Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - SETARA Institute mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk bersikap untuk melindungi kelompok minoritas. Permintaan ini terkait dengan kasus perusakan musala yang terjadi di Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"SETARA Institute mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk melaksanakan mandat konstitusional Pasal 28E Ayat 1 dan 2 serta Pasal 29 Ayat 2 UUD RI 1945 dengan mengambil tindakan optimal untuk melindungi kelompok minoritas," kata Direktur Riset SETARA Institute Halili melalui keterangan tertulis, Jumat, 31 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halili mengatakan kasus ini menunjukkan bahwa kelompok intoleran, atas nama mayoritas di daerah setempat, merasa memiliki kuasa untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Kaum mayoritas ini secara terbuka melampaui proses serta penegak hukum.
Maka dalam situasi ini, menurut Halili, negara harus inklusif terhadap seluruh kelompok masyarakat. Negara, kata dia, tidak boleh kalah terhadap kelompok mayoritas yang abai terhadap hak konstitusional kelompok minoritas.
Selanjutnya, SETARA mendorong pemerintah dan aparat kepolisian untuk menjalankan fungsi perlindungan dan pengamanan berkelanjutan dengan pendekatan yang netral serta tidak berpihak ke salah satu kubu. Pemerintah dan aparat diharapkan bisa berperan sebagai mediator.
"Mereka mesti bertindak sebagai penghubung dialog antar pemangku kepentingansecara setara dan partisipatif yang menghasilkan keputusan berimbang dan resolutif secara berkelanjutan," kata Halili.
Insiden perusakan tempat ibadah di Tumaluntung ini sebelumnya beredar melalui video. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Utara Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan objek perusakan adalah balai pertemuan, yang difungsikan juga sebagai musala.
Dalam video itu terlihat sebuah spanduk yang bertuliskan penolakan warga menolak pendirian musala atau masjid dengan tiga alasan. Pertama, penduduk di sekitar lokasi 95 persen di antaranya merupakan non-Muslim. Kedua, warga terganggu dengan suara toa yang dianggap bising. Ketiga, warga tak mau terancam tindak pidana penistaan agama karena memprotes kebisingan toa.