Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, pada Selasa, 5 Desember 2023 . Beleid itu disahkan dalam Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023–2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Revisi tersebut menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, sebagai upaya memenuhi kebutuhan perlindungan hukum di bidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. “Pembahasan ini memiliki makna yang sangat strategis," ujarnya dalam rapat itu,”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UU ITE sejak kemunculannya memang mendapat beberapa kritik dan penolakan. Hal tersebut ditengarai karena UU ITE dianggap hanya menguntungkan sejumlah pihak.
Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, menyebut bahwa terlapor UU ITE kebanyakan adalah kelompok jurnalis, aktivis, akademisi, mahasiswa, dan pelajar. Damar juga mengatakan bahwa sebanyak 68 persen orang yang melaporkan dengan UU ITE adalah orang yang memiliki kekuasaan.
“Berarti ada perluasan ketika kebebasan pers, akademik dan teman-teman yang bergerak di isu pembela HAM terkendala oleh adanya laporan yang dibuat dengan UU ITE,” ujarnya pada 5 Maret 2021.
1. Wahyudi Jafar ELSAM
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Jafar, mengkritik UU ITE soal ketentuan konten yang dinilai melanggar UU ITE.
Dilansir dari Koran Tempo, menurut Wahyudi, Kementerian Kominfo perlu lebih memperjelas soal rujukan dan kategori konten yang dinilai berbahaya. “Posisi Kominfo seharusnya bisa diubah sebagai lembaga banding administratif, sementara platform diberi ruang lebih luas untuk menyelesaikan pengaduan konten bermasalah,” ujarnya. Senin, 24 Juli 2023.
2. Rocky Gerung
Pengamat politik, Rocky Gerung, mengatakan Jokowi seolah menutup mata akan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi. Kebebasan berbicara itu telah tersandera UU ITE.
"Jadi seolah-olah bilang silakan kritik, oke, Anda boleh ngomong. Omongan Anda dijamin oleh kebebasan, tapi setelah Anda ngomong kami tidak jamin kebebasan Anda, kira-kira begitu. Setelah ngomong kebebasannya ditunggu oleh Undang-undang ITE, ditunggu oleh Bareskrim," kata mantan dosen Filsafat Universitas Indonesia itu.
3. Jusuf Kalla
Mantan Wakil Presiden Indonesia tersebut juga menyoroti perihal UU ITE walau tidak secara eksplisit. Jusuf Kalla menyindir permintaan Jokowi pada 2021 lalu yang meminta masyarakat mengkritik pemerintah.
“Beberapa hari lalu presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah, tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya," ujar JK dalam acara peluncuran Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR RI, dikutip dari berbagai sumber.
4. Rivanlee Anandar KontraS
Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar juga pernah mengkritik UU ITE karena menurut data KontraS, ada belasan orang yang diproses karena mengkritik Jokowi.
"Jikalau benar Presiden menginginkan kritik, beri dan jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini. Ia bisa memulainya dengan bertanggung jawab kepada orang-orang yang menjadi korban pembatasan kebebasan sipil, baik karena surat telegram Kapolri maupun UU ITE," ujar Rivanlee.
ANANDA RIDHO SULISTYA | HAN REVANDA PUTRA | KORAN TEMPO | FRANCISCA CHRISTY ROSANA | FRISKI RIANA
Pilihan Editor: Disahkan DPR Hari Ini, Revisi UU ITE Masih Memuat Pasal Karet