Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Repotnya Kuota Perempuan

Partai-partai baru kesulitan menjaring calon legislatif perempuan. Kuota 30 persen terancam tak terpenuhi.

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKLAN layanan masyarakat ini sekarang gencar ditayangkan televisi: pilihlah partai yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Tentu iklan ini lahir bukan karena ada partai yang tidak peduli terhadapperempuan. Pasti bukan itu maksudnya. Iklan dari Kementerian NegaraPemberdayaan Perempuan itu mengimbauAnda—para pemilih dalam Pemilu 2004nanti—memilih partai yang menempatkan perempuan sebagai calon legislatif dinomor peci alias nomor jadi.

Perempuan, partai politik, dan pemilu sedang menjadi bahan perbincanganhangat. Para aktivis kesetaraan hak lelaki dan perempuan belakanganmelontarkan "peringatan" agar partai-partaipolitik serius menempatkan perempuan sebagai calon legislatif pada Pemilu 2004.Mereka juga mengingatkan bahwa Pasal 65 Undang-Undang Pemilu Nomor 12Tahun 2003 mengatur jumlah calon legislatif perempuan mencapai 30 persen.

Kuota jumlah perempuan ini memang jerih payah para aktivis perempuanyang terus mengkampanyekan perlunya keterwakilan perempuan dalamparlemen. Berbagai aksi digelar, termasuk melobi para pembahas RUU Pemilu agarmencantumkan kuota dalam pasal tata cara pencalonan anggota DPR sertaDPRD provinsi, kabupaten, dan kota.

Para aktivis ini beralasan, kuota 30 persen itu merupakan tindak lanjutdari konvensi PBB soal penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadapperempuan, yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 7Tahun 1984. Isinya adalah meminta pemerintah di seluruh dunia memberlakukankuota 30 persen tadi. Tujuannya agar terjadi peningkatan peran perempuandalam sejumlah jabatan yang didasari penunjukan, pengangkatan, dan hasilpemilihan pada tingkat nasional ataupun lokal.

Tapi mencari sosok perempuan yang berkualitas untuk dijadikan calonlegislatif jelas tak gampang. Apalagi kebutuhan calon legislatif perempuan itu takcuma untuk DPR, tapi juga untuk DPRD provinsi, kabupaten, dan kota. Inibukan jumlah yang sedikit.

Repotnya, selama ini, perempuan yang terjun ke dunia politik memang takbanyak (lihat tabel). Sejarah mencatat, perolehan tertinggi kursi anggotaparlemen untuk perempuan hanya terjadi pada Pemilu 1987. Itu pun hanya 11,6 persen.Padahal jumlah total pemilih perempuan dari pemilu ke pemilu selalu lebihbesar daripada yang laki-laki.

Bagi partai besar seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, PartaiKebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan, syarat pemenuhan kuotaitu tidak menjadi soal. Mereka punya cukup waktu dan mekanisme penjaringanyang sudah berjalan relatif bagus.

PDI Perjuangan, misalnya, jauh-jauh hari sudah menggelar kaderisasikhusus perempuan. Hasilnya, menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP,Pramono Anung, dari 800 orang perempuan yang menjadi kader, ada 200 orangyang menjadi pengurus hingga calon legislatif di pusat, provinsi, dan kota madya.

Malah, kata Pramono, partainya juga menerapkan kebijakan kuota 15persen untuk perempuan untuk setiap penyusunan kepengurusan. "Selain itu,untuk merekrut kader baru yang potensial," kata Pramono.

Menjelang Pemilu 2004 ini, beberapa tokoh perempuan pun ditarik kePDIP untuk menjadi calon anggota parlemen. Misalnya ekonom Sri Mulyani, yangkini menjadi calon di Jawa Timur. Juga aktivis LSM Irma Hutabarat, yang kinimenjadi calon PDIP nomor urut dua di DKI. "Yang jelas, urusan kuota perempuankami sudah selesai," ujar Pramono.

PPP pun demikian. Menurut Endin A.J. Soefihara, Ketua LajnahPemenangan Pemilu PPP, saat ini partainya tengah menyeleksi 240 perempuan untukmendapatkan 180 calon di tingkat pusat. Selain kader baru, banyak dari merekaadalah anak dan istri politikus. "Tapi, dengan catatan, mereka dipilih karenakualitasnya," kata Endin.

Bagaimana dengan partai-partai baru? Tampaknya cukup merisaukan.Mepet-nya waktu pengumuman verifikasi dengan jadwal penyerahan daftar namacalon ke Komisi Pemilu, yang cuma selang dua minggu, cukup bikin puyeng.

Ketua Umum Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, Eros Djarot, malahsiap untuk tidak populer karena kelangkaan calon legislatif perempuan.Jumlahnya, kata Eros, diperkirakan cuma 10-20 persen. "Bisa saja sih dipaksakan 30persen, tapi kalau tidak bermutu, ya,bagaimana?" katanya. Ia pun siap untuk tidakpopuler dalam soal calon legislatif perempuan, asalkan punya banyak calonlegislatif perempuan yang berkualitas. Salah satu yang dibanggakannya adalahpenyanyi dan aktivis lingkungan Ully Sigar Rusady.

Kekhawatiran kuota tak mencukupi juga dialami Sjahrir, Ketua UmumPartai Perhimpunan Indonesia Baru. Penyebabnya lagi-lagi soal pertimbangankualitas calon legislatif, tapi kali ini hanyauntuk daerah tingkat I dan II. "Kami tak mau memasang nama seadanya untukmemenuhi kuota itu," ujarnya. Adapun untuk DPR, Partai PIB telah menyiapkansejumlah aktivis perempuan, seperti pengusaha Rosita Noor dan mantanwartawan TEMPO, Toeti Kakiailatu.

Partai Bintang Reformasi termasuk yang harus repot dengan syarat kuotaitu. Ini karena mereka mengalami kelangkaan calonperempuan untuk kursi DPRD provinsi dan kabupaten. "Sayakhawatir tidak terpenuhi. Jika dipaksakan mengejar setoran kuota, sayakhawatir bisa asal perempuan," kata Zainuddin M.Z., ketua umumnya.

Kerja keras pun harus dilakukan. Guna mengantisipasi langkanya calonperempuan, Partai Bintang Reformasi terpaksa melakukan pelatihan internalkaderisasi perempuan, termasuk membuka lowongan di kampus-kampus. Hasilnya,"Cukup lumayan untuk pencalonan. Banyak mahasiswa dan dosen yang ikut,"kata Zainuddin.

Jalan pintas serupa dilakukan Partai Penegak Demokrasi Indonesia di JawaTengah. Menurut wakil sekretarisnya, Budy Setiawan, jumlah kader perempuanpartai ini tak mencapai 30 persen. Akibatnya, partai reinkarnasi dari PDI Soerjadiini terpaksa memasang lowongan calon perempuan di 35 cabang partai danlembaga yang peduli terhadap soal-soal perempuan. Yangterakhir, partai ini memutuskan untuk memasang lowongan di koran.

Repotnya, menurut Dwi Ria Latifa dari PDI Perjuangan, tak ada sanksihukum yang jelas bagi partai yang melanggar kuota perempuan ini. AnggotaKomisi Hukum DPR yang muncul sebagai calon PDIP dari Jawa Barat inimenunjuk kelemahan undang-undang sebagai penyebabnya. "Tak ada katakewajiban dalam pasal itu. Yang ada adalah setiap partai 'dapat' mengajukan calonanggota DPR dan DPRD untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikanketerwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen," ujarnya.

Cara agar partai menaati kuota ini, menurut Wakil Komisi Pemilu,Ramlan Surbakti, adalah mengembalikan seluruh berkas jika partai tak memenuhikuota perempuan. Pengembalian itu dimaksudkan agar partai melengkapi kuota."Jika itu tidak juga diperbaiki, kamiterpaksa mengumumkan kepada publik bahwa partai ini tak memenuhi kuota,"kata Ramlan.

Dan itu jelas bukan kampanye yang baik untuk partai, walaupun survei TheAsia Foundation untuk Pemilu 2004 yang dilakukan pada Juni-Agustus lalumenunjukkan bahwa pemilih ternyata lebih menyukai laki-laki sebagai wakilnyadi DPR. Sebanyak 62 persen responden memilih calon laki-laki, sedangkanyang memilih perempuan hanya 13 persen.

Alasannya? Menurut survei itu, responden beranggapan laki-laki lebihtangguh, cerdas, dan bisa memimpin. Sedangkan responden yang memilih perempuanberanggapan bahwa wanita bisa memperjuangkan kesetaraan gender, dapatmemperjuangkan isu-isu publik, serta lebih bertanggung jawab. "Persentase inibisa diartikan calon perempuan harus menghadapi kondisi yang lebih sulitdalam pentas politik Indonesia," kata Sandra Hamid, Manajer Program Pemiludari The Asia Foundation.

Meski begitu, responden dari 32 provinsi yang disurvei lembaga itumenyatakan siap mendukung penambahan jumlah perempuan di parlemen. Merekajuga akan memilih partai yang mengusung 30 persen kuota calon untukperempuan. Jumlahnya cukup signifikan: 49 persen.

Setelah kesempatan dan kuota diberikan, biarkan rakyat bebas memilih yang terbaik.

Widiarsi Agustina, Hanibal W.Y.W., Sohirin (Semarang), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus