SARINAH akhirnya dibuka kembali. Pada hari pembukaan Senin pekan ini, sambutan tampak melimpah. Ratusan pengunjung dari pelbagai pelosok bahkan dari luar Jakarta berduyun-duyun ke Toko Serba Ada (Toserba) pertama Indonesia, yang terbakar November lalu itu. Mereka datang sejak pagi, sebelum toko itu resmi dibuka pukul 10. Datang dan berkerumun di seputar halaman gedung berlantai 14 itu, para pengunjung, selain mau menyerbu obralan yang diawarkan lewat poster yang terpasang di luar gedung, juga tampak seperti mau memuaskan mereka pada gedung yang dibangun atas gagasan Almarhum Bung Karno itu. Maklum, sudah sebulan lebih gedung dengan wajah menakutkan terutama di bagian atasnya itu jadi tontonan. Malah sempat jadi perdebatan: masih bisa dibuka atau tidak. Dan ternyata, masih. Sudah dipoles di sana-sini, gedung yang terletak di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, itu kini mulai tampak hidup kembali. Kendati baru dibuka dari lantai dasar sampai lantai empat toserba tersebut tak ayal masih kelihatan menarik, dengan pelbagai perbaikan yang dilakukan. Listrik sudah menyala, ada AC, dan perjalanan dari lantai ke lantai sudah bisa dilakukan lewat tangga berjalan (eskalator). Sepintas, keadaan gedung itu dari luar tampak kembali meyakinkan. Ditambah alunan irama musik yang terdengar dari pengeras suara di tiap lantai, kesan gedung itu pernah terbakar hebat seperti hilang. Pendeknya, tampak dari luar gedung yang dipenuhi umbul-umbul berwarna-warni itu kini sudah betul-betul kembali seperti sedia kala. Tapi itu pandangan dari luar. Tak cukup untuk bisa memastikan apakah gedung itu bisa dipakai lagi atau tidak. Setidak-tidaknya untuk itu diperlukan izin dari Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K) DKI untuk bisa memakai gedung ini (TEMPO, 1 Desember). Apakah izin itu sudah diperoleh Sarinah? "Sudah," kata G.J. Kaunang, kepala Dinas P2K. "Izin itu kami berikan Jumat, 14 Desember lalu." Ia menjelaskan, pemberian izin dilaksanakan sesuai dengan prosedur. Yakni, setelah P2K menerima rekomendasi jaminan dari pihak yang dipercayainya. Khusus untuk Sarinah, kata Kaunang, pihaknya menerima tiga rekomendasi. Dua dari lembaga dan satu dari seorang ahli konstruksi. Mereka adalah Lembaga Afiliasi Penelitian Industri (LAPI) ITB, PLN, dan ahli konstruksi Prof. Dr. Ir. Rooseno, arsitek yang ikut membangun Sarinah 20 tahun lalu. LAPI secara khusus meneliti dan kemudian menyarankan desain tata ruang yang aman untuk lantai yang dipakai, PLN menyusun tata letak pemasangan instalasi listrik, dan Rooseno sebagai penjamin kekuatan konstruksi. Dengan rekomendasi ketiga pihak inilah, P2K lalu memberi izin pemakaian gedung tadi sampai lantai empat "Sebenarnya bisa sampai lantai lima, tapl agar lebih aman, kami usulkan lantai lima dikosongkan saja dulu," kata kepala Dinas P2K itu. Dan, memang, lantai itu sementara ini memang tak perlu dibuka. Sebab, pada hari pembukaan Senin lalu, ke lantai empat saja pengunjung seperti enggan naik. Mungkin mereka masih takut. Entahlah. Tapi, yang Jelas, hampir semua pengunjung tampaknya bersesak-sesak ke lantai dasar dan lantal dua. Bisa jadi, ini karena di kedua lantai, yang menjual bahan sandang, pakaian, dan tekstil serta barang pecah belah itu, banyak dijual barang dengan harga obral - sesuatu yang tak syak lagi memang dicari orang, menelang Natal dan Tahun Baru pekan depan. Maka, bisa dimaklumi di kedua lantai ini ledakan pengunjung terjadi. Suasana hiruk-pikuk. Pengunjung, yang kebanyakan wanita dan anak-anak itu, seperti berebut membeli bahan obralan yang memang murah. "Sengaja kami turunkan sampai 50 persen," kata Ansar Sudirman, dirut PT Sarinah, di tengah kerumunan pengunjung. Sambil membantu mengawasi obral itu Ansar menjelaskan, nilai seluruh barang yang diobral sekitar Rp 600 juta jika dijual dengan harga biasa. Tapi, dengan jual obral, antara lain karena bahan ada yang rusak atau berbau asap, total harga barang tersebut hanya berkisar Rp 150 juta. Murah, memang. Sebab, satu kaus anak yang biasa dijual Rp 1.000, misalnya, hari itu hanya dijual Rp 300. Daster wanita, yang biasanya berharga sekitar Rp 8.000, dijual hanya Rp 3.000. Inilah yang juga menarik. Tanpa publikasi luas, hanya lewat radio dan dari mulut ke mulut, ketika pembukaan, Sarinah diserbu pembeli. Sekitar 900 karyawannya yang disiapkan melayani para pengunjung, apa boleh buat, kewalahan melayani para pembelanja. Dan, tentu saja, mereka ada yang suka ahli. Seorang pramuniaga, misalnya, mengeluh karena dia harus sibuk menegur pembeli yang suka memindah-mindahkan label tarif barang yang tertempel pada barang yang diobral - agar bisa membeli lebih murah." Sampai siang arus pengunjung terus membanilr. Akibatnya, manajemen perusahaan milik negara itu akhirnya harus menutup toserba itu pada pukul 16.00 - lebih cepat dari jadwal tutup yang direncanakan sekitar pukul 21.00 WIB. Sampai batas waktu itu, menurut Ansar, mereka bisa mengumpulkan jumlah penjualan sekitar Rp 70 juta. Jumlah angka penjualan ini, ketika bisnis melesu sekarang ini, tentu cukup mengejutkan. Sehingga, tak mengherankan bila pemilik Pasaraya Sarinah Jaya, yang terbakar sebelum Sarinah, konon sedang berusaha minta izin Jntuk membuka tokonya. Sementara itu, guna mencegah kebakaran yang tak tertolong karena alat pemadam tak memadai, Tim Peneliti Sarana Kebakaran pada Bangunan Tinggi di Jakarta baru saja merampungkan penelitian mereka. Hasil lengkap penelitian belum diumumkan. Tapi, seorang pejabat mengatakan bahwa mereka, antara lain, menemukan dari penelitian terhadap 140 bangunan di Jakarta: 50% memerlukan perhatian peralatannya, 40% alat-alatnya tak lengkap, dan hanya 2% yang betul-betul lengkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini