Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM orang meriung di satu sudut restoran di selatan Jakarta pada Kamis pekan lalu dalam acara buka puasa bersama. Di antara bekas anak buah pengusaha dan bekas politikus Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, di Grup Permai itu, sebenarnya sebagian saja yang berpuasa. Mereka berkumpul karena lama tak bertatap muka.
Menunggu magrib, mereka memburas aneka topik, dari yang ringan hingga serius. Salah satunya tentang perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi yang dirasakan berkurang akhir-akhir ini. "Bagaimana kalau kita mogok bersaksi?" kata salah seorang yang hadir, seperti diceritakan lagi oleh Mindo Rosalina Manulang, Jumat pekan lalu.
Mereka—Rosa, Yulianis, Clara ÂMaureen, Bayu Wijokongko, Unang Sudrajat, dan Gerhana Sianipar—adalah saksi kunci untuk setumpuk perkara yang membelit Nazaruddin. Buka puasa semestinya dihadiri seorang lagi: Oktarina Furi. Tapi ia tak lagi tinggal di Jakarta setelah Grup Permai bubar. Kini Oktarina tinggal di Jawa Tengah.
Kehangatan jamuan pada Kamis pekan lalu itu tak terbayangkan bakal terjadi dua tahun lalu. Setelah Rosa ditangkap KPK, yang disusul larinya Nazaruddin hingga Cartagena, Kolombia, Grup Permai kocar-kacir. Para saksi kunci ini pun segera berbeda kubu. Yulianis dan Oktarina, keduanya anggota staf keuangan Grup Permai, yang pertama-tama memutuskan melawan Nazaruddin dengan cara buka-bukaan ke KPK pada awal Juni 2011.
Gara-gara itu, Yulianis dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 26 Oktober 2011. Pelapornya Gerhana Sianipar, yang saat itu menjabat Direktur Utama PT Exartech Technology Utama, perusahaan di bawah Grup Permai. Gerhana mengadukan Yulianis dengan tuduhan memalsukan tanda tangannya saat Grup Permai membeli saham PT Garuda Indonesia. Dua pekan kemudian, pada 10 November, Yulianis dijadikan tersangka.
Setahun kemudian terungkap bahwa laporan itu dibuat atas perintah Nazaruddin. Setelah bersaksi di persidangan Angelina Sondakh pada awal November 2012, Gerhana meminta perlindungan KPK. Ia memutuskan keluar dari Exartech, tapi takut kepada Nazaruddin. Yulianis ditelepon petugas KPK agar buru-buru datang ke kantor mereka untuk menemui Gerhana.
Ketika bertemu dengan Yulianis, Gerhana langsung memeluknya sambil mewek. Ia meminta maaf telah membuat susah Yulianis. "Sudahlah, waktu itu kan terpaksa," ujar Yulianis menirukan lagi ucapannya. Sejak itu, keduanya kerap berkomunikasi.
Mindo Rosalina, bekas Direktur Pemasaran PT Anak Negeri, yang juga di bawah Grup Permai, mulai akur dengan Yulianis pada awal 2012. Mulanya Rosa, yang sudah menghuni penjara khusus perempuan Pondok Bambu, Jakarta, berulang kali diteror orang-orang dekat Nazaruddin. Ia sedang bersiap-siap bersaksi di sidang bekas bosnya itu.
Suatu malam Rosa dibawa sipir ke suatu ruangan. Rupanya di sana sudah menunggu seorang kerabat Nazaruddin. Rosa kemudian dipaksa memaraf surat mencabut keterangan yang ia berikan ketika penyidikan. "Kalau tak ditandatangani, saya bakal mati," kata Rosa mengenang kejadian itu.
Antara tak mau mencabut keterangan dan takut mati, Rosa kemudian meneken surat. Tapi yang ia bubuhkan bukan tanda tangannya. "Saking takutnya, saya lupa tanda tangan sendiri," ujarnya. Sebelum surat diparaf, kata Rosa, kerabat Nazaruddin sempat memukulinya.
Itu sebabnya ia kemudian meminta dipindahkan ke gedung KPK serta mengajukan pengawalan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Waktu itu Rumah Tahanan KPK belum jadi. Ia diinapkan di sebuah ruangan di lantai 9, sebelah ruang latihan menembak petugas KPK.
Rosa bercerita, entah kenapa satu-satunya keinginannya setelah pindah ke gedung KPK adalah bertemu dengan Yulianis. Ia kemudian meminta penyidik mempertemukannya dengan Yulianis. Petugas KPK tak langsung mengabulkan. Rosa harus dipastikan steril dari Nazaruddin. "Saya membuat surat pernyataan sudah tak ikut dia lagi."
Petugas KPK akhirnya mengundang Yulianis ke lantai 9. Begitu bertemu, Rosa langsung menyergap Yulianis dan menangis sejadi-jadinya. "Bu Yuli, aku sudah lelah, sudah tak sanggup lagi." Menurut Rosa, Yulianis pun ikut tersedu.
Kedua perempuan itu akhirnya bercakap-cakap panjang-lebar. Di situ terungkap bahwa Rosa selama ini dihasut oleh orang dekat Nazaruddin. Menurut Rosa, sebelum ia diteror untuk mencabut kesaksiannya, anak buah Nazaruddin selalu mengatakan bahwa Yulianis telah menjerumuskannya. "Bu Yuli bilang, kalau kita kompak, yang lain bakal ikut."
Tak gampang mengumpulkan bekas anak buah Nazaruddin untuk berbalik melawan. Jumlah mereka baru bertambah enam bulan kemudian. Clara ÂMaureen keluar dari PT Pacific Putra Metropolitan pada Juni 2012. Kursi direktur utama yang lowong akhirnya ditempati Bayu Wijokongko, yang sebelumnya hanya pegawai biasa di bagian pemasaran.
Ketika Gerhana Sianipar memutuskan bergabung dengan Yulianis, Bayu turut serta. Ia meninggalkan PT Pacific, yang saat itu menggarap proyek pengadaan pesawat latih di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Tangerang. Kepada Yulianis, suatu kali Bayu mengirim pesan. "Saya dulu sempat kesal terhadap Ibu, tapi ternyata Ibu mau menolong saya." Unang Sudrajat, pegawai biasa yang diberi jabatan Wakil Direktur PT Wahana Teladan sekaligus Komisaris Utama PT Pacific, menyusul keluar sebulan kemudian.
Keluar dari lingkaran Nazaruddin tak berarti bebas begitu saja. Bayu tiba-tiba jadi tersangka proyek pesawat latih STPI Curug di Kejaksaan Agung. Unang Sudrajat dilaporkan ke Kepolisian Resor Jakarta Selatan oleh seorang anak buah Nazaruddin dengan tuduhan penggelapan. Ia dan anak-istrinya lalu terusir dari rumah mereka di Pasar Minggu, Jakarta, tanpa sempat mengambil sehelai pun baju.
Gerhana Sianipar terancam setelah dilaporkan anak buah Nazaruddin yang lain ke Kejaksaan Agung dalam perkara alat kesehatan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Sumatera Utara. Yulianis dan Rosa meyakini kasus yang menimpa Bayu, Unang, dan Gerhana bakal merembet ke bekas karyawan lain.
Nazaruddin belum bisa dimintai konfirmasi. Pengacaranya, Rufinus Hutauruk, berulang kali mengatakan hal itu sebaiknya ditanyakan langsung kepada kliennya. Adapun Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan lembaganya melindungi para saksi dengan mendesak lembaga hukum lain mementingkan perkara utama Nazaruddin, bukan pengaduannya.
Menyadari nasib di ujung tanduk, Yulianis dan kawan-kawan jadi kerap bertemu. Setelah Bayu dijadikan tersangka, mereka ramai-ramai mendatangi LPSK meminta perlindungan. Mereka pun menyurati KPK memohon hal serupa. Sayangnya, menurut Yulianis, komisi antikorupsi belum merespons. Karena itu, terlintas gagasan untuk mogok bersaksi di KPK.
Ketika keluar dari rumah, Yulianis tak bercadar seperti ketika tampil di persidangan. Demikian pula Oktarina Furi. Tapi, tak jauh dari mereka, seorang peÂngawal mengawasi. Menurut Yulianis, pengawalnya polisi dari Brigade Mobil. Rosa juga ke mana-mana selalu dijaga polisi. Bedanya, penjaga Yulianis disediakan KPK, sedangkan Rosa dari LPSK. Hanya mereka bertiga yang mendapat pengawalan.
Bila tak kopi darat, mereka mengobrol di grup percakapan BlackBerry messenger, yang dinamai "Witness". Mereka tak selalu bisa bertemu. Masing-masing punya kesibukan mencari penghasilan.
Rosa, misalnya, ikut menanamkan modal pada usaha toko bahan bangunan keluarganya di Medan. Bayu menjadi pemasok lele dan bebek ke sejumlah warung makan. Clara membuka restoran pempek Palembang. Sedangkan Unang membantu istrinya membuka warung makan Sunda. Hanya Yulianis yang menyibukkan diri menjadi ibu rumah tangga. "Bosan begini terus. Saya ingin bekerja lagi," katanya.
Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo