Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA banyak publikasi, Hankam, Rabu pekan lalu, menandatangani kontrak pembelian rudal baru. Kontrak sekitar Rp 125 milyar itu jatuh pada British Aerospace, Inggris, yang akan mengirim sejumlah unit rudal antipesawat terbang Rapier mulai tahun depan. Rapier (pedang tipis) adalah unit sistem pertahanan udara ringan yang sangat mobil. Sebuah unit biasanya terdiri atas peluncur berisi empat rudal, penjejak optik, panel kontrol, dan catu daya. Mulanya sistem ini dirancang untuk menghadapi serangan pesawat yang terbang rendah dan cepat, dalam jumlah banyak dan di siang hari. Tapi, yang dibeli Hankam ini diberi perlengkapan tambahan radar blindfire, yang memungkinkannya tetap ampuh pada malam hari. Keampuhan Rapier dengan blindfire ini, agaknya, cukup meyakinkan. Ketika pertama kali dicoba, akhir 70-an, rudal itu berhasil menghantam target yang terbang melaju pada kecepatan 0,6 Mach (0,6 kali kecepatan suara), ketinggian 600 m. Bahkan pada perang Malvinas, 1982, rudal ini dipastikan telah meruntuhkan 14 pesawat Argentina dan diduga merontokkan enam buah lagi. Rapier tak akan menghantam pesawat sendiri di tengah kekacauan perang. Sebab, rudal berbobot 42 kg ini memiliki sarana elektronik IFF (Identification Friend or Foe). Artinya, sistem Rapier dilengkapi dengan pengirim sinyal radio dalam bentuk kode yang harus dliawab secara otomatis, dengan kode yang telah ditentukan. Bila pesawat yang ditemukan radar memberi kode yang benar, radar pun akan bergerak mencari sasaran lain. Bila tidak, alarem berbunyi dan rudal pun siap ditembakkan. Operator mempunyai dua pilihan, mengendalikan rudal dengan tangan atau menyerahkannya pada radar. Untuk pengendalian dengan tangan, tersedia tongkat yang dapat digerakkan ke segala arah yang diinginkan. Bila sasaran berada dalam jarak tembak, komputer akan memberi tanda, dan rudal pun ditembakkan. Melalui layar televisi, operator memastikan rudal menghantam sasaran dengan menggerakkan tongkat. Hulu ledak rudal ini hanya akan meledak bila mengenai sasaran. Memang cukup mudah melayani sistem Rapier. Seperti memainkan video game saja. "Karena itu, senjata ini bisa dilayani seorang kopral atau sersan," kata seorang pejabat tinggi ABRI. Apalagi sistem ini ternyata bisa digelar oleh tiga orang dalam tempo kurang dari 15 menit dan ternyata tahan banting, seperti terbukti di medan perang Malvinas itu. Tak heran jika NATO dan beberapa negara lainnya memasukkan Rapier dalam sistem pertahanan udara mereka. Bahkan di ASEAN, Indonesia adalah negeri ketiga yang membeli Rapier, setelah Brunei dan Singapura. "Memang salah satu faktor dipilihnya Rapier karena telah dimiliki negara- tetangga," kata perwlra tinggi itu. Maka, rudal Roland (bikinan Jerman dan Prancis), yangsempat bersaing dengan Rapier, terpaksa giglt jari. Keseragaman di bidang persenjataan antara negara tetangga tentunya memudahkan adanya kerja sama bila diperlukan. Apalagi Rapier adalah sistem yang sangat mobil, yang dapat diangkut dengan pesawat Hercules, helikopter, ataupun ditarik kendaraan darat. Indonesia merencanakan menggunakan rudal berdaya tembak 6,5 km ini untuk perlindungan semua proyek vital. Prioritas pemasangan pertama diberikan untuk menjagaJakarta dan Aceh. Pengoperasiannya dipercayakan pada Artileri Pertahanan Udara TNI-AD. Sebenarnya, sistem pertahanan udara modern terdiri dari tiga unsur, yaitu pesawat terbang, radar, dan rudal. Hanya saja, Mabes ABRI tampaknya lebih mendahulukan rudal dari pesawat terbang. "Soalnya, harganya lebih murah dan tidak memerlukan personil berpendidikan tinggi," seorang perwira timggi menjelaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo