Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terganjal Alamat Ganda

Sejumlah bekas pejabat gagal menjadi calon anggota DPD. Terganjal alamat ganda atau berbau Orde Baru?

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEGA betul perasaan Mohammad Darwis dan Mappinawang, begitu keluar dari ruang rapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Maklum, Kamis pekan lalu, KPU akhirnya memutus keruwetan mereka menyangkut empat calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sulawesi Selatan yang menggantung. "Pleno KPU sudah memutuskan, dan kami sedang menunggu surat keputusan itu, sebelum kami balik kampung sore ini juga," ujar Darwis.

Keputusan itu menyangkut gagalnya A.A. Baramuli, Tanri Abeng, Beddu Amang, dan Rifai Siata dari pencalonannya sebagai anggota DPD mewakili Sulawesi Selatan. Mereka, kata Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan domisili sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 12 Tahun 2003. "KPU hanya mengesahkan hasil verifikasi dan penelitian lanjutan KPU Sulawesi Selatan, termasuk wawancara kepada yang bersangkutan," ujar Ramlan.

Sesuai dengan Pasal 63a UU Pemilu, calon anggota DPD sekurangnya berdomisili selama tiga tahun berturut-turut terhitung sampai pendaftaran atau pernah berdomisili selama 10 tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi bersangkutan. Keempat tokoh tadi tidak memenuhi persyaratan ini.

Tergusurnya empat calon anggota DPD Sulawesi Selatan itu menjadi perhatian publik karena menyangkut orang beken. A.A. Baramuli adalah mantan Ketua DPA, Tanri Abeng pernah menjadi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, dan Beddu Amang adalah mantan Kepala Bulog. Lalu muncul kesan, seolah-olah penggusuran itu karena stigma Orde Baru yang melekat pada mereka. Sumber TEMPO yang sangat dekat dengan para tokoh itu menyebut, memang ada skenario untuk mengganjal mereka dari daftar calon. Sumber itu menyebut apa yang disebut sebagai Fajar Connection dan jaringan lembaga swadaya masyarakat di kawasan Indonesia Timur. "Mereka sengaja mengganjalnya karena dianggap orang Orde Baru," ujar sumber tersebut.

Benarkah demikian? Darwis membantah dugaan itu. Sebab, sejauh ini ia dan kawan-kawan di KPU hanya menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang diterima panitia pengawas daerah dan pusat. Keberatan masyarakat dan sejumlah LSM ke panitia pengawas bukan atas dasar politisasi. "Yang dilaporkan masyarakat ke panitia soal administratif semata. Tak ada soal politik seperti itu," ujar Darwis.

Menurut Ramlan, gagalnya Baramuli dkk. menjadi calon anggota DPD diputuskan dalam rapat pleno KPU Kamis pekan lalu, setelah mendengar penjelasan Mohammad Darwis dan Mappinawang, keduanya anggota KPU Sulawesi Selatan. Rapat itu berlangsung sangat singkat dan sama sekali tak menyinggung apakah calon tersebut bekas tokoh Orde Baru atau bukan. "Yang lama penjelasan dari KPU Sulawesi Selatan itu. Kami bulat menerimanya, karena disertai bukti-bukti yang kuat bahwa mereka tak memenuhi persyaratan," kata Ramlan, yang memimpin rapat.

Menurut data KPU Sulawesi Selatan, tak cukup alasan bagi KPU untuk meloloskan empat calon itu. Soalnya, kata Darwis, berdasar wawancara pada 15 Desember 2003, mereka menemukan bukti kependudukan ganda pada calon. Antara lain paspor dan surat pajak keempat orang itu beralamat di Jakarta, tapi di lain pihak ada KTP Sulawesi Selatan.

Baramuli, misalnya, secara formal terbukti berdomisili di Makassar, antara lain dibuktikan dengan KTP seumur hidup, rumah, dan bukti melunasi pajak bumi dan bangunan. Tapi, ketika dimintai data tambahan, Baramuli memilih alamat Jalan Imam Bonjol 51, Jakarta, untuk tiga paspor yang dimilikinya, yaitu paspor hijau, diplomatik, dan dinas. Begitu juga untuk kolom alamat sebagai wajib pajak. Baramuli juga terbukti pernah beperkara di pengadilan di wilayah hukum Jakarta dengan alamat Jakarta. Kesimpulannya, menurut Darwis, Baramuli tak cukup memenuhi persyaratan domisili tiga tahun berturut-turut di Sulawesi Selatan sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang Pemilu. "Status domisili Makassar terganggu dengan status domisili Jakarta. Kasus yang sama terjadi pada Beddu Amang," kata Darwis.

Baramuli protes. Melalui pengacaranya, Yusuf Gunco, ia meminta KPU berlaku adil dengan meneliti ulang secara terbuka atas pencalonan dirinya. Sebab, berdasar bukti domisili yang dipegangnya, Baramuli mengklaim memenuhi semua syarat menjadi calon anggota DPD. Buktinya, KTP tertanggal 18 Juni 1993 dengan alamat Jalan Somba Opu 275-277 Makassar.

Adapun KTP Jakarta yang ia miliki, "Sudah dibatalkan," tulis Yusuf. Yusuf juga menyebut bukti lain seperti kepemilikan rumah, kartu keluarga, rekening listrik, bukti pajak, dan keterangan Lurah Losari, Makassar, serta Camat Ujung Pandang, yang menyatakan Baramuli berdomisili di Jalan Somba Opu 275-277, Makassar. "Yang terpenting, Baramuli anggota MPR RI Provinsi Sulawesi Selatan yang dipilih oleh DPRD setempat. Tentunya berdomisili di sana," ujar Yusuf dalam surat protesnya kepada KPU.

Protes Baramuli juga didasarkan pada fakta lolosnya empat anggota MPR lainnya, seperti Ginandjar Kartasasmita (Jawa Barat), Edwin Kawilarang (Sulawesi Utara), Subiakto Tjakrawerdaya (Jawa Tengah), dan Irman Gusman (Sumatera Barat) menjadi calon anggota DPD di daerahnya masing-masing. Menurut Yusuf, para anggota MPR itu dinilai KPU telah memenuhi syarat domisili sesuai dengan UU Pemilu. Jadi, "Tidak ada alasan hukum untuk tidak meloloskan Baramuli," ujar Yusuf.

Jika Baramuli memprotes keputusan KPU, lain lagi sikap Tanri Abeng. Bekas Menteri Negara Pendayagunaan BUMN yang pernah diperiksa dalam kasus Bank Bali itu mengaku pasrah. "Itu keputusan lembaga terhormat, saya ikhlas dan pasrah," ujar Tanri Abeng kepada TEMPO.

Meski begitu, Tanri berharap di masa mendatang beda penafsiran oleh KPU provinsi seperti ini tak terjadi lagi. Maklum, ia dinyatakan tak lolos lantaran pernah tinggal di Amerika selama tiga tahun berturut-turut, pada masa 10 tahun. Cuma, katanya, ia tak pernah berganti KTP atau paspor. "Saya ke sana kan untuk belajar. Dan selama itu tak pernah ganti KTP atau paspor. Saya tetap warga Sulawesi Selatan. Status itu kan tidak pernah digugurkan secara hukum," ujarnya.

Dalam kolom domisili, Tanri memilih kurun 1960-1970 yang diakuinya sebagai 10 tahun bukti domisili sebagai warga Sulawesi Selatan. Rupanya, pada masa itu, ia sempat belajar ke Amerika Serikat selama tiga tahun. "Secara fisik selama tiga tahun ia terbukti berada di Amerika. Jadi, ia tak memenuhi syarat. Itu kesimpulan kami," ujar Darwis.

Berbeda dengan di Jawa Barat. Kepergian seseorang ternyata tak serta-merta menggugurkan status domisili calon. Wakil Ketua MPR dari Golkar, Ginandjar Kartasasmita, misalnya, dinyatakan lolos oleh KPU Jawa Barat, sekalipun sebagai pejabat MPR ia banyak berada di Jakarta. Malah, ada kabar, setahun terakhir Ginandjar lebih banyak di luar negeri.

Mengapa bisa? Menurut anggota KPU Jawa Barat, Ferry Kurnia, Ginandjar lolos karena ketika verifikasi administratif dan faktual dilakukan, tak ada batu sandungan yang mengganjalnya, termasuk pasal domisili. "Kita tidak bekerja pada koridor politik dan opini," ujar Ferry.

Dalam surat ke KPU Ginandjar menyatakan dirinya tinggal di Jalan Pangeran Santri 45, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Sumedang Selatan, Jawa Barat. Menurut Ferry, Ginandjar memang terbukti berdomisili di Sumedang. Ini dikuatkan pernyataan camat setempat, Endeng Sujana. Cuma, Ferry mengakui bahwa verifikasinya sebatas administratif. "Dalam tiga tahun terakhir sampai mencalonkan diri, secara administratif, KTP, dan kartu keluarganya, memang Ginandjar orang Sumedang," ujar Ferry.

Pengamat politik dari LIPI, Indria Samego, menilai munculnya kasus Baramuli dan kawan-kawannya menunjukkan masih carut-marutnya administrasi kependudukan di Indonesia, sekaligus bukti bahwa jabatan formal masih dianggap penting oleh sebagian tokoh sekaliber Baramuli, Tanri Abeng, dan Beddu Amang. "Itu realitas politik kita. Saya tahu, banyak politikus kita yang menikmati jabatan formal lebih untuk kepentingan dirinya ketimbang urusan yang lebih penting," ujar Indria.

Adi Prasetya, Bobby Gunawan (Bandung), Muannas (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus