TIBA-TIBA saja acara itu menjadi rusuh. Pekan Orientasi Studi
Mahasiswa (Posma) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sejak
semula sudah berjalan setengah dipaksakan itu, 2 Maret kemarin
meledak jadi keributan. Sepakan polisi anti huru-hara yang
didatangkan ke kampus di Jalan Solo itu, menembakkan gas
air-mata. Para mahasiswa yang mendapatkan perlakuan serupa itu,
bertambah mengamuk. Dan acara penerimaan mahasiswa baru itu
semakin bertambah kacau. Beberapa di antara mahasiswa kedapatan
menderita luka-luka.
Sumber Kemelut
Fihak Dewan Mahasiswa yang menyelenggarakan Posma itu, tidak
tinggal diam. Segera setelah kejadian itu -- masih pada hari
yang sama -- dikeluarkan sebuah pernyataan. Disebutkan antara
lain: pengaturan kehidupan mahasiswa adalah hak dan wewenang
mahasiswa sendiri bahwa campur tangan rektor dalam pengaturan
kehidupan mahasiswa adalah sikap dan tindakan yang dapat merusak
hubungan kerja sama antara unsur civitas akademica dalam usaha
membina kelangsungan dan kemajuan almamater bahwa ternyata
rektor dalam sikap dan tindakannya telah terlibat dan ikut
campur tangan dalam pengaturan kehidupan mahasiswa sehingga
menimbulkan kondisi yang tidak nyaman dan menimbulkan-kerusuhan
dan kericuhan di dalam kampus.
Pernyataan yang diteken oleh Abbas Pulungan dan Masdar Farid
Mas'udi, masing-masing Ketua dan Sekretaris Umum DM, masih
ditambah dengan beberapa tuntutan. Antara lain, menolak semua
bentuk dan manifestasi "campur tangan rektor" yang selama ini
dilakkan. Menolak sisim kepemimpinan rektor yang "tertutup dan
otoriter". Menyesalkan langkah rektor yang mengundang campur
tangan fihak luar dalam persoalan pengaturan kehidupan
mahasiswa, serta menuntut agar rektor mempertanggung jawabkan
semua tindakan-tindakan campur tangan yang telah menjadi sumber
kemelut dan kegoncangan dalam kehidupan kampus. Agak serem,
'kan?
Namun kerusuhan (yang kabarnya selalu terjadi setiap tahun di
IAIN ini) yang meledak awal Maret itu, bukan tidak bisa diduga
sebelumnya. Sebab Kolonel drs. H. Bakri Syahid, Rektor,
sebelumnya sudah minta agar Posma ditunda. Alasannya, belum
semua fakultas untuk periode tahun akademi mendatang ini,
berhasil membentuk Senat Mahasiswa baru. Tapi fihak DM (yang
baru terpilih tetap ngotot agar Posma tetap berjalan sesuai
dengan rencana tanggal 28 Pebruari itu selama satu minggu.
Alasannya, di samping segala tenaga yang dipersiapkan untuk
melaksanakan Posma itu sudah keluar banyak, juga agar acara
Posma tidak mengganggu jalannya kuliah. Rektor bukan tidak
mengerti alasan organisasi mahasiswa itu. Karena itu Bakri
Syahid membolehkan Posma berjalan Serus. Dengan syarat hanya
terbatas pada fakultas-fakultas yang sudah memiliki SM baru.
Waktu itu, fakultas Adab dan Da'wah sudah punya SM baru,
fakultas Syari'ah dan Usuludin belum. Sementara Fakultas
Tharbiyah memiliki dua SM yang masing-masing disahkan Rektor
(tapi tidak diakui DM) dan yang dibentuk DM. Dan dari fakultas
inilah kabarnya api kericuhan itu menjadi semakin besar.
Sehingga meledak pada peristiwa 2 Maret kemarin.
Dicabut Kembali
Namun menurut drs Anas Sudyono, Sekretaris IAIN Sunan Kalijaga,
peristiwa Posma hanya merupakan efek sampingan dari kemelut IAIN
yang sudah lama dan belum juga terselesaikan. Kondisi serupa itu
tentu saja peka akan hal-hal yang sensitif. Misalnya kasus
pencabutan SK (Surat Keputusan) nomor 18 tahun 1975. Dalam SK
rektor itu (berisi peraturan tentang pembentukan lembaga-lembaga
legislatif dan eksekutif baru, misalnya Majelis Permusyawaratan
Mahasiswa -- MPM, Dewan Perwakilan Mahasiswa -- DPM, Komisariat
Mahasiswa -- Kosma, Senat Mahasiswa, dan Dewan Mahasiswa) antara
lain disebutkan, MPM sebagai lembaga legislatif tertinggi dalam
keluarga mahasiswa IAIN, memilih dan menetapkan serta
mengesahkan mandataris sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa dan
sekaligus menjadi ketua formatur bersama empat orang anggota
lainnya yang terpilih. Ketentuan itu justru bertentangan dengan
Keputusan Dirjen Bimas Islam nomor DVI/170/1975 yang menyebutkan
bahwa susunan pengurus Dewan, Senat dan Komisariat Mahasiswa
hasil pemilihan disahkan -- dan dilantik -- oleh rektor/dekan.
"SK rektor itu ternyata bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi", kata seorang pengajar di sana, "sebab inti SK 18 itu
seolah-olah meniadakan-pengawasan pimpinan institut dan fakultas
terhadap organisasi intra instituter".
Kesalahan prosedur pembuatan SK 18 itu, bukan tidak diakui
rektor. Keputusan rektor nomor 19 tahun 1976 yang mencabut SK
sebelumnya itu juga sekaligus merupakan pengakuan rektor
terhadap kesalahan itu. Disebutkan dalam pertimbangan keputusan
bernomor 19 itu, keputusan rektor nomor 18 tertanggal 4 Desember
1975, lahir dengan menempuh prosedur administrasi yang
kurang/tidak wajar. Maka dipandang perlu untuk dicabut kembali.
Ralat itu mestinya sudah bisa menghapuskan kesalahan terdahulu.
Tapi ternyata ada soal baru. Dalam keputusan yang mulai
diberlakukan sejak 21 Januari 1976 itu, selain mencabut
keputusan terdahulu, juga diputuskan belum dapat mengesahkan
personalia MPM dan DPM. Sementara pengurus DM periode 1976-1977
yang terpilih lewat MPM itu sudah disahkan rektor. "Di situ
seolah-olah terjadi kontradiksi", ujar sebuah SUltlber,
"sementara DM diakui, MPM tidak".
Kemelut yang terjadi di kampus itu antara lain dianggap ada
hubungannya dengan kasus kesalahan administrasi tersebut. Di
samping, kata banyak orang perbenturan kepentingan di antara
golongan organisasi ekstra instituter yang menguasai IAIN Sunan
Kalijaga, memberi andil yang sangat besar atas kemelut yang
berkepanjangan itu. Tapi sementara ini kepolisian Yogyakarta
(yang menurut drs. Syamsudin Abdullah, Pembantu Rektor I
merupakan instansi yang melarang Posma), cukup puas karena
bentrokan fisik tak terjadi antara sesama mahasiswa IAIN. Van
lewat korankoran Yogya, Kolonel drs. H. Abdulrachim, Komandan
Antar Resort Kepolisian Yogyakarta, nampaknya merasa perlu untuk
pasang iklan: Suasana IAIN tenang kembali. Syukur, syukur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini