CARA buruh Solo menyambut Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief sungguh khas: demonstrasi turun ke jalan. Sekitar 12.000 buruh Batik Keris dan PT Dan Liris memenuhi jalan dan berbaris sepanjang enam kilometer. "Saya ingin tanya pada Menteri apakah keputusan yang diambil oleh perusahaan dan serikat pekerja adil," kata Djito, salah satu buruh yang ikut demo. Kebetulan Menteri Latief Selasa pekan lalu datang ke Solo untuk membuka musyawarah nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia. Dan aksi turun ke jalan ini merupakan kelanjutan dari pemogokan yang dilakukan sehari sebelumnya. Waktu itu, sekitar 6.000 buruh pabrik Batik Keris di Cemani, Sukoharjo, sepakat untuk tak bekerja. Tepat pukul 5.50, mesin diesel mati, listrik padam. Dan mesin pun ngadat. Buruh yang datang tak masuk. Mereka duduk-duduk di halaman pabrik, membentangkan beberapa spanduk: "Buruh Jangan Dipaksa, Bayarlah Uang Lembur Kami, Teruskan Perjuangan Marsinah". Aksi itu memaksa manajemen perusahaan berunding dengan buruh, yang diwakili Djumadi, Ketua SPSI perusahaan. Dalam perundingan alot selama tiga jam, yang juga dihadiri Kapolres dan Komandan Kodim Sukohardjo, akhirnya disepakati, upah buruh naik dari Rp 2.160 menjadi Rp 2.550. Tapi, ketika kesepakatan ini dibacakan oleh Djumadi, ia malah disoraki. "Huuu..," seru karyawan. Mereka tak puas. Mereka menuntut Rp 3.050. Rinciannya: upah tujuh jam kerja adalah Rp 2.100, tambah lembur satu jam Rp 300, dan uang makan Rp 625. Para buruh itu mogok kerja karena merasa dicurangi perusahaan. Selama tiga tahun ini, kata buruh, mereka dipaksa kerja delapan jam sehari, tanpa diberi upah lembur. Padahal, menurut ketentuan, lama kerja maksimum adalah tujuh jam per hari, selebihnya dianggap lembur. "Selama tiga tahun ini tiap bulan kami dirugikan Rp 15.000," kata Djito. Selain dalam hal upah lembur, mereka juga merasa dirugikan dalam hal kartu Astek yang tak dibagikan ke karyawan, cuti haid, dan rekreasi tahunan. Ada tuntutan yang langsung disetujui, misalnya soal piknik karyawan. "Tahun lalu kami memang tak mengadakan, karena kondisi perusahaan lagi seret," kata Handianto, Direktur Batik Keris dan Dan Liris. Tahun ini ia berjanji akan mengadakan acara rekreasi itu. Soal upah lembur, misalnya. Manajemen berpendapat, selama ini upah itu sudah dibayarkan, hanya belum dirinci. Artinya, tuntutan karyawan berupa ganti rugi upah lembur Rp 15.000 per bulan selama tiga tahun tak bakal terpenuhi. Keinginan buruh untuk mendapat upah Rp 3.050 per hari juga kandas. Perusahaan menilai, tuntutan itu mengada-ada, karena dalam perundingan sudah disepakati kenaikan upah menjadi Rp 2.550. "Dan upah sebesar itu sudah melebihi ketentuan yang digariskan Pemerintah," kata Handianto. Walau buruh menganggap upah mereka kecil, ternyata menjadi besar di buku pengusaha. Untuk uang lembur saja, Batik Keris mengaku menderita rugi Rp 1,2 miliar. Rugi yang dihasilkan memang cukup besar. Maklum, dalam satu hari kerja saja, Batik Keris, konglomerat yang berdiri sejak zaman Belanda itu, dapat menghasilkan 130 ribu potong batik tulis, 330 ribu potong batik cap, dan 4 juta yard batik printing. PT Dan Liris juga mengalami rugi besar: 260 ribu yard tekstil dan 12 ribu potong garmen tak diproduksi. Adakah "dalang" di balik aksi itu? Pangdam IV Diponegoro Mayjen Soeyono menduga, para buruh itu tidak bergerak sendiri, tapi ada yang menunggangi. Si penunggang itu adalah LSM. Ia yakin, aksi buruh itu tak sekadar bermotif ekonomi, tapi ada unsur politiknya.Kastoyo Ramelan (Solo), Iwan Q.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini