Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah Organisasi Difabel mendesak Presiden Joko Widodo merevisi Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Peraturan presiden itu mengatur tentang seleksi, komposisi, dan fungsi Komisi Nasional Disabilitas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Organisasi disabilitas menganggap ketentuan di dalam peratuan presiden tadi tidak sesuai dengan cita-cita Undang-undang Penyandang Disabilitas karena merekatkan Komisi Nasional Disabilitas dengan Kementerian Sosial. Sementara Kementerian Sosial memastikan lembaganya hanya menjadi fasilitator dalam seleksi anggota Komisi Nasional Disabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Sosial menyatakan proses pemilihan anggota Komisi Nasional Disabilitas dilakukan oleh panitia seleksi kemudian hasilnya disampaikan kepada presiden. Tugas dan laporan kinerja para komisioner juga langsung dilaporkan kepada presiden, bukan Menteri Sosial.
Terlepas dari polemik itu, pegiat isu disabilitas yang saat ini menjadi anggota Komisi Nasional Perempuan, Bahrul Fuad memberikan paradigma berbeda tentang Komisi Nasional Disabilitas. Dia mengingatkan agar pembentukan Komisi Nasional Disabilitas tidak boleh melupakan prinsip inklusivitas yang ada pada setiap lembaga negara.
"Bila ingin memperjuangkan inklusi, disabilitas harus mewarnai semua lembaga yang ada. Artinya aktivis disabilitas harus berperan serta di semua lembaga atau alat negara yang sudah berdiri," kata Bahrul Fuad saat dihubungi Tempo, Kamis 25 Juni 2020.
(dari kiri) Pendiri Koneksi Indonesia Inklusif, Marthella Rivera Roidatua; staf khusus Presiden Jokowi, Angkie Yudistia; Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Allaster Cox; konsultan disabilitas dan inklusi sosial, Bahrul Fuad; serta komposer dan pianis Ananda Sukarlan dalam acara Ask Me Anything di Kedutaan Australia, Jakarta, pada Selasa, 10 Desember 2019. Foto: Istimewa
Lantaran prinsip inklusi yang mengutamakan penyebaran penyandang disabilitas dalam setiap lini kehidupan, Bahrul Fuad menilai pembentukan Komisi Nasional Disabilitas justru bertentangan dan menjadi sebuah ketidakkonsistenan gerakan inklusi.
"Lembaga yang mengurus atau terkait dengan penegakan hak asasi manusia, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komnas Anak, bisa jadi merasa tidak perlu mengurus isu disabilitas karena sudah ada Komisi Nasional Disabilitas itu," kata Bahrul Fuad yang biasa disapa Cak Fu, ini. "Dampaknya, lembaga-lembaga tersebut tidak akan belajar tentang isu disabilitas."
Dengan menyebarnya penyandang disabilitas di semua lini kehidupan bernegara, menurut dia, maka isu disabilitas tidak lagi dipandang sebagai persoalan eksklusif milik difabel saja. Jika difabel berkontribusi di seluruh lini kehidupan, maka semua pihak akan memiliki pengetahuan dan solusi lintas sektor dan lintas bidang yang mumpuni untuk isu disabilitas.
"Sudah seharusnya perjuangan kesetaraan hak penyandang disabilitas tidak terjebak pada simbol-simbol tertentu," kata Bahrul Fuad. Saat ini, dia melanjutkan, persoalan utama yang dihadapi dalam memperjuangkan kesetaraan difabel adalah stigma dan perilaku diskriminatif yang telah mengakar di pikiran masyarakat. "Penghapusan stigma menjadi substansi dari perjuangan isu disabilitas."