Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Boyolali - Selama 30 tahun, Tari, warga Desa Tawangsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tidak berani keluar rumah. Dia memilih mengurung diri karena tak mampu berjalan sejak duduk di kelas VI Sekolah Dasar. Tiada yang tahu apa sebab Tari menjadi difabel daksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sudah berulang kali ke dokter, tapi tak ada yang bisa menjawab kenapa saya lumpuh," kata Tari kepada Tempo dalam sebuah lokakarya batik Srikandri Patra di Desa Tawangsari, Jawa Tengah, Jumat, 20 September 2019. Saat itu kepercayaan diri Tari roboh. Dia menarik diri dari dunia luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga sekitar setahun lalu, seorang difabel daksa bernama Yuni 'memaksa' Tari untuk keluar rumah. Yuni menunjukkan kalau kondisi fisik bukan halangan untuk berkarya. "Akhirnya saya mau keluar rumah. Dan saya kaget bukan main karena semua sudah berubah," ucap Tari.
Yuni mengajak Tari belajar membatik. Perlahan dia merasa cocok dengan pekerjaan membatik dan terus menekuninya. Kini, jemari Tari lihai menggoreskan malam sebagai motif pada selembar kain batik. Tari bernanung dalam kelompok Srikandi Patra di Boyolali, binaan Terminal Bahan Bakar Minyak PT Pertamina (persero) Boyolali.
Community Development Officer TBBM Boyolali PT Pertamina (Persero), Noor Azharul Fuad menuturkan, Yuni adalah pionir Srikandi Patra. "Dialah difabelpreneur dari program corporate social responsibility Pertamina," kata Azharul.
Difabel daksa, Tari (kiri) dan tunarungu, Sri, sedang menggambar pola batik di rumah sorang pengelola kelompok usaha batik Srikandi Patra di Desa Tawangsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat, 20 September 2019. TEMPO | Larissa Huda
Koordinator pengelola Srikandi Patra, Siti Fatimah, 41 tahun, mengatakan ada lima anggota difabel yang turut membatik. Mereka mendapat bimbingan membatik dari pengelola dan tidak ditarget berapa produksi batik untuk setiap orang. "Kami menyerahkan kepada mereka karena membatik juga tergantung mood (suasana hati)," kata Siti. Jika dirata-rata, satu orang bisa menyelesaikan selembar kain batik dalam tempo 10 sampai 15 hari.
Siti Fatimah merinci, selembar kain batik karya pembatik difabel dijual sekitar Rp 750 ribu. Dari angka itu, mereka yang mencanting dan menggambar batik, masing-masing mendapat upah Rp 100 ribu per lembar.
Sisa uang penjualan tadi digunakan untuk menambah kas, membeli kebutuhan anggota difabel, seperti kursi roda, dan lainnya. Tahun lalu, menurut Siti, kelompok Srikandi Patra mencatat penjualan sampai Rp 50 juta. "Dari Januari sampai Agustus 2019 ini, mereka sudah mendapatkan Rp 17 juta," ujar dia.