BERAPA banyak orang miskin di dunia ini? Tampaknya lumayan besar dan terus bertambah. Bank Dunia memperkirakan 1,1 miliar manusia papa di 141 negara berkembang pada tahun 1990 alias 8% lebih tinggi dari 5 tahun sebelumnya. Bila kecenderungan ini terus naik, jumlah kaum miskin absolut akan menjadi 1,3 miliar di tahun 2000. Yang dimaksud miskin absolut adalah mereka yang hanya berpenghasilan kurang dari US$ 1 sehari, setara dengan daya beli US$ 1 di Amerika Serikat pada tahun 1985. Dengan ukuran ini, Indonesia boleh berbangga. Bank Dunia justru mencatat jumlah orang miskin Indonesia menurun dari 70 juta (lebih dari separuh jumlah penduduk) tahun 1970 menjadi 27 juta alias 15% total penduduk di tahun 1990. Sukses ini umumnya diraih oleh negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat, yang kebanyakan berada di kawasan Pasifik. RRC, yang pertumbuhan ekonominya 8,5% per tahun pada tahun 1980-an, berhasil menurunkan penduduk miskinnya dari sepertiga jumlah penduduknya di tahun 1980 menjadi hanya sepersepuluh di tahun 1990. Di negara-negara Sub-Sahara di Afrika, pertumbuhan ekonominya hanya 3,3% per tahun, jumlah penduduk papanya meningkat. Laju pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas 4,7% agar kawasan ini dapat menekan jumlah penduduk miskinnya. Pertumbuhan ekonomi negatif di Amerika Latin dan Karibia, 1980-an, malah menyumbangkan 40 juta penduduk miskin baru. Kendati demikian, bukan berarti pertumbuhan ekonomi adalah segalanya. Bank Dunia, dalam laporannya berjudul Implementing the World Bank's Strategy to Reduce Poverty yang terbit akhir bulan lalu, memberi contoh menarik. Pendapatan per kapita Brasil pada tahun 1960-1980 meningkat 220%, tapi hanya berhasil menurunkan jumlah penduduk miskinnya 34%. Padahal, Indonesia yang pendapatan per kapitanya pada kurun 1971-1987 naik 108%, penduduk miskinnya turun 42%. Ini, menurut Bank Dunia, disebabkan oleh pertumbuhan di Indonesia lebih merata. Ketimpangan pendapatan di Brasil memang lebih lebar. ''Ini karena kebijakan ekonomi di Indonesia lebih tepat,'' kata Dr. Iwan Jaya Aziz, pakar ekonomi yang dimintai masukannya oleh penyusun laporan Bank Dunia ini. ''Anda harus ingat, inflasi di Brasil mencapai tiga digit, anggarannya defisit dan kebijakan moneternya longgar,'' tambah pengajar Universitas Indonesia yang sedang mengadakan penelitian di Cornell University, AS, itu. Kasus Thailand juga menarik. Pertumbuhan ekonomi negeri gajah itu lebih tinggi daripada Indonesia di tahun 1980-an. ''Namun, hampir tak ada dampaknya pada pengurangan kemiskinan karena pertumbuhan ekonominya tak merata,'' kesimpulan laporan 100 halaman itu. Hal serupa terjadi di RRC. Angka kemiskinannya mandek sejak akhir 1980-an. Bank Dunia menyimpulkan: prasarana paling dasar yang harus diprioritaskan adalah yang berdampak besar bagi kaum miskin. Misalnya jaringan puskesmas dan program yang bermanfaat bagi anak-anak karena kelompok miskin umumnya beranak banyak. Di Indonesia, misalnya, kelompok 20% termiskin menikmati 24% subsidi pemerintah pada kegiatan puskesmas, dan 22% subsidi pendidikan SD. Namun, mereka hanya menikmati 5% subsidi pengobatan opname di rumah sakit dan 3% subsidi sekolah lanjutan atas. Sayangnya, program-program sosial yang sangat membantu kelompok termiskin, seperti puskesmas dan SD Inpres, ini belum merupakan prioritas. Buktinya, kelompok 20% termiskin di Indonesia hanya menikmati 15% subsidi di sektor pendidikan dan 13% subsidi di sektor kesehatan. Bandingkan dengan kelompok 20% terkaya yang menikmati 29% subsidi pendidikan dan 26% kesehatan. Bank Dunia tampaknya semakin terbuka untuk membantu program- program yang khusus ditargetkan memerangi kemiskinan. Tahun lalu, misalnya, 14% pinjaman Bank Dunia untuk bidang ini, termasuk proyek pemberantasan buta huruf, SD Inpres, dan perkebunan rakyat. Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini