Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan peserta Pemilihan Umum atau Pemilu boleh berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan seperti di sekolah dan kampus. Keputusan tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 15 Agustus 2023. Izin diberikan sepanjang mendapatkan izin dan tidak menggunakan atribut kampanye.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas seperti apa bunyi keputusan MK membolehkan kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk diketahui, Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 tersebut merupakan keputusan terhadap uji materi yang dilayangkan seorang karyawan swasta bernama Handrey Mantiri sebagai pemohon I dan anggota DPRD DKI Jakarta Ong Yenny sebagai pemohon II. Keduanya menggugat Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Adapun regulasi tersebut menyatakan: Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang: h. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Pemohon mengajukan agar MK menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon menilai penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h, akan mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap para Pemohon sebagai pemilih dan atau sebagai calon anggota DPRD DKI Jakarta. Menurut mereka, akan terjadi ketidakpastian hukum dalam larangan kampanye menggunakan fasilitas Pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Ketidakpastian itu terjadi karena adanya pertentangan antara Penjelasan Pasal dengan materi pokoknya (contradictio in terminis).
“Adanya sifat contradictio in terminis tersebut dapat dilihat di mana Pasal 280 ayat (1) huruf h sudah secara tegas melarang tanpa terkecuali dan tanpa syarat kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Namun di Penjelasannya justru mengecualikannya dengan syarat diundang oleh penanggung jawab dan tanpa atribut kampanye,” kata pemohon dalam gugatannya.
Pemohon berpendapat bahwa frasa pengecualian dengan syarat diundang oleh penanggung jawab dan tanpa atribut kampanye merugikan, khususnya di tempat ibadah. Mereka menilai aturan ini merugikan peserta Pemilu dari agama non Islam. Pasalnya, peserta Pemilu Muslim tetap dapat melakukan kampanye di masjid sepanjang mereka mendapatkan izin dan tidak menggunakan atribut. Padahal, secara audience, menurut pemohon tentu peserta kampanyenya lebih banyak di masjid ketimbang tempat ibadah lainnya.
“Penggunaan tempat ibadah, jelas tidak akan adil bagi caleg yang berlatar belakang non muslim seperti Pemohon II yang beragama Budha, sebab jika dibandingkan antara jumlah tempat ibadah antara masjid dan vihara di Dapil 9 DKI (Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu) pada tahun 2022 berdasarkan data BPS DKI Jakarta, jumlah masjid dan mushollah sebanyak 756 buah dan jumlah vihara hanya 96 buah,” bunyi argumen pemohon.
MK dalam amar putusannya kemudian mengabulkan permohonan pemohon untuk menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK juga menyatakan beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
“Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi, ‘menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu,’” bunyi putusan amar Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 tersebut.
Dengan adanya putusan MK terbaru ini, sebenarnya aturan yang berubah hanya khusus untuk tempat ibadah saja, yang kini dilarang total tanpa syarat lainnya. Sedangkan untuk kampanye menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dibolehkan, sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu. Tetapi aturan terbaru ini secara mutlak menyebut bahwa kampanye di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dibolehkan dengan syarat.