disampaikan setelah rapat tripartit antara KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada 10 Mei lalu.
Namun rencana itu buyar setelah Komisi II DPR, yang membidangi pemerintahan, menolak rencana KPU mengubah regulasi tersebut dalam rapat dengar pendapat pada 17 Mei lalu. "Semestinya KPU tegas bersikap dan menunjukkan kemandiriannya kepada publik, apalagi sudah ada jaminan konstitusional bagi KPU untuk bersikap dan memutus sesuai dengan keyakinannya," ujar Titi.
Ia juga menyesalkan hingga saat ini partai masih menganggap isu afirmasi sekadar formalitas, bukan sebagai komitmen dalam tata kelola internal partai. Akhirnya, banyak partai hanya menggugurkan kewajiban menghadirkan 30 persen perempuan dalam daftar bacaleg. Di sisi lain, karena pragmatisme politik, acap kali perempuan yang direkrut pun adalah perempuan dari kelompok elite politik ataupun para pemilik modal. "Kalau kita ingin sungguh-sungguh memperkuat keterwakilan perempuan, konsistensi pada kebijakan afirmasi juga harus diikuti sistem politik yang aksesibel dan inklusif bagi seluruh kelompok warga negara," ucapnya.
Adapun komisioner KPU, Idham Holik, mengatakan seluruh partai yang menjadi peserta pemilu telah mengikuti regulasi baru yang dibuat KPU. Lembaganya, kata dia, telah mengkaji regulasi yang baru dengan tetap memperhatikan perhitungan afirmasi kuota perempuan 30 persen yang berlaku dalam Undang-Undang Pemilu dan Lampiran V Keputusan KPU Nomor 352 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Caleg. Dalam lampiran tersebut terdapat simulasi penghitungan keterwakilan perempuan dalam daftar bakal caleg untuk DPR hingga DPRD. "Semua ketentuannya sudah sesuai dengan aturan yang dibuat," ucapnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo