Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Gelombang peretasan terhadap akun-akun media sosial milik pengkritik pemerintah tak kunjung surut. Kemarin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melaporkan akun Instagram milik mereka telah diretas. Kepala Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, mengatakan akun Instagram lembaganya mulai tak bisa diakses sekitar pukul 12.00 WIB. Meski ada peretasan, akun @yayasanlbhindonesia masih dapat dilihat publik. “Sekarang sedang tahap pemulihan,” ujar Isnur, kemarin.
Dia mengaku sudah memperkirakan peretasan ini akan terjadi. Salah satu alasannya, karena pada Ahad lalu YLBHI menggelar diskusi bertajuk “Tanda-tanda Otoritarianisme Pemerintah”, yang menghadirkan beberapa akademikus dan perwakilan organisasi masyarakat.
Peretasan juga dialami Ketua Aliansi Jurnalis Independen Bandar Lampung, Hendry Sihaloho. Akun Facebook dan Instagram Hendry diretas saat dia berada di kantor Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung untuk mempersiapkan laporan teror terhadap anggota Pers Mahasiswa Teknokra pada 11 Juni lalu. Teror diduga berkaitan dengan penyelenggaraan diskusi bertema rasisme di Papua.
Upaya tersebut diketahui Hendry saat menerima pemberitahuan bahwa sandi akun Facebook dan Instagram miliknya telah diubah. Selain itu, dari pagi hingga siang hari kemarin, telepon selulernya tak bisa dihubungi walau dalam keadaan aktif dan indikator sinyal penuh.
Pada hari yang sama, aktivis Front Nahdliyin untuk Keadilan Sumber Daya Alam, Roy Murtadho, juga melaporkan pembobolan akun Twitter dan Instagram miliknya. Beberapa hari sebelumnya, Roy mengunggah konten ajakan bersolidaritas untuk pembebasan warga Papua yang ditahan.
Pelaku diduga menghapus akun yang sudah diretas tersebut. Hingga saat ini, Tempo tak bisa mengakses akun Twitter @Roy_murtadho maupun akun Instagram @roymurtadho. “Kalau sewaktu-waktu ada yang posting di Twitter atau IG saya, itu bukan saya,” demikian tulisan Roy dalam akun Facebook miliknya.
Pada akhir Mei lalu, panitia diskusi Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada juga melaporkan adanya peretasan. Bahkan, keluarga dari narahubung diskusi, Fisco Mudjito, dan moderator acara Anugerah Perdana juga mendapat ancaman pembunuhan. Akibat teror itu, diskusi yang sedianya dilaksanakan pada 29 Mei dibatalkan.
Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan upaya teror yang peretasan terhadap pengkritik pemerintah memiliki pola yang berulang. Hal itu, di antaranya, adalah kriminalisasi, peretasan telepon seluler atau akun media sosial, pembunuhan karakter di media sosial, hingga ancaman.
Asfin mengatakan modus tersebut bertujuan membuat pihak yang mengkritik menjadi takut dan trauma. Menurut dia, kasus-kasus teror seperti ini jarang terungkap ke publik. Ia mencontohkan, kasus peretasan telepon para akademikus yang tidak setuju atas revisi UU KPK dan RUU KUHP pada September 2019, dan penangkapan aktivis Ravio Patra. “Ini harus dibongkar. Kalau tidak, orang akan berpikir pemerintah yang melakukan,” ucap dia.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan peretasan bisa melanda siapa saja, tak hanya pengkritik pemerintah. Dia justru meminta warga untuk menggunakan media sosial secara bertanggung jawab. Meski begitu, Johnny mengemukakan, pemerintah berkomitmen melindungi kebebasan berekspresi di Internet selama pengguna menaati regulasi. “Kalau diretas dan seterusnya, (pelaku) harus ditangkap. Tapi jangan kalau diretas, ini (kepentingan) politik. Itu berlebihan,” kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIKO OKTARA | SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA) | ROBBY IRFANY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peretasan Akun Media Sosial Aktivis Tak Kunjung Surut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo