SEBUAH pintu seakan telah dibuka dua pekan lalu. Itu terjadi tatkala Presiden Soeharto, dalam perjalanan kembali dari kunjungan ke Jepang, RRC, dan Vietnam, menyatakan: bekas PKI yang selama ini berada di luar negeri diizinkan pulang ke Indonesia asal mereka bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan. Apakah mereka akan masuk? Belum jelas. Bahkan, jumlah mereka sendiri pun belum pasti. Tatkala G-30-S-PKI pecah pada 1965, misalnya, di RRC saja ada sekitar 500 orang Indonesia anggota berbagai delegasi yang sedang berkunjung ke sana. Belum lagi yang ada di Eropa Barat dan Timur, termasuk para mahasiswa kiri yang sedang belajar di sana. Sebagian ada yang telah kembali. Namun, cukup banyak yang tak berani pulang. Setelah 25 tahun orang terlunta-lunta di negeri lain, apakah kerinduan akan tanah air akan mendorong keinginan untuk masuk ke pintu yang telah dibuka tadi? Apalagi banyak di antara mereka yang sudah berusia lanjut, yang mungkin seperti sifat banyak orang Indonesia -- ingin mati di kampung sendiri. Memang, kadar ke-PKI-an atau keterlibatan mereka belum diketahui secara pasti. Mungkin ada juga di antara mereka yang tak terlibat dalam G30S-PKI, tapi tak berani pulang, karena alasan-alasan tertentu. Kabarnya, memang ada sejumlah orang yang diketahui bukan anggota PKI, tapi tergolong "Soekarnois". Untuk memastikan itulah mereka yang pulang nanti harus diperiksa lebih dulu. Seperempat abad waktu yang cukup lama. Begitu banyak yang telah berubah selama kurun waktu itu. Di Indonesia PKI sudah musnah. Ancaman komunis pun, berkat kewaspadaan nasional yang makin tinggi, telah lama tak kedengaran. Dan, yang terpenting, berkat pembangunan nasional, lahan buat berkecambahnya ide komunis makin kurang subur. Jumlah penduduk yang miskin telah sangat jauh berkurang. Apalagi di kubu komunis sendiri, khususnya di Eropa Timur, komunisme dikatakan sedang bangkrut. Atau, seperti dikatakan Zbigniew Brzezinski, sedang dalam keadaan "sekarat yang gawat". Lantas, buat mereka yang selama ini terasing di negeri orang, dan selama itu pula terus merangkul teguh ide komunis, apakah kebangkrutan komunisme ini tidak berarti bahwa "penantian" mereka selama ini sia-sia? Kini, mereka mirip rebel without a cause, "pejuang" yang kehilangan motif dan makna. Apalagi, bila benar (atau bisa diterima) apa yang diungkapkan Jusuf Adjitorop satu-satunya bekas anggota Politbiro CC PKI yang masih hidup -- bahwa pada awal 1970-an sisa-sisa PKI di RRC telah "membubarkan diri". Tidakkah itu berarti dasar pijakan mereka telah amblas? Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini