Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -- Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Irawan mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal sanksi pidana bagi pejabat yang diduga melanggar netralitas dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut anggota DPR dari fraksi Partai Golkar ini, MK masuk terlalu jauh dalam kebijakan hukum pidana yang seharusnya menjadi kewenangan legislatif. "MK pernah menyatakan, yang berkaitan dengan pidana merupakan kebijakan yang mengharuskan adanya persetujuan lembaga perwakilan rakyat karena merepresentasikan kehendak rakyat," ujar Ahmad dalam keterangan tertulis pada Jumat, 15 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ahmad, MK sejatinya pernah menyampaikan larangan tersebut melalui dua putusan yakni nomor perkara 46/PUU-XIV/2016 dan 59/PUU-XXII/2024. Putusan 46 berhubungan dengan uji materi Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang ancaman pidana bagi perbuatan cabul. Adapun putusan 59 berhubungan dengan pemilu. Dalam dua putusan itu, kata Ahmad, MK menyatakan memperluas pemidanaan bukanlah kewenangan MK sebagai negative legislator. MK tidak berwenang melakukan perluasan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MK pada Kamis, 14 November 2024 mengabulkan gugatan sehubungan dengan sanksi bagi aparatur sipil negara (ASN), pejabat desa, pejabat daerah, pejabat negara, serta aparat TNI-Polri yang melanggar netralitas dalam proses pilkada. Putusan MK memungkinkan dikenakannya sanksi kepada pelanggar berupa pidana penjara dan denda hingga Rp6 juta sesuai Pasal 188 Undang-Undang UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Dalam putusannya itu, MK menambahkan dua frasa sebagai subyek hukum baru yang dapat dipidana jika diduga melanggar netralitas, yakni frasa pejabat daerah dan anggota TNI/Polri. Hakim konstitusi Arief Hidayat menyebutkan, DPR selaku pembentuk undang-undang telah merevisi sejumlah ketentuan pada Pasal 71 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Di dalam regulasi itu ditambahkan dua subyek hukum baru yang disebut sebagai aparatur negara, yaitu pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.
Ahmad Irawan menilai, putusan MK melanggar prinsip konstitusionalisme dasar ihwal pemisahan kekuasaan dan implementasi dari doktrin judicial restraint serta judicial consistency.
Doktrin judicial restraint mengharuskan kekuasaan kehakiman untuk tidak mengganggu cabang kekuasaan lainnya. Adapun judicial consistency merupakan konsistensi putusan pengadilan yang dapat memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan.
Menurut dia, kebijakan pemidanaan menyangkut pembatasan hak dan kebebasan seseorang, sehingga hal itu menjadi wewenang DPR sebagai pembentuk undang-undang. "Bukan Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Dia juga mengatakan, regulasi pemilihan umum telah mengatur ihwal jenis pelanggaran dan kejahatan. Karena itu, Ahmad menilai tidak semua perbuatan yang dilarang dalam penyelenggaraan pilkada merupakan bentuk kejahatan dan harus dipidana. Anggota Badan Legislasi DPR ini mengimbau MK agar mengendalikan diri dan instrospeksi ketika memutus uji materi. Dia juga mewanti-wanti agar MK tidak lupa dengan prinsip saling menghormati antar lembaga negara. "Tidak semua hal harus diselesaikan oleh MK," ucapnya.
Menurut dia, hal-hal semacam itu bisa ditindaklanjuti oleh DPR dan presiden dengan merevisi undang-undang. Apalagi, kata dia, regulasi penyelenggaraan pemilu dan pilkada masuk program legislasi nasional.
Adapun Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin punya pendapat berbeda. Dia menyatakan menyambut baik putusan MK perihal hukuman bagi pejabat yang diduga tidak netral dalam pilkada. Dia menilai putusan itu demi memastikan pesta demokrasi berlangsung secara "luber-jurdil" (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).
"Saya setuju dengan putusan MK. Tidak hanya peserta, pemilih, atau hanya penyelenggara, tapi semua pihak itu ingin memastikan pemilu, pemilukada, benar-benar luber jurdil," kata Zulfikar di Kompleks DPR/MPR pada Jumat, 15 November 2024 seperti dilansir Antara.
Dia pun mengingatkan kembali aparat pemerintah untuk bersikap netral dan tidak menyalahgunakan jabatan atau kewenangan yang dimilikinya untuk memotori pasangan calon tertentu pada pilkada. "Semua penyelenggara negara, aparat negara, aparat pemerintah, memberikan dukungan, tapi tidak usah ikut campur dalam kontestasi itu, apalagi ikut menjadi pihak yang mengarahkan suara, mencarikan suara," tuturnya.
Sebaliknya, lanjut dia, berikan kewenangan kepada rakyat yang memiliki hak untuk menentukan kepala daerahnya masing-masing. "Biarlah pemilih yang memutuskan siapa calon-calon kepala daerah yang menurut mereka memang sanggup untuk membawa daerah masing-masing menjadi lebih baik," ujarnya.