Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 136 warga Buddha kembali ke rumah mereka di Desa Mareje, Lombok Barat, setelah konflik SARA pada Selasa, 3 Mei lalu.
Warga sepakat berdamai setelah dilakukan mediasi oleh kepolisian.
Sebelumnya, warga muslim dan umat Buddha di sana hidup bersama tanpa mempersoalkan latar belakang keyakinan.
JAKARTA – Pandhita Sikkhi Sabahito bernapas lega mendengar kabar bahwa dia dan seratusan umat Buddha yang mengungsi di kantor Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat serta kantor Kepolisian Resor Lombok Barat akan segera kembali ke rumah masing-masing, mulai hari ini. Rencananya, pengungsi akibat konflik di Dusun Ganjar, Desa Mareje, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, itu akan kembali pulang. “Alhamdulillah,” ujar Pandhita Sikkhi ketika dihubungi Tempo, Rabu, 11 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah sepekan lebih tokoh umat Buddha di Desa Mareje itu mengungsi lantaran rumah mereka dirusak dan dibakar massa pada Selasa, 3 Mei lalu. Kabar rencana kepulangan 163 warga yang mengungsi itu datang dari Kepala Desa Mereje, Muhsin Salim. "Situasi di Mareje sudah kondusif," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insiden yang terjadi di Mareje, menurut Muhsin, merupakan kesalahpahaman semata. Ia membantah penyebutan konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) dalam keributan yang menyebabkan enam rumah milik warga Buddha rusak itu.
Muhsin mengatakan umat Islam dan Buddha di Mareje memiliki hubungan keluarga. Sudah menjadi hal yang lumrah ada laki-laki Buddha yang menikahi perempuan muslim. Begitu pula sebaliknya. Menurut Muhsin, pada malam nahas itu, banyak orang dari luar Mareje. Mereka terprovokasi oleh kabar hoaks di media sosial. "Kami satu darah. Jadi, tidak pernah menduga akan terjadi peristiwa itu," katanya.
Kesepakatan damai warga Desa Mareje yang dimediasi oleh Polres Lombok Barat di Kecamatan Lembar, Nusa Tenggara Barat, 4 Mei 2022. Tribratanews.ntb.polri.go.id
Pandhita Sikkhi membenarkan pernyataan Muhsin. Ia menuturkan, jika kerusuhan yang terjadi akibat persoalan SARA, ada kemungkinan yang menjadi sasaran amuk warga ialah tempat ibadah. "Kalau SARA, kenapa hanya rumah yang dibakar, bukan tempat ibadah?” ujar dia.
Menurut Pandhita, persoalan bermula ketika malam takbiran Idul Fitri. Kala itu, sekelompok anak muda membakar petasan di dekat rumah warga. Pemilik rumah beberapa kali menegur mereka, tapi tak digubris sehingga terjadi cekcok dan berujung pada pemukulan terhadap warga Buddha. "Persoalan itu sudah selesai, sudah didamaikan," kata dia.
Keesokan harinya, situasi malah memanas. Meski ada aparat keamanan, kerusuhan pecah dan enam rumah terbakar. Pandhita dan seratusan warga memilih mengungsi untuk menyelamatkan diri.
Perusakan rumah warga penganut Buddha itu tak disangka-sangka oleh Derap, 37 tahun. Guru SDN 2 Mareje itu menyebutkan selama ini warga muslim dan umat Buddha di Mareje tak bisa dibedakan karena sudah membaur betul. Ia berharap peristiwa yang sudah terjadi itu tidak berulang. “Ini pelajaran yang sangat berharga bagi kami penganut Buddha dan saudara kami yang muslim,” kata Derap. “Semoga tidak terjadi lagi di kemudian hari.”
Kepala Polres Lombok Barat, Ajun Komisaris Besar Wirasto Adi Nugroho, menyatakan bahwa kondisi di Mareje sudah kondusif. Saat ini, aparat dan pemerintah daerah sedang mengupayakan perbaikan rumah yang terkena dampak kerusuhan serta merekonsiliasi masyarakatnya.
Pemerintah daerah Lombok Barat dan petugas keamanan setempat berencana merehabilitasi rumah warga mulai Jumat, 13 Mei mendatang. Rencananya, setelah perayaan Waisak, tepatnya pada Rabu pekan depan, akan digelar tradisi makan bersama yang melibatkan warga Mareje.
Kepolisian Daerah dan Pemerintah Provinsi NTB tengah berunding mencari kesepakatan waktu pemulangan warga Buddha. Waristo mengatakan pemulangan itu diupayakan sebelum perayaan Waisak. “Kami upayakan sebelum Waisak. Kami masih menunggu perkembangan dari pemerintah provinsi,” katanya.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, Ahad Legiarto, mengatakan insiden keributan hanya menyebabkan enam rumah warga rusak. Ratusan rumah lainnya di Mareje tidak dirusak oleh kelompok pemuda yang bersitegang. “Yang dirusak hanya rumah tempat mercon dibunyikan atau tempat terjadinya keributan awal yang dipicu oleh bunyi petasan,” kata Ahad.
Kepolisian, dia melanjutkan, telah melakukan mediasi dan para pemuda sepakat kembali hidup rukun serta damai setelah konflik ini. Para pemuda dan masyarakat juga hendak menjemput warga yang masih menginap sementara di kantor polres dan polda. “Masyarakat sudah kembali hidup damai dan tenang,” ujar Ahad.
AKHYAR M. NUR (LOMBOK) | ABDUL LATIEF APRIAMAN (LOMBOK)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo