Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPR dari fraksi PDIP, Yulius Setiarto, mengatakan aduan pelanggaran etik terhadap dirinya merupakan ancaman terhadap kebebasan berbicara yang dimiliki anggota dewan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Apabila kritik, usulan, dan pendapat dari wakil rakyat sebagaimana yang saya sampaikan di akun TikTok sebagai suatu kesalahan, dianggap tidak beretika, saya khawatir ini akan berdampak pada kemunduran demokrasi. Sebab aduan ini akan menjadi preseden buruk ke depan,” kata Yulius dalam klasifikasinya saat mengikuti sidang etik di Majelis Kehormatan Dewan pada Selasa, 3 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yulius mengatakan pelanggaran etik yang dituduhkan kepada dirinya adalah langkah mundur. Dia menilai seharusnya MKD menolak memeriksa aduan tersebut. Dia pun khawatir wakil rakyat yang lain dapat dijerat ketika menyampaikan kritik, koreksi, usulan, dan pendapat di media sosial.
"Pada akhirnya semakin sedikit atau tidak ada lagi wakil rakyat yang diharapkan bisa menyuarakan aspirasi dan kehendak rakyat, berani bersuara atau berpendapat,” kata anggota Komisi I ini.
Selain itu, Yulius mengatakan apa yang dia lakukan merupakan pendidikan politik kepada publik. Dia berpendapat setiap kader partai punya kewajiban menginformasikan situasi yang sedang menjadi sorotan media kepada para konstituen.
"Saya memberikan pendidikan politik melalui konten TikTok agar masyarakat dapat kritis, khususnya terkait isu dugaan polri yang cawe-cawe di pilkada yang sudah seharunya diklarifikasi oleh Kapolri," ujarnya.
Yulius diadukan karena unggahan video di TikTok pribadinya yang memuat dugaan keterlibatan polisi di pilkada 2024. Yulius mengatakan semua perkataannya dalam konten TikTok bersumber dari laporan majalah Tempo.
Dia mengatakan skrip video yang dia tulis hanya menyangkut permintaan kepada Kapolri untuk memberikan klarifikasi atas podcast Bocor Alus Politik. Setiap pekan, laporan majalah Tempo dikemas dalam bentuk siniar dan diunggah di platform YouTube.
Yulius mengatakan memang melakukan penulisan ulang yang dicuplik dari pemberitaan Tempo. Dia mengatakan parafrase tersebut tidak mengandung unsur memelintir informasi dan fitnah.
Dalam video tersebut, Yulius meminta agar kepolisian mengklarifikasi dugaan cawe-cawe di pilkada 2024. Dia menambahkan, alasan dirinya mengunggah ulasan berita merupakan sikap politiknya atas pemberitaan media massa.
“Ketika ada pemberitaan dari sebuah media, itu saya sudah bisa berpendapat dan itu hak konstitusional saya sebagai anggota DPR,” katanya.
Dalam sidang etik yang berlangsung lebih kurang satu jam tersebut, MKD menilai apa yang disampaikan Yulius dalam kontennya dapat menimbulkan kegaduhan. Majelis juga menilai seharusnya Yulius menyampaikan pertanyaan secara langsung mewakili lembaga.
“Anggota DPR kalau mau mengungkit kasus, itu ada forumnya, yaitu melalui sidang-sidang di komisi terkait dengan mitra, seharusnya teradu masuk ke Komisi III, di situ dibuktikan, itulah anggota dpr, bukan diungkapkan di sosmed,” kata salah seorang anggota MKD.
Atas dasar itulah, MKD menilai Yulius telah melanggar etik karena menyampaikan informasi tanpa bukti yang jelas di luar forum rapat DPR. “Sebab apa yang saudara lakukan tidak diatur dalam kode etik, karena itu saya menilai itu adalah pelanggaran kode etik,” katanya.
Dalam putusannya, MKD memutuskan Yulius telah melanggar kode etik karena menyampaikan informasi tanpa bukti yang cukup. “Maka MKD memutuskan saudara teradu Yulius Setiarto terbukti melanggar kode etik dan diberikan sanksi teguran tertulis,” kata Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam membacakan putusan.
Berdasarkan video yang dilihat Tempo, Yulius menjelaskan dugaan keterlibatan polisi di pilkada Jawa Tengah, Banten dan Sumatera Utara. Dalam unggah tersebut Yulius berbicara secara monolog. Dalam unggahan itu Yulius juga menampilkan potongan video yang menampilkan podcaster Bocor Alus Politik memaparkan temuan jurnalistik soal keterlibatan polisi di pilkada 2024.