SAAT imsak hampir tiba. Hujan turun lebat mengguyur Kota Cirebon, Jawa Barat. Sebuah minibus Kijang berpenumpang lima orang, di kedinginan pagi itu, berhenti mendadak di depan Hotel Gunung Sari, sebuah hotel melati di depan pusat belanja Grage, di tengah Kota Udang itu. Beberapa orang penumpangnya turun menghampiri Sanusi, si penjaga hotel.
Polisi berpakaian sipil itu lalu menyodorkan dua buah foto dan sketsa wajah dua orang bernama Tohir dan Ismail. Daftar tamu yang bermalam di hotel bertarif puluhan ribu rupiah itu mereka telisik. Begitu ada nama mencurigakan, petugas meminta Sanusi agar menunjukkan kamar tamu yang dicari. Dengan kunci duplikat kamar IA, dua tempat tidur dibuka, namun buruan tidak ada. Polisi lainnya menemui tukang becak.
Beruntung ada info dari si abang becak. Ia menunjukkan posisi buruan polisi sedang makan sahur di warung nasi jamblang Bu Sayem di depan pertokoan. Dengan sigap, aparat itu pun memepet buruannya di sebelah kanan dan berpura-pura memesan makanan. Seorang polisi berpakaian sipil lainnya turun dari Kijang. Ia melakukan tindakan serupa, duduk di sebelah kiri buruannya.
Dua orang yang disasar tak curiga. Tohir, yang di hotel mengaku bernama Ricky Putranto asal Bandung, terus saja lahap menghabiskan nasi berbungkus daun jati yang lezat untuk santap sahur. Ia baru kaget seusai menuntaskan satu pincuk nasi. Secara bersamaan, dua polisi menodongkan pistol ke tubuh Tohir dan Ismail, yang belum sempat mencuci tangan.
Ditodong begini, Tohir dan Ismail tergagap. Mereka tak sempat memberikan perlawanan. Tanpa banyak cingcong, keduanya digelandang ke dalam minibus abu-abu tua. Mobil pun pergi entah ke mana. Sejam kemudian, baru muncul mobil penjinak bahan peledak dari Kompi C Brimob Kepolisian Wilayah Cirebon. Saat itulah Sanusi dan penunggu hotel yang lain baru sadar, dua tamunya adalah buron polisi.
Tohir rupanya pantas diburu. Pria satu anak, beristri Erna, gadis asal Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah ini berurusan dengan perkara terorisme. Polisi menduga, duet Tohir dan Ismail ini adalah pelaksana pengeboman Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta Selatan, 5 Agustus lalu. Sudah hampir tiga bulan, lelaki asal Pekanbaru itu menjadi buruan tim antiteror Markas Besar Polri, setelah aksinya menewaskan 12 orang dan melukai puluhan orang lainnya.
Nama Tohir muncul pertama kali ketika polisi memeriksa Soni, pemilik Kijang biru yang dibeli di Cibubur, Jakarta Selatan. Kijang itu dipakai sebagai bom mobil. Dengan ciri-ciri yang ditunjukkan Soni, polisi kemudian membuat sketsa wajah. Sketsa inilah yang ditunjukkan kepada para tokoh Jamaah Islamiyah kelompok Pekanbaru, yang sudah tertangkap lebih dulu. Mereka pun menyebut nama Tohir. Setelah yakin, polisi kemudian menyebarkan sketsa wajah Tohir bersama Azahari dan Noordin M. Top secara luas.
Polisi kabarnya mendapat bocoran penting saat memeriksa sejumlah tokoh di balik serentetan bom di Indonesia itu. Dari Khaeruddin alias Nasir Abbas, Ketua Mantiqi (Wilayah) III Jamaah Islamiyah, yang juga kakak ipar Muchlas alias Ali Gufron, terpidana kasus bom Bali, polisi mendapat informasi menarik: Azahari dan kelompoknya berkeliaran di sekitar Jawa Barat. Berdasarkan pelacakan nomor telepon yang disadap polisi, diketahui anak buah Azahari berada di Cirebon, Jawa Barat.
Polisi pun terus memantau sinyal yang berkelap-kelip di sekitar pusat belanja Grage, Cirebon. Setelah anggota Tim Cobra dari Markas Besar Polri disebar, mereka mendapatkan kepastian bahwa sang buron menginap di sebuah hotel kecil di dekat pusat perkulakan terbesar di Kota Udang tersebut. "Ini penangkapan teroris dengan menggunakan teroris," ujar sumber di Mabes Polri.
Penangkapan Tohir alias Masrizal menggiring polisi ke Bandung. Yang dituju adalah rumah kos-kosan di Jalan Kebon Kembang No. 4, Kelurahan Balubur, Kota Madya Bandung, yang dikontrak bosnya, Azahari dan Noordin M. Top. Namun nasib baik masih berpihak kepada dosen Universitas Teknologi Malaysia itu. Ia lolos dari kejaran petugas. Di rumah kos itu, dua teroris asal Malaysia ini menyamar sebagai mahasiswa S-2 ITB. Di sini polisi menemukan tiga bom siap ledak dan 15 rangkaian bahan peledak (lihat Perburuan di Kebon Kembang).
Skenario para teroris mulai bisa diraba polisi. Menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, komplotan berbahaya dari organisasi bawah tanah Jamaah Islamiyah ini merancang aksinya di Jakarta sejak Juni lalu. Saat itu, sisa bom yang diledakkan pada malam Natal 2000 di Pekanbaru mereka seberangkan ke Jakarta dengan rute dari Pekanbaru menuju Bengkulu, disambung ke Lampung, dan akhirnya sampai di Jakarta.
Di Bengkulu, mereka mulai menyusun kekuatan. Azahari dan kawan-kawan sempat tinggal beberapa bulan di kios fotokopi Lavena, milik Asmar Latin Sani, di dekat Universitas Bengkulu. Asmar adalah alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Solo, yang diasuh oleh Ustad Abu Bakar Ba'asyir, Amir Majelis Mujahidin Indonesia. Azahari, Dulmatin, Noordin M. Top memplot Asmar menjadi martir bom "kamikaze" dalam aksi peledakan di Jakarta.
Sesampai di Jakarta, mereka tinggal di rumah kontrakan Jalan Kemuning, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di rumah kontrakan yang disewa seharga Rp 4 juta setahun itu, dua warga Malaysia yang mantan instruktur bom di kamp Moro Islamic Liberation Front (MILF) Mindanao, Filipina Selatan, itu merakit bahan peledak di salah satu kamar di rumah kontrakan tersebut. Setelah ledakan dahsyat di Marriott, sebulan kemudian, pada September lalu, di rumah kontrakan itu, polisi menemukan dus kiriman dari Bengkulu, mata bor, kabel, dan residu bahan peledak.
Marriot sempat mereka survei. Menurut Mappaseng, Tohir, Ismail, dan Asmar—pelaku bom bunuh diri yang tewas di tempat kejadian—sempat masuk ke lobi hotel. Dengan menggunakan mobil Kijang yang dibeli seharga Rp 26 juta, komplotan itu meninggalkan Pasar Minggu. Di mobil, Azahari bersama Asmar. Sedangkan Ismail menguntit dengan motor. Setelah mobil diserahkan Asmar, Azahari dan Ismail menunggu di sebuah masjid di belakang kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional di sekitar Kuningan.
Mereka menunggu Asmar memencet picu bom. Jika Asmar ragu-ragu, masih ada lagi pemicu lain di tangan doktor kimia lulusan Inggris itu. Dan, seperti ramai diberitakan, terjadilah ledakan yang menggemparkan Jakarta bahkan juga dunia itu.
Nama Azahari pertama kali muncul dalam peledakan bom di Jalan Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober tahun lalu. Saat itu lelaki yang pernah kursus bom tingkat lanjut di Kandahar, Afganistan, itu memakai nama samaran Alan. Menurut Ali Imron, salah satu terpidana kasus bom Bali yang berasal dari Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, bom dahsyat yang meluluhkan Paddy's Café dan Sari Club serta menewaskan 202 orang itu hasil racikan lelaki berkacamata tebal ini. Sebagai orang yang paling dicari, Azahari punya jam terbang lintas batas antarnegara dan dikenal licin.
Tohir dan Ismail berada di bawah komando Azahari. Keduanya adalah muka baru yang direkrut Azahari dan Noordin M. Top, pengendali dan pelaksana peledakan di hotel mentereng di Jakarta itu. Mungkin karena masih "hijau" itulah, mereka begitu gampang dicokok polisi. Pada sebuah pagi menjelang subuh, saat keduanya begitu asyik menyantap nasi jamblang, menu terakhir sebelum menghuni hotel prodeo.
Edy Budiyarso, Ivansyah (Cirebon) Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini