Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang Direktur Anti-Teror Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Kamis sore pekan lalu, Brigjen Pranowo tampak sibuk memimpin rapat dengan empat stafnya. ”Kami sedang sibuk, pusing,” ujarnya, mencegat wartawan yang ingin menemuinya seraya menutup pintu. Dari ruang di lantai dua gedung Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri itu, nasib empat mahasiswa Indonesia—Gun-Gun dan tiga rekannya—akan ditentukan.
Akhirnya, 30 menit menjelang batas penahanan—pukul 21.00 WIB—Mabes Polri mengumumkan Rusman Gunawan alias Gun-Gun, Muhammad Saefuddin, Furqon Abdullah, dan Ilham Sofyandi resmi menjadi tersangka. Artinya, empat dari enam mahasiswa Indonesia yang dideportasi pemerintah Pakistan itu harus lebih lama mendekam di tahanan polisi, beda dengan David Pintarto dan Muhammad Anwar al-Sadaqi yang sudah dibebaskan. ”Sudah ada bukti mereka sengaja memberikan bantuan dan kemudahan kepada pelaku tindak terorisme,” kata juru bicara Polri, Brigjen Soenarko.
Dibandingkan dengan yang lain, kasus Gun-Gun cs. terbilang unik. Berbeda dengan tersangka terorisme lain yang ditangkap polisi, yang biasanya langsung dipublikasi, kali ini wajah keempat mahasiswa itu tak pernah muncul di depan publik. Padahal, mereka tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis malam dua pekan lalu. Setelah diserahkan oleh pihak Departemen Luar Negeri, mereka langsung menghadapi pemeriksaan maraton di ruang data Polda Metro Jaya, sampai akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Belum pula ada penjelasan resmi soal keterlibatan mereka secara spesifik dalam aksi teror di Indonesia. ”Peran mereka tidak langsung, tetapi secara hukum ada keterkaitan,” kata Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar seusai salat Jumat di Mabes Polri. Toh, tudingan yang dialamatkan pada mahasiswa itu lumayan gawat: terlibat dalam jaringan teroris internasional Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyah.
Gun-Gun, yang juga adik kandung Encep Nurjaman alias Hambali, disebut aktif merekrut anggota baru kelompok yang kocar-kacir itu setelah para pentolannya banyak ditangkapi di berbagai negara. Sedangkan David dan Anwar disebut sebagai anggota sel tidur. Karena itulah polisi menjerat mereka dengan Undang-Undang Anti-Terorisme, subsider Undang-Undang Keimigrasian dan KUHP.
Dengan dasar Undang-Undang Anti-Terorisme itu pula, sejak sepekan lalu mereka diinterogasi tanpa didampingi penasihat hukum. ”Kami memilih pasif,” kata Muhammad Mihdan dari Tim Pembela Muslim. Dari Soenarko, diperoleh keterangan sebatas bantuan para mahasiswa itu kepada Hambali. Namun, tak dirinci bantuan apa yang diperoleh tersangka utama pengeboman di 39 tempat di Indonesia itu, sejak bom malam Natal 2000 sampai peledakan Hotel JW Marriott 5 Agustus lalu.
Hambali ditangkap atas kerja sama polisi Thailand dan agen CIA di Ayutthaya, pertengahan Agustus lalu. Disebut-sebut, bantuan itu masih seputar transfer dana dari Hambali kepada Gun-Gun, atau sebaliknya. Gun-Gun memang pernah mengungkapkan kepada Pelaksana Tugas Konsul RI di Karachi, Pakistan, Temu Alam, yang menemui mahasiswa asal Cianjur, Jawa Barat, itu bahwa dia pernah menerima kiriman dana US$ 100-200 dari kakaknya itu.
Jika transfer dana itu yang dipersoalkan polisi sekarang ini, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Munarman, menganggapnya sebagai tak masuk akal. Dana itu harus jelas apakah hanya bantuan kakak kepada adiknya yang masih mahasiswa. Jika Gun-Gun dan kawan-kawan membantu kakaknya, dari mana mereka mendapat uang? ”Apakah polisi punya bukti transfer dana itu?” kata Munarman. ”Sebab, selain Gunawan dan Furqon, mereka masih mahasiswa baru.”
Soal materi tuduhan, polisi masih melakukan pendalaman. Termasuk melengkapi bukti-bukti keterlibatan mereka, yang akan dikuatkan dengan informasi intelijen yang segera dikonsultasikan kepada hakim untuk mendapatkan penetapan sebagai dasar penahanan. Namun, ”Kalau ternyata sumber intelijen itu dari Pakistan, dan disahkan pengadilan, ini pengadilan ngawur,” kata Munarman. Menurut dia, intelijen yang diakui di Undang-Undang Anti-Terorisme hanyalah informasi intelijen dari lembaga intel dalam negeri.
Lagi-lagi Munarman menaruh syak, informasi intelijen yang akan disampaikan ke pengadilan sebenarnya hasil interogasi selama sepekan ini. ”Logikanya, kalau sudah mengantongi informasi itu, polisi langsung menyampaikan ke pengadilan sebelum penahanan terjadi,” katanya. Suara pesimistis sebenarnya juga muncul dari korps baju cokelat. Sumber TEMPO di kepolisian menyebutkan, jika hanya mengandalkan bukti yang ada di tangan penyidik sekarang ini, Gun-Gun cs. bisa lolos di pengadilan.
Menurut sang perwira, upaya mendeportasi para mahasiswa itu juga bukan keinginan polisi. Akibatnya, menurut sumber yang tak mau disebut namanya itu, polisi sekarang kerepotan melengkapi bukti pendukung. ”Masih tipis bukti-buktinya,” tuturnya. Jalan Gun-Gun cs. lepas dari tahanan Agen Intelijen Federal Pakistan (FIA) di Karachi juga berliku dan melalui serangkaian lobi tingkat tinggi.
Pembebasan itu sempat dibahas dalam pertemuan Presiden Megawati dengan Presiden Pakistan Pervez Musharraf di sebuah ruang di kantor PBB, New York, akhir September lalu. Usai pertemuan, Musharraf memang menyampaikan kemungkinan menyerahkan mahasiswa yang dituding mengancam keamanan negaranya itu kepada Indonesia.
Saat itu, sikap para pejabat Polri seperti enggan ”kejatuhan sampur”. Kala itu Jenderal Da’i Bachtiar mengatakan, polisi tidak memiliki catatan kriminal keenam mahasiswa yang ditangkap sehingga sulit menjerat mereka jika kembali ke Indonesia. Hal ini diakui anak buahnya. ”Locus delicti di luar negeri, ini sulit menjeratnya, termasuk dengan Undang-Undang Anti-Terorisme,” ujar Kepala Pusat Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Zainuri Lubis, saat itu.
Namun, perubahan sikap polisi yang begitu cepat sepertinya tak seiring dengan perolehan barang bukti yang meyakinkan. Padahal bukti inilah yang bisa menggiring para tersangka hingga tak berkutik. ”Mereka hanya terkait dengan Hambali, tak ada hubungan dengan peledakan bom Bali ataupun peledakan Marriott,” ujar sumber yang terlibat menangani kasus terorisme ini.
Gunawan sepertinya akan menjadi ”kartu pancingan” agar otoritas Amerika mau memberikan akses kepada polisi Indonesia untuk memeriksa kakak kandungnya, Hambali. Syukur-syukur kalau petinggi Jamaah Islamiyah itu bisa diekstradisi dan diadili atas ulahnya dalam serangkaian teror di Tanah Air. ”Kita juga berusaha agar Hambali bisa dihadirkan di sini,” kata Da’i Bachtiar. Namun, kalau ini pun mentok, akan semakin pusing polisi kita.
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo