Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polemik pemilihan umum (Pemilu) dengan sistem proporsional tertutup dan terbuka semakin panas. Hari ini, sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materil Undang-Undang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Namun terpaksa ditunda setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengirimkan surat yang berisi permohonan agar sidang dilakukan secara tatap muka atau luring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pagi tadi MK dalam rapat permusyawaratan hakim telah mengabulkan permohonan DPR untuk sidang secara luring,” kata Ketua MK Anwar Usman melalui siaran Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa, 17 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengatakan, sistem pemilu proporsional tertutup maupun proporsional terbuka tetap berpotensi adanya politik uang.
"Sistem pemilu proporsional tertutup maupun terbuka, itu potensi politik uang tetap ada," kata Denny dalam sebuah webinar secara virtual yang dipantau di Jakarta, Selasa, 17 Januari 2023.
Lebih jauh, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu menilai persoalan politik uang bukan terletak pada sistem yang diterapkan oleh negara atau penyelenggara pemilu, melainkan terkait penegakan hukum yang tidak berjalan.
Menurut dia, politik uang maupun politik curang masih marak terjadi saat pesta demokrasi berlangsung. Hal itu terjadi karena tidak adanya sanksi tegas misalnya diskualifikasi pasangan calon, denda hingga pemenjaraan.
Denny mengaku berani berbicara demikian, karena memiliki pengalaman saat maju sebagai Calon Gubernur Kalimantan Selatan berpasangan dengan Difriadi Darjat.
Dalam paparannya, Denny juga menyampaikan hasil penanganan pelanggaran Pemilu 2019 yang dilaporkan Bawaslu RI. Tercatat 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, 1.475 pelanggaran hukum lainnya, dan 2.578 bukan pelanggaran.
Pada kesempatan itu, ia juga menyinggung soal fenomena politik uang yang terjadi dalam pemilu di Indonesia yang dikutip dari rumahpemilu.org. Hasilnya, jumlah pemilih yang terlibat politik uang pada Pemilu 2019 di kisaran 19,4 persen hingga 33,1 persen.
"Saya mengkhawatirkan lebih besar dari itu. Namun, setidaknya data rumahpemilu.org menguatkan argumentasi kami bahwa penegakan hukum ini yang bermasalah," kata Denny.
Bermula adanya gugatan uji materiil
Gugatan uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka ini diajukan ke MK pada akhir November 2022. Salah satu pemohon perkara adalah pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Demas Brian Wicaksono. Selain itu, pemohon juga terdiri atas lima warga sipil, yakni Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Selanjutnya: penggugat menilai pemilu akan diwarnai caleg pragmatis...
Pemohon menilai sistem proporsional terbuka membuat pemilu diwarnai oleh calon legislatif pragmatis.
"Pemohon selaku pengurus parpol, berlakunya norma pasal a quo berupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal 'populer dan menjual diri' tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol," kata pemohon dalam salinan permohonan yang dilansir laman MK.
Mereka juga menilai sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik antar caleg. Mereka menilai, dalam pemilu seharusnya persaingan terjadi antar partai politik, bukan antar caleg.
"Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945," kata mereka.
Ada dua kubu
Belakangan, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra menyatakan akan ikut masuk sebagai pihak terkait. Dia menyatakan pihaknya mendukung penggunaan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024.
Partai Buruh pun mendukung ide tersebut namun dengan syarat daftar caleg yang ditetapkan partai politik tetap diumumkan secara terbuka kepada masyarakat.
Sementara itu, sebanyak 8 partai politik parlemen menolak gagasan Pemilu 2024 digelar dengan sistem proporsional tertutup. Delapan partai tersebut adalah Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, PAN, PKS dan Demokrat.
Ke delapan parpol ini menilai penggunaan sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Pasalnya, dalam sistem tersebut, masyarakat tak lagi dilibatkan untuk memilih secara langsung siapa-siapa saja wakil mereka yang akan duduk di gedung parlemen.
Delapan partai di DPR ini menginginkan pemilu 2024 tetap dengan sistem proporsional terbuka. Ada juga partai di luar DPR, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang menginginkan sistem proporsional terbuka.
Ima Dini Shafira / ANTARA
Baca: Sidang Uji Materi Sistem Proporsional Terbuka Ditunda, DPR Minta Dilakukan Secara Luring