AKSI buruh mogok belakangan ini menjadi atraksi menarik di berbagai perusahaan. Terjadi hampir beruntun dan serentak di beberapa kota. Tuntutan mereka pun hampir seragam, yakni soal kenaikan upah. Bentuk aksi mereka memang bermacam. Ada yang cuma duduk-duduk di kompleks perusahaan beberapa jam. Ada yang memasang poster dan pidato-pidato mirip demonstrasi mahasiswa. Tapi ada pula yang turun ke jalan. Lihat saja yang terjadi di Solo, Selasa pekan lalu. Sekitar 12.000 buruh batik turun ke Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota itu. Maksudnya, berunjuk rasa "menyambut" Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief -- yang kebetulan berkunjung ke Solo -- menuntut kenaikan upah (lihat Pekik Marsinah di Batik Keris). Namun, ada pula aksi batu dan api Selasa pekan lalu. Ribuan buruh PT Kahatex Cimahi, Jawa Barat, melancarkan unjuk rasa sambil melempari kantor direksi dan satpam. Kaca-kaca jendela hancur berantakan, seperangkat komputer dan tumpukan arsip dibakar, empat mobil dijungkirbalikkan -- dan sebuah di antaranya kemudian dibakar ramai-ramai. Memanasnya aksi mogok itu tampaknya tak terlepas dari serangkaian beleid Pemerintah yang seolah memberi angin bagi para buruh untuk menuntut perbaikan hak-haknya. Misalnya, Pemerintah telah menetapkan upah minimum regional sejak awal tahun ini. Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek) dinaikkan dari Rp 2.600 menjadi Rp 3.800 per hari. Menteri Tenaga Kerja Latief sendiri mengakui, belum semua perusahaan memberikan upah minimum. "Jangankan aturan upah minimum yang baru. Ketentuan upah minimum yang lama, yang Rp 2.600 per hari untuk Jakarta saja, masih banyak yang belum mematuhinya," kata Abdul Latief. "Dari 48 unjuk rasa di Jabotabek yang melibatkan 98.000 lebih pekerja yang menuntut kenaikan upah minimum, 47 kasus bisa diselesaikan," kata Menteri di depan Komisi V DPR pekan lalu. Padahal, katanya, sebelumnya sekitar 31% perusahaan belum memenuhi ketentuan itu. Karenanya, Departemen Tenaga Kerja akan menginventarisasi perusahaan mana yang masih membayar upah di bawah standar. Begitu pula soal ketentuan perlunya ada serikat buruh tingkat perusahaan. Jumlah perusahaan yang punya lebih dari 25 buruh -- syarat paling sedikit harus ada organisasi itu -- sekitar 140.000. Sedangkan tenaga pengawas yang dimiliki Departemen Tenaga Kerja cuma 700 orang, atau satu untuk 200 perusahaan. "Jadi, ya jelas kami keteteran," kata Menteri Latief. Padahal, Pemerintah telah menetapkan sanksi bagi perusahaan yang tak memberikan upah di atas minimum dan tak punya SPSI -- walau boleh dibilang itu kelewat enteng. Pengusaha yang melanggar ketentuan itu diancam denda Rp 100.000 (hampir sama upah seorang buruh sebulan) atau penjara tiga bulan. Dan dalam praktek, jarang pengadilan menjatuhkan hukuman kurungan. "Kebanyakan vonisnya hukuman percobaan. Jadinya, ya, mereka (pengusaha) anggap enteng. Padahal, kami sudah capek menyeret mereka ke pengadilan," ujar Sriharto Brojodarono, Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja Surabaya. Beleid membela kepentingan buruh yang digiatkan Pemerintah itu tampaknya sejalan dengan desakan Amerika Serikat yang hendak mencabut fasilitas GSP -- keringanan bea ekspor produk Indonesia ke pasar negeri itu. Batas waktu telah ditetapkan oleh Washington, yakni 15 Februari 1994 ini. Kebetulan, ancaman pencabutan fasilitas GSP dari Amerika Serikat itu sejalan dengan langkah-langkah perbaikan nasib buruh di sini. Ketentuan yang dikeluarkan Departemen Tenaga Kerja yakni pembayaran upah minimum, kebebasan buruh berserikat di tingkat perusahaan, dan pencabutan ketentuan keterlibatan aparat keamanan dalam perselisihan perburuhan. Hanya saja, Menteri Abdul Latief tak mau menyebut langkahnya itu untuk menjawab ancaman pencabutan GSP. "Enggak betul. Kalau mereka (Amerika) ingin menghentikan, ya, silakan. Itu hak mereka," katanya. Dan mungkin kebetulan pula bila pekan lalu John Heffen, anggota komite GSP Amerika Serikat untuk biro Asia Timur, berada di Indonesia untuk meneliti sejauh mana Indonesia telah melakukan langkah perbaikan hak buruh. "Mereka masih mempertanyakan apakah kebijakan ini sudah memadai," kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Hendardi, yang ditemui delegasi GSP itu, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Menurut data di kantor Hendardi, yang paling giat berdemo adalah buruh dari sektor industri manufaktur ringan yang padat karya seperti tekstil, garmen, sepatu, boneka, atau mainan anak-anak. Sektor industri ini melibatkan hampir dua juta pekerja dan menghasilkan nilai ekspor sekitar US$ 11 miliar tahun 1992-1993. Itu belum termasuk hasil penjualan domestik. Menurut analisa Hendardi, ada ketidakseimbangan antara produktivitas buruh dan nilai jualnya. "Jadi, moral pengusaha hanyalah mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dan membayar upah serendah mungkin," katanya. Komponen upah buruh di berbagai perusahaan di Indonesia, menurut penelitian Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), kelewat rendah -- cuma 8% dari ongkos produksi. Padahal, katanya, "biaya siluman" seperti untuk pengamanan, perizinan, dan berbagai kutipan bisa mencapai 25-30%. "Dan saya bisa membuktikan soal 'biaya siluman' itu," kata Muchtar Pakpahan, Ketua SBSI. Artinya, upah buruh bisa dinaikkan bila "biaya siluman" itu dihapus. Dan penyadaran buruh akan haknya pun digiatkan. Disebut-sebut, Jumat pekan ini para buruh akan mogok selama satu jam. Tuntutan mereka: upah minimum di atas Rp 7.000 per hari dan kebebasan berserikat. "Sudah dua juta buruh menyatakan mendukung dan siap mogok," katanya.Ahmed K. Soeriawidjaja, Andi R. Rohadian, Ahmad Taufik, Zed Abidien, dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini