Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan perempuan di Kabupaten Sigi, Sulaweesi Tengah menjadi buruh migran unprosedural di luar negeri. Mereka menghadapi ancaman kekerasan hingga gaji tak dibayar oleh majikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Solidaritas Perempuan Palu, Ruwaida mengatakan pemerintah daerah dan pusat membiarkan hal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tercatat sejak bulan Oktober-November 2019 terdapat 32 orang perempuan," ujarnya di sela kegiatan memperingati Hari Buruh Migran Internasional tahun 2019 dengan menggelar aksi diam di depan Kantor DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Rabu, 18 Desember 2019.
Ia mengungkapkan puluhan perempuan tersebut berasal dari sejumlah desa di Sigi, antara lain Desa Pakuli, Langaleso, Lambara, Sibalaya Utara, Sibawi, Walatana, Pesaku dan Bodi Karawana.
"Mereka bekerja di luar negeri di kawasan timur tengah di antaranya di Oman, Yordania, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Mereka akan rentan mengalami kasus gaji tidak dibayar, penahanan oleh majikan, penahanan dokumen, pemalsuan dokumen, kekerasan fisik, kekerasan psikis bahkan kekerasan seksual serta perdagangan manusia," ujarnya.
Ruwaida menjelaskan banyaknya warga negara Indonesia, terutama perempuan yang bekerja secara nonprosedural sebagai buruh migran di Timur Tengah semenjak Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor 260 tahun 2015 yang memutuskan pelarangan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke 19 negara di Timur Tengah diberlakukan.
"Kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran yang masih terus terjadi dan dibiarkan adalah bentuk ingkar janji sekaligus kegagalan negara dalam menjalankan kewajiban terhadap warga negaranya," ucapnya.
Karena itu, dalam memperingati Hari Buruh Migran Internasional 2019, dirinya dan para demonstran menuntut Kementerian Ketenagakerjaan dan DPRD Sulawesi Tengah selaku perpanjangan tangan DPR RI di daerah agar segera mendesak pemerintah pusat melaksanakan mandat undang-undang. Mandat itu antara lain UU No 6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Juga UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Pasal 90 Undang Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
"Yang berbunyi 'Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan' yaitu pada tanggal 22 November 2019," kata Ruwaida.