Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta-Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada menganggap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi berpotensi menghentikan proses hukum kasus-kasus besar yang tengah diselidiki. Hal itu dimungkinkan, sebab bila revisi UU KPK disahkan, aturan baru ini bakal berlaku untuk kasus lama yang sedang ditangani KPK alias berlaku surut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini paling bahaya menurut saya, karena RUU menyebutkan bahwa penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang belum selesai harus tunduk pada UU ini," kata peneliti Pukat UGM, Oce Madril saat dihubungi Selasa, 17 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam draf RUU KPK yang disetujui oleh DPR dan pemerintah tadi malam, ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 70C. Pasal itu menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Oce membayangkan akan ada banyak kasus besar yang tengah diusut KPK akan berhenti seketika. Seperti kasus korupsi di Petral, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dan kasus Century.
Menurut Oce, keberadaan pasal ini menunjukan bahwa yang paling berkepentingan dengan revisi UU KPK adalah orang yang tengah berkasus di lembaga antikorupsi. Dia menilai revisi UU KPK adalah aturan yang koruptif.
"Apakah ini pesanan orang-orang tertentu? Yang pasti mereka yang paling diuntungkan adalah koruptor," kata dia.